Ketika mendengar mengenai hak, apa yang terlintas dipikiran Anda?
Ada kemungkinan hal yang muncul di benak Anda adalah berbagai jenis hak dasar yang akrab di telinga kita. Hak kebebasan berbicara, hak kebebasan pers, hak untuk dipilih dan memilih pejabat publik, hak untuk tidak disiksa, hak memiliki properti, hak kebebasan beragama, hak kebebasan berserikat, dsb.
Selain itu, hak juga bukan saya dibagi menurut jenisnya, akan tetapi juga ruang lingkupnya, yakni hak individual dan hak kolektif. Hak individual merupakan hak yang diakui dimiliki oleh setiap individu terlepas dari latar belakangnya. Beberapa contoh dari hak tersebut disebutkan di paragraf pertama.
Sementara itu, hak kolektif merupakan hak yang diklaim dimiliki oleh kelompok tertentu sebagai unitnya. Beberapa contoh dari klaim atas hak kolektif yang biasa kita temui adalah hak kaum perempuan, hak kelompok LGBT, hak kelompok masyarakat adat, hak publik, serta hak sebuah bangsa.
Libertarianisme merupakan gagasan yang sangat menjunjung tinggi kemerdekaan individu. Lantas, bagaimana sudut pandang libertarianisme melihat hak kolektif?
*****
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, kita perlu melihat terlebih dahulu darimana hak seseorang dapat hadir. Libertarianisme percaya bahwa hak individu merupakan sesuatu yang inheren hadir pada setia diri manusia, terlepas dari latar belakang dari individu tersebut.
Pandangan bahwa hak merupakan sesuatu yang hadir secara ineheren pada diri setiap manusia bukanlah sesuatu yang baru, dan bisa ditarik jauh ke belakang setidaknya hingga era Pencerahan di Eropa pada abad ke 18. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat misalnya, yang ditulis pada tahun 1776, menyatakan bahwa hak merupakan sesuatu yang diberikan oleh Pencipta kepada diri manusia yang tidak dapat dicabut, diantaranya adalah hak untuk hidup, hak untuk bebas, dan hak untuk menggapai kebahagiaan.
Pemahaman akan hak yang hadir pada diri setiap manusia ini merupakan sesuatu yang penting dan sangat krusial. Sebagaimana yang tertuang dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, hak dasar manusia merupakan sesuatu yang terberi, dan bukan diberikan. Karena ia sesuatu yang terberi, maka dari itu ia tidak bisa dicabut oleh siapapun, bahkan oleh pemerintah yang berkuasa.
Hak dasar seseorang bukanlah sesuatu yang diberikan oleh penguasa atau komunitas. Ia bukan juga sesuatu yang baru dapat diraih melalui capaian tertentu. Hak dasar manusia dimiliki oleh seseorang hanya karena dia manusia, dan hanya karena itu.
Setiap individu memiliki hak mutlak atas tubuh dan pikirannya, serta atas properti yang dimilikinya sebagai bagian dari hasil kerja yang menggunakan tubuh dan pikirannya tersebut. Untuk melindungi hak tersebut, maka para individu bersama-sama mendirikan pemerintahan. Pemerintah merupakan institusi yang didirikan untuk melindungi hak, bukan sebagai pemberi hak.
Oleh karena pada individulah hak terberi, maka penggunaan istilah seperti “hak kolektif” merupakan absurd, sebagaimana yang diungkapakn oleh filsuf dan penulis Amerika Serikat kelahiran Rusia, Ayn Rand, dalam esainya yang berjudul “Collectivized ‘Rights.'”
Rand dalam esainya menulis bahwa, “grup” atau “kelompok” tidak dapat memiliki hak. Grup atau kelompok merupakan entitas yang diisi oleh individu-individu, dan ketika seseorang mengatakan hak kelompok tertentu, seperti hak perempuan atau hak kelompok LGBT, maka yang dimaksudkan adalah hak dari individu-individu yang menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Pada unit individulah manusia memiliki kesadaran, merasa, berpikir dan beraksi. Masyarakat tidak bisa memilih. Negara tidak bisa mengambil tindakan. Gender tidak bisa melakukan aksi. Keluarga tidak bisa merasa bahagia. Individu-individu yang berada di dalam kelompok itulah yang melakukan serta merasakan hal tersebut.
Oleh karena itu, hak haruslah disematkan kepada individu sebagai entitas yang memiliki kesadaran dan mampu berpikir merasa, serta bertindak. Menyematkan “hak” kepada kelompok merupakan sesuatu yang tak masuk akal. Dan bila negara mengambil atau membatasi hak seseorang hanya karena latar belakangnya seperti ras, agama, gender, atau orientasi seksual, pada ujungnya individu-individu yang menjadi bagian dari kelompok itulah yang hak nya dicederai.
