Rendahnya jumlah pendaftaran indikasi geografis pada kerajinan tradisional asal Indonesia adalah suatu hal yang ironis. Hal tersebut karena Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman budaya dan tradisi yang sangat beragama. Sebagai contoh, untuk tekstil dan tenun saja, Indonesia memilki setidaknya tidak kurang dari 39 daerah penghasil tenun ikat yang unik dan tekstil tenunan yang memilki reputasi nasional dan internasional. Rendahnya jumlah pendaftaran indikasi geografis, disebabkan karena masih adanya kekurangan pemahaman mengenai pentingnya Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM, dari 63 indikasi geografis, hanya 6 yang terdaftar pada produk kerajinan. Enam kerajinan indikasi geografis ini adalah Mebel ukir kayu Jepara (terdaftar pada 28 April 2010), Lamphun Brocade Thai Silk (terdaftar pada 22 Februari 2016), Tenun Gringsing Bali (terdaftar pada 18 Juli 2016), Kain tenun sutra Mandar (terdaftar pada 9 September 2016), Tenun ikat Sikka (terdaftar pada 8 Maret 2917), serta Tenun ikat Tanimbar (terdaftar pada 3 Juli 2017) (Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM, 2018).
Padahal faktanya, bahwa perlindungan hak kekayaan intelektual berlaku juga bagi karya-karya tradisional. Fakta ini memberikan kita sebuah contoh bahwa para produsen indikasi geografis dan pemerintah lokal di Indonesia masih kurang memahami sistem perlindungan HAKI, terutama kerajinan tangan.
Indikasi Geografis, atau yang biasa disingkat IG, adalah tanda yang dapat digunakan pada barang komersial yang berasal dari tempat tertentu. Produk-produk ini biasanya merupakan hasil dari proses pengetahuan tradisional dibawa oleh komunitas dari generasi ke generasi dalam wilayah tertentu. Konsep ini, yang merupakan bagian dari perlindungan HAKI, telah diadopsi dalam hukum nasional Indonesia setelah Indonesia meratifikasi perjanjian World Trade Organization (WTO) yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1995.
Ketentuan untuk perlindungan HAKI khusus indikasi geografis pertama kali dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.
Selain itu, definisi indikasi geografis, yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, adalah tanda yang menunjukkan wilayah asal barang dan atau produk yang karena faktor lingkungan geografis. Diantaranya adalah alam, manusia, atau kombinasi dari dua faktor tersebut.
Perlindungan indikasi geografis berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2016 didasarkan pada pendaftaran. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 53 ayat (1), IG harus dilindungi setelah terdaftar oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Mengapa melindungi kerajinan tangan tradisional harus melalui sistem indikasi geografis?
Kerajinan tangan adalah aset budaya, sosial dan historis yang berharga dari masyarakat yang memelihara, mempraktikkan, serta mengembangkannya. Mereka juga merupakan aset ekonomi yang dapat digunakan, diperdagangkan atau dilisensikan untuk menghasilkan pendapatan dan pembangunan ekonomi. Sayangnya, teknik dan desain tradisional tersebut rentan dengan tindakan penyelewengan dan imitasi.
Oleh karena itu, dengan kehadiran indikasi geografis, sudah seharusnya dapat meminimalisir tindakan penyelewengan tersebut. Indikasi geografis dapat berkontribusi aktif melalui beberapa cara, salah satunya melindungi kerajinan tangan dari praktik perdagangan yang menyesatkan dan menipu.
Selain itu, indikasi geografis dapat mencegah orang lain menggunakan indikasi geografis yang dlindungi pada barang yang tidak berasal dari area yang ditentukan atau tidak memiliki kualitas dan karakteristik yang ditentukan terkait produk indikasi geografis. Ada beberapa alasan mengapa indikasi geografis sangat cocok untuk digunakan oleh masyarakat lokal dan adat, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Indikasi geografis dapat menghargai nilai-nilai dan pengetahuan tradisional dan budaya.
- Indikasi geografis dapat menjamin keaslian dari suatu produk.
- Hak-hak hukum tetap berlaku selama tradisi kolektif dapat dipertahankan memilki manfaat nyata bagian pengetahuan tradisional.
Sebagai penutup, indikasi geografis dapat memberikan perlindungan terhadap praktik perdagangan yang menyesatkan dan menipu. Indikasi geografis memberikan masyarakat adat suatu cara untuk dapat membedakan produk mereka dan mendapatkan keuntungan dan komersialisasi mereka. Dengan demikian, indikasi geografis berpotensi untuk meningkatkan posisi ekonomi mereka.
Referensi
Tim Redaksi Media Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kemenkumham. 2018. Buletin Media Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Krisogonus Dagama Pakur, akrab disapa Risno Pakur, adalah seorang advokat publik yang saat ini bekerja di kantor firma hukum Hendra Wijaya & Partners yang beralamat di menara BCA lantai 50 jalan M. H. Thamrin nomor 1, Jakarta Pusat. Selain memiliki rutinitas tersebut, saat ini ia pun aktif dalam memberikan saran yang konstruktif terkait permasalahan sosial dan hukum yang terjadi di masyarakat melalui menulis dalam beberapa media. Beberapa topik penulisan yang sering dibahas oleh Risno, erat kaitannya dengan masalah pemberantasan korupsi, hak asasi manusia, dan perlindungan hak kekayaan intelektual itu sendiri.
Selama mengenyam pendidikan strata satu ilmu hukum, Risno aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan. Dan pada saat itu tahun (2016-2017), ia dipercayakan oleh masyarakat mahasiswa Universitas Trisakti sebagai wakil presiden mahasiswa kepresiden mahasiswa Universitas Trisakti.
Saat ini, Risno sedang mengenyam pendidikan lanjutan strata 2 di Universitas Trisakti dengan mengambil program pengkhususan hukum bisnis. Program studi ini pun sangat berkaitan dengan pembahasan mengenai hukum kekayaan intelektual, yang dimana didalamnya membahas juga terkait perlindungan hak kekayaan intelektual masyarkat adat melalui program indikasi geografis yang diagendakan oleh pemerintah melalui kemntrian hukum dan hak asasi manusia Republik Indonesia.