Gie: Aktivis Di Persimpangan Jalan

    1186

    Namanya mungkin agak samar bahkan sempat terhapus dalam ruang ingatan sebagian orang. Dirinya  mencitrakan seorang pemuda penuh mimpi, romantis, dan idealis. Bersenjatakan pena dan analisanya, ia mengganggu mimpi indah para birokrat di malam hari, mengoyang kursi-kursi para politisi di parlemen, dan menggugat sistem politik yang menjadikan rakyat sebagai kerbau yang bisa diatur sesuka hati.

    Soe Hok Gie namanya, ia hidup dalam idealisme dan mimpi besar. Berpikiran agak utopia dimana kejahatan hilang dan semua orang bisa berbahagia. Sebagai anak muda, ia pernah memiliki keinginan untuk menembak mati para pejabat korup di lapangan Banteng.

    Kemuakan Gie pada kaum tua, disebabkan ketidakstabilan politik dan juga korupsi yang menggila saat itu. Tugas kaum muda bukanlah taat dan menurut saja pada generasi tua, seorang muda adalah agen perubahan, agen kemajuan budaya, agen perubahan pola pikir, dan siap mengambil alih tugas bangsa dari kaum tua yang sudah lelah.

    ****

    Gie (begitu kita memanggilnya) lahir dari kalangan minoritas etnis Tionghoa yang hidup sederhana di pinggiran ibukota. Ayahnya Soe Lie Pit, seorang penulis, dari keluarga yang mencintai literasi membuat Gie dan kakaknya, Soe Hok DJin (Arif Budiman), menjadi anak yang gemar membaca sehingga memiliki wawasan yang luas.

    Sejak remaja, Gie sudah hanyut dalam humanisme Gandhi, membaca pemikiran Rabindranath Tagore, pemikiran sosial Karl Marx, kebebasan John Locke dan Rousseau, serta novelis seperti George Orwell. Dari membaca, ia rajin menulis isi pikirannya dan buah karya, yang ia tempel di majalah dinding agar dibaca secara luas.

    Dari bacaan yang luas, ia memilih untuk berpihak pada demokrasi, kemanusiaan, dan anti kesewenang-wenangan. Gie muak dengan ideologi yang bersifat totaliter seperti fasisme, komunis, dan Nazisme. Karena itulah, dia menolak segala konsepsi demokrasi terpimpin yang dikemukakan oleh Bung Karno.

    Menentang Rezim Totaliter

    Ketika meginjak bangku kuliah, kesadaran politik Gie makin matang. Ia termasuk orang yang gerah terhadap tradisi politik yang dikembangkan oleh sistem Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno.  Mungkin bagi masyarakat kita saat ini, Soekarno adalah idola karena berani menentang imperialisme dan kolonialisme. Namun dalam catatan sejarah, pemerintahan yang dibentuk oleh Soekarno tidak berjalan secara ideal. Malah muncul oligarki, birokrat korup, dan juga pejabat yang hanya memperkaya diri.

    Soekarno mencetuskan konsep demokrasi terpimpin, yaitu suatu sistem absurd yang menggunakan nama demokrasi, namun dikomandoi oleh seorang pemimpin tertinggi, dengan tujuan kemakmuran dan sosialisme Indonesia. Sistem demokrasi terpimpin ini justru malah mengarah pada diktatorisme dan tirani yang bersembunyi dibalik jubah demokrasi.

    Orde Lama berdiri di atas konsepsi dan mimpi-mimpi utopian. Pemerintah mempropagandakan, konsepsi-konsepsi seperti Berdikari, Resopim, Manipol-Usdek, Dekon,  dan lain sebagainya, namun hanya sebatas kampanye untuk menarik minat masyarakat. Pada tahun 1962, pemerintah menjalankan politik konfrontasi, yaitu menentang pembentukan Federasi Malaysia.

