Hak Asasi Manusia, Kebebasan Berkarya, dan Kebebasan Untuk Melakukan Kritik

    523

    Memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia pada 10 Desember 2020 kemarin, saya tertarik untuk membahas konteks HAM yang masih keliru dalam paradigma masyarakat dan tentang bagaimana implementasinya bagi masyarakat, terutama bagi remaja dan generasi milenial.

    Dalam sejarah modern pasca Perang Dunia Kedua, diskursus tentang HAM berkembang pesat dan menjadi bahan perbincangan internasional. Sejak saat itu, perdebatan dan diskursus tentang HAM melebar dan memenuhi ruang publik di seluruh penjuru dunia. Implikasinya, berbagai perangkat perundang-undangan maupun peraturan yang diterapkan di negara-negara modern banyak mengadopsi nilai-nilai HAM, dan sebisa mungkin menepis segala aturan hukum yang diindikasikan menyimpang dari nilai-nilai universal HAM. Wacana dan gagasan mengamandemen UUD 1945 di negara kita pun sebenarnya juga berangkat dari kecenderungan di atas.  

    Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dari Pancasila, yang berarti bahwa HAM menjadi jaminan filsafat yang kuat dari filsafat bangsa Indonesia. Hak Asasi Manusia meliputi berbagai aspek yaitu hak asasi pribadi, hak asasi ekonomi, hak asasi politik, hak asasi untuk mendapat perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, hak asasi sosial dan budaya, sampai hak asasi mendapat perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan.

    Bila dilihat dari cakupan substansi dan pengertiannya sendiri, HAM tampaknya cocok dijadikan “Tuhan” kedua dalam masyarakat utopia. Namun, masih banyak dari kita yang keliru bahkan menolak mentah-mentah keberadaan HAM dalam kehidupan bernegara. Mengapa demikian?

    Pada 10 Desember 1948, tepat 72 tahun silam, Deklarasi Universal HAM pertama kali diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Deklarasi ini dibentuk sebagai respons atas berakhirnya Perang Dunia II. Dengan adanya deklarasi ini, masyarakat dunia hendak melenyapkan segala wujud kekejaman yang lahir atas menjamurnya konflik-konflik antar negara kala itu. Deklarasi Universal HAM juga melengkapi Piagam PBB yang sebelumnya telah dibuat.

    Merujuk pada deklarasinya sendiri, yang lahir dari perjanjian negara-negara barat, banyak masyarakat yang menerima narasi bahwa HAM merupakan produk dari Barat. Hanya sedikit orang yang berani memberikan argumen bantahan mengenai hal itu. Alasannya, identifikasi perihal hak asasi manusia sudah identik dengan filsafat Barat dan telah berkembang menjadi perdebatan kontemporer mengenai universalitas HAM.

    Meski demikian, salah satu pihak yang berani memberikan argumen bahwa Deklarasi HAM Universal PBB tidak sebatas menjadi produk Barat ialah Susan Waltz, ilmuwan politik dari Ford School of Public Policy, Universitas Michigan. Lewat makalah berjudul “Reclaiming and Rebuilding the History of the Universal Declaration of Human Rights” (2002), Waltz yang mantan anggota Amnesty International ini menjelaskan bahwa pemahaman umum tentang deklarasi tersebut harus dikaji ulang (tirto.id, 10/12/2020).

    Pentingnya untuk meluruskan stereotip produk HAM ini penting. Di Indonesia, kemungkinan besar karena faktor pernah dijajah bangsa asing, narasi anti asing begitu akrab didengar dan hal ini tidak hanya berdampak pada HAM saja, melainkan politik dan ekonomi. Namun, yang saya bahas di sini hanyalah dari sisi HAM.

    HAM bukan sekedar produk Barat. Konteksnya jauh lebih komprehensif dari definisi tersebut. HAM pada hakikatnya merupakan hak kodrat yang secara inheren melekat dalam setiap diri manusia sejak lahir. Atau bisa saya sederhanakan, mau jadi apapun nanti kita, mau tinggal di mana pun kita, HAM tidak bisa meninggalkan individu masing-masing. Manusia berhak mengklaim atas haknya.

    *****

    “Berarti, kalau punya HAM atas diri kita, kita boleh bebas ngapain aja?”

    Pembatasan kebebasan seseorang memang dapat berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. Misalnya, pembatasan berkomentar di media sosial atau restriksi berpendapat dan berekspresi. Namun, bebas dalam artian HAM bukan berarti tidak bertanggung jawab. Kita patenkan hak kebebasan dalam diri kita, namun juga perlu untuk diingat bahwa orang lain juga punya hak mereka sendiri,

    Misalnya, saya ambil contoh kasus yang dialami oleh Youtuber Cindercella di Instagram waktu memposting tren foto mugshot challenge yang sempat kontroversial karena dianggap menyepelekan masalah korban KDRT atau kekerasan perempuan. Banyak netizen yang meminta Cindercella untuk menarik kembali postingan tersebut perihal menghormati penyintas. Akhirnya, Cindercella pun meminta maaf dan menarik postingan instagram nya.

    Jika ditinjau dari sisi netizen, memang benar mereka punya hak untuk menyuruh Cindercella minta maaf dan tentu mereka juga punya hak untuk merasa iba dengan korban. Namun, yang keliru di sini adalah, bagaimana netizen tidak memperhatikan hak Cindercella (di dalam akun media sosialnya sendiri) untuk mengunggah post apapun dan tentunya menyalurkan hobinya dalam kreativitas make up.

    Maksud saya di sini adalah selain memprioritaskan hak individu kita, kita juga harus melihat hak orang lain. Kita harus dapat memahami bahwa konsep yang kita pegang tidak harus diterapkan dalam kelompok lain dan tidak bertindak sebagai polisi moral di mana standar moral hanya akan dilegitimasi oleh kelompoknya. Justru, bila dipaksakan, akan terjadi forced diversity (kesatuan yang dipaksakan).

    Selain implementasi dalam batasan hak dan toleransi perbedaan, HAM juga penting diterapkan dalam dunia pendidikan. Banyak orang dewasa atau guru yang merestriksi kebebasan bertanya anak. Akibatnya, hal ini sama dengan menghambat kreativitas anak.

    Padahal, budaya kritis dan meningkatkan keingintahuan yang besar merupakan langkah dasar untuk anak tidak apatis terhadap lingkungan sekitar. Kuncinya adalah membuka diskusi. Jadi, sebenarnya belajar di sekolah tidak hanya terpatok pada kurikulum, nilai rapor atau sekadar lulus saja. Belajar di sekolah bisa lebih dari itu. Sayangnya, masih ada sekolah-sekolah belum banyak terjadi interaksi yang kritis. Sebagian guru masih memberikan pengajaran satu arah, belum mau membuka diskusi di mana siswa dapat bertanya secara kritis.

    Menurut saya, proses belajar-mengajar harus dua arah. Di satu sisi, guru tidak harus selalu dituruti sebab siswa sebenarnya punya hak untuk memberikan argumen terhadap ajaran guru selama masih dalam konteks beretika yang benar. Selain itu, saya juga merasa masih ada tekanan yang diberikan pada para siswa untuk menjawab dengan benar. Ketika jawabannya salah ia akan dihukum. Dengan begitu, siswa bisa menjadi takut untuk berpendapat, bertanya atau sekadar memulai diskusi. Bila masih banyak orang yang menganggap kalau satu siswa sempat menjawab salah, seterusnya ia akan selalu merasa salah atau disalahkan.

     

    Referensi

    https://tirto.id/sejarah-deklarasi-ham-universal-hasil-rembuk-negara-timur-barat-cBoo Diakses pada 11 November 2020, pukul 23.00 WIB.