Gojek dan Mentalitas Anti Kompetisi Yang Memalukan

460

Kabar yang menyedihkan, juga memalukan datang dari Indonesia. Baru-baru ini dikabarkan bahwa seorang pengendara ojek online Gojek, dipukuli sekumpulan pengendara ojek pangkalan tradisional hingga babak belur. Alasannya adalah pengendara Gojek mengambil penumpang dari kawasan yang biasa dikuasai oleh ojek pangkalan tradisional. Peristiwa penganiayaan ini, setidaknya terjadi lebih dari satu kali. Saya sendiri pernah melihat secara langsung bagaimana pengendara Gojek diintimidasi ketika melintasi pangkalan ojek tradisional dengan kata-kata kasar di siang hari dan di jalan yang ramai.

Banyak orang memberikan simpati kepada pengendara Gojek yang mendapatkan resistensi dari pengendara ojek tradisional. Namun bagi saya, orang-orang hanya bersimpati seadanya tanpa melihat bahwa ini merupakan pelanggaran berat atas hak asasi dan kebebasan berusaha dan melakukan kegiatan ekonomi. Kekerasan terhadap pengendara Gojek seharusnya dianggap setara dengan penganiayaan Ahmadiyah oleh muslim garis keras, karena sudah menyangkut hak asasi untuk sama-sama mendapatkan akses terhadap hak dasar manusia, yaitu kebebasan. Beberapa orang seakan masih mentoleransi kekerasan tersebut karena “mengerti” ojek pangkalan terancam atas pendatang baru dalam bisnis jasa ojek di ibu kota.

Padahal bila kita ingin benar-benar memahami kasus antara ojek pangkalan dan ojek online, keduanya sama-sama pengendara ojek yang mempunyai hak yang sama dan setara untuk mendapatkan akses ekonomi. Keduanya sama-sama dijamin hukum untuk melakukan kegiatan ekonomi (walaupun ojek belum dimasukkan sebagai salah satu moda transportasi, namun hak individu harus tetap dijamin oleh hukum). Keduanya harus bisa menunjukkan nilai lebih masing-masing, sehingga konsumen bisa memilih berdasarkan keuntungan yang bisa didapat selayaknya kegiatan jual-beli. Kompetisi di antara dua jenis ojek ini tidak bisa terelakkan, bila kita menggunakan sudut pandang keuntungan konsumen.

Hanya dengan logika kompetisi seperti ini suatu kegiatan bisnis akan maju dan semakin menguntungkan konsumen. Bila ada beberapa usaha yang berjalan di bidang yang sama melakukan kompetisi sempurna (yang terjadi tanpa intervensi pemerintah), maka harga komoditas yang dijajakan akan semakin rendah dan menguntungkan konsumen. Tidak hanya itu, komoditas tersebut akan semakin meningkat kualitasnya bila terdapat kompetisi, karena penjual akan terus-menerus meningkatkan kualitas barangnya agar diminati konsumen. Sebaliknya, barang dengan kualitas buruk dan ketinggalan tren akan tidak laku dan ditinggalkan konsumen.  Inilah apa yang disebut Joseph Schumpeter sebagai “penghancuran kreatif” (creative destruction). Peradaban moderen lahir dari penghancuran kreatif. Lahirnya teknologi mobil menghancurkan moda transportasi berbasis binatang. Lahirnya telepon genggam menghancurkan (sedikit demi sedikit) penggunaan telepon konvensional. Selalu seperti itu, layaknya hukum alam tentang kemajuan.

Masalahnya, tidak semua orang memahami logika kompetisi seperti ini. Bersimpati terhadap pihak yang tergerus roda kemajuan masih dilakukan masyarakat Indonesia. Tentu hal ini sesuatu yang simpatik. Tetapi kemajuan itu sendiri berkaitan dengan banyak pihak, jauh lebih besar dari pihak yang tergerus roda kemajuan. Ketika ada yang bersimpati pada ojek pangkalan tradisional yang kalah saing dengan ojek online, sejatinya mereka bersimpati pada satu pihak dan mengabaikan banyak pihak lainnya: ide kreatif pemilik ojek online, pengendara ojek online, dan konsumen itu sendiri. Gojek misalnya, bisa mempertemukan lebih banyak pengendara ojek dengan penumpang lewat aplikasi yang mudah diunduh melalui smartphone, dengan tarif terhadap jarak tertentu yang pasti. Ojek tradisional seringkali menentukan tarif seenaknya tanpa mengindahkan jarak tempuh yang dituju. Maka konsumen (yang berarti orang-orang seperti kita yang menginginkan terjangkaunya harga) merasa nyaman. Maka bukan sesuatu hal yang salah, bila ojek tradisional mulai ditinggalkan.

Hal Memalukan Lainnya

Kemajuan ekonomi mutlak bisa diraih hanya melalui ekonomi kompetisi. Para pengusaha (enterpreneur, wirausaha, pebisnis, pelaku usaha, atau apapun istilahnya) belum tentu mau untuk berkompetisi satu sama lain. Mereka cenderung ingin dekat dengan kekuasaan, memonopoli sektor tertentu, dan mendapatkan keuntungan dengan menjadi kroni atas pemerintah yang berkuasa. Adam Smith secara gamblang menjelaskan hal itu dalam magnum opus-nya “The Wealth of Nations”, bahwa walaupun kapitalisme dan ekonomi kompetisi bisa membawa kesejahteraan melalui kompetisi antar pengusaha, terdapat penyakit di dalamnya tentang perkawinan antara bisnis dan kekuasaan politik yang kemudian membunuh ekonomi kompetisi itu sendiri. Maka, kegagalan kapitalisme di banyak negara adalah kegagalan menjaga ekonomi kompetisi.

Maka lihatlah di Indonesia. Mental anti-kompetisi di pengusaha Indonesia bisa dilihat dari banyaknya asosiasi-asosiasi dan perkumpulan-perkumpulan pengusaha yang fungsinya ingin menciptakan kartel di sektor tertentu dan menekan pemerintah.

Seluruh kalangan di Indonesia seharusnya menekankan tidak hanya pentingnya menjadi wirausahawan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pentingnya mental kompetisi bagi pengusaha agar menciptakan kemajuan bagi masyarakat luas. Pelatihan-pelatihan menjadi pengusaha atau start-up training seharusnya sudah mulai mengajarkan bahwa menjadi pengusaha kroni sama buruknya seperti menjadi pejabat korup. Nilai koruptif pengusaha harus dibuka untuk tidak mengulangi masa kelam ekonomi Orde Baru yang dibangun dari ekonomi kronisme, sehingga membawa pembangunan Indonesia jalan di tempat.

Mentalitas kompetisi diperlukan untuk tidak hanya membawa kemajuan yang lebih luas, tetapi juga untuk menghilangkan hal-hal memalukan seperti apa yang dilakukan ojek tradisional kepada ojek online. Sebagai masyarakat beradab, kita butuh pelaku ekonomi yang tidak malu-maluin.