    Politik konfrontasi telah menyedot ribuan pemuda untuk turut bertempur ke medan perang dan menghabiskan biaya jutaan dollar. Pemerintah yang sebelumnya telah membuat program pembangunan Semesta Berencana selama 8 tahun, akibat politik konfrontasi, pembangunan terbengkalai begitu saja. Harga bahan pokok naik karena inflasi, namun para pejabat masih saja hidup bermewah-mewah.

    Banyak para tokoh yang berusaha mengingatkan dan mengkritik pemerintah justru malah masuk ke dalam rumah tahanan. Tokoh-tokoh sepert Sutan Sjahrir, Mochtar Lubis, Buya Hamka, dan sisanya, melarikan diri keluar negeri agar bisa lepas dari  penangkapan. Seluruh media menjadi corong propaganda pemerintah. Media massa tidak diperkenankan mengkritik pemerintah atau menyiarkan berita yang merusak kewibawaan pemerintah.

    Anggota parlemen dipilih oleh Soekarno dengan istilah Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Seluruh komponen pemerintahan statusnya adalah pembantu presiden. Akibatnya, sistem demokrasi yang berlandaskan pada chek and balance tidak berjalan dengan sebaliknya, malah muncul politisi penjilat, tukang cari muka, dan orang-orang “ok bos”.

    Inflasi yang tinggi, harga sembako yang mahal ditutupi oleh juru propaganda dengan janji-janji sosialisme Indonesia, yaitu suatu zaman yang akan datang dimana semua orang bisa hidup makmur tanpa ada lagi yang kelaparan.

    Situasi saat itu yang sedemikian bobrok yang membuat Gie memberontak. Ia menulis kritikan dan menyebarkan brosur-brosur berkala, serta mengikuti kelompok perlawanan bawah tanah yang dimotori oleh oposisi.

    Ketika banyak ormas pemuda dan mahasiswa yang ikut “euforia revolusi”, Gie justru menjadi orang yang paling sadar pada situasi politik dan membongkar habis kebohongan-kebohongan pemrinatah. Bagi Gie, sistem demokrasi terpimpin (Orde Lama), yang dibangun dengan tangan besi adalah biang masalah. Kemacetan pembangunan, konflik politik antara militer dan PKI, serta harga yang melambung tinggi membuat suasana menjadi kacau.

    Sebagai seorang anak muda, Gie termasuk salah satu anak muda yang berani berkata tidak kepada kaum tua yang memerintah. Kaum tua selalu memposisikan diri mereka sebagai pahlawan bangsa, karena mereka berhasil mengusir penjajah dan membawa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan.

    Walaupun vokal terhadap sistem Orde Lama, Gie tidak membenci Soekarno secara personal. Ia menolak konsepsi politik Orde Lama dan para punggawanya yang memberangus demokrasi dan menutup pintu kritik. Gie sendiri memuji sosok Soekarno yang pandai berkomunikasi dengan rakyat bawah,sehingga antara program pemerintah dapat dimengerti oleh rakyat luas. Namun, karena watak totaliter dan kebobrokan birokrasi, progam-program yang baik dari Soekarno tidak dapat berjalan sesuai rencana.

    ****

    Tanggal 30 September terjadi gerakan militer yang bernama G30S. PKI (yang saat itu bergelayut dibawah ketiak Bung Karno), yang dituduh sebagai dalang gerakan untuk  merebut kekuasaan dengan cara membunuhan 7 Jenderal Angkatan Darat.

    Memang pada masa itu, PKI pada masa itu menjadi “arsitek” dari program-program pemerintah, PKI sangat vokal mengobarkan revolusi sekaligus tak segan-segan membabat habis lawan politik yang diduga sebagai kontra revolusi.

    Kegiatan PKI yang selalu berlandaskan “atas nama revolusi”, membuat PKI dituduh sebagai dalang dibalik G30S. Dalam persaingan antara ABRI dan PKI, Gie memilih memihak pada ABRI