Ambil contoh hak untuk bekerja dan mengenyam pendidikan. Apabila negara mengambil hak seseorang untuk melakukan hal tersebut karena latar belakang tertentu, misalnya karena ia perempuan atau berkulit hitam, maka yang dicederai oleh negara adalah hak individual setiap individu yang memiliki gender perempuan dan berkulit hitam untuk menggunakan tubuh dan pikirannya sebagai sarana untuk bekerja dan menimba ilmu.
Negara tidak bisa mencederai hak kolektif perempuan atau kulit hitam, karena perempuan dan kulit hitam sebagai sebuah kelompok tidak memiliki hak. Individu-individu yang memiliki gender perempuan atau memiliki kulit hitam-lah yang merupakan pemilik dari hak tersebut.
Atau contoh pelanggaran hak lain, seperti kriminalisasi homoseksual misalnya. Hal tersebut bukanlah bentuk pelanggaran hak kolektif terhadap kelompok homoseksual sebagai suatu unit, karena kelompok homoseksual sebagai sebuah unit kelompok tidak memiliki hak. Akan tetapi, hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak individual seseorang atas tubuh mereka sendiri untuk melakukan aktivitas apapun, dalam hal ini melakukan aktivitas sekusal, dengan individu lain secara sukarela.
Hak kelompok masyarakat adat atas tanah mereka misalnya, juga merupakan sesuatu yang sering dilanggar oleh pemerinatahan di berbagai belahan dunia. Pengambilan paksa tanah yang dimiliki seseorang tentu merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima, siapapun pelakunya, baik itu aktor non-negara atau institusi pemerintah.
Bila ada suatu pemerintahan melakukan perampasan tanah yang dimiliki masyarakat adat, hal itu bukanlah bentuk pelanggaran hak kolektif terhadap ‘masyarakat adat’ sebagai sebuah kelompok. Hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak individual orang-orang yang menjadi bagian dari kelompok masyarakat adat tertentu atas properti yang mereka miliki.
Seorang individu perempuan atau warga kulit hitam memiliki hak untuk bekerja dan mengenyam pendidikan bukan karena ia merupakan seorang perempuan atau seorang yang berkulit hitam. Seorang individu gay memiliki hak atau tubuhnya sendiri untuk melakukan aktivitas seksual bukan karena ia merupakan bagian dari kelompok homoseksual. Seorang individu yang merupakan anggota masyarakat adat memiliki hak atas tanah yang dimilikinya bukan karena ia merupakan anggota masyarakat adat tersebut. Mereka semua memiliki hak-hak tersebut karena mereka adalah individu manusia, terlepas apapun latar belakangnya.
Selain itu, jargon-jargon atas hak kolektif seringkali digunakan oleh para individu sebagai justifikasi untuk melanggar hak individu orang lain. Jargon “hak publik” untuk hidup nyaman misalnya, sering dijadikan justifikasi untuk memaksakan norma-norma sosial yang dimiliki oleh individu tertentu kepada seluruh anggota masyarakat.
Misalnya, jargon hak publik untuk hidup nyaman digunakan sebagai dasar untuk melarang kaum perempuan untuk mengenakan pakaian tertentu di ruang publik, atau untuk melarang setiap anggota masyarakat untuk memproduksi, menjual, atau mengkonsumsi minuman beralkohol, hanya karena ada sebagian individu yang menganggap hal tersebut merupakan sesuatu yang melanggar pandangan moral pribadi mereka. Hal tersebut secara nyata merupakan bentuk pelanggaran hak individu seseorang atas tubuhnya dan uangnya sendiri.
Atau contoh lain, hak kolektif setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination.) Hak ini sering dijadikan justifikasi setiap pemerintah untuk melakukan berbagai hal yang secara nyata melanggar hak individual warganya.
Jargon hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri misalnya, digunakan oleh negara-negara otoriter sebagai justifikasi untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan yang membredel kebebasan berekspresi, kebebebasan beragama, serta kebebasan pers warganya, hingga melakukan berbagai tindakan pembunuhan massal dan genosida. Jargon ini juga digunakan oleh pemerinatahan negara-negara religius untuk memaksakan pandangan moral keagamaan individu-individu yang menjadi penguasa di negara tersebut kepada semua individu anggota masyarakat yang hidup di negaranya.
Karena, sejatinya tidak ada yang namanya hak kolektif. Hak merupakan sesuatu yang secara inheren hadir dan dimiliki pada diri setiap individu manusia, dan tidak ada siapapun yang berhak untuk merampasnya, termasuk para penguasa atau mayoritas masyarakat.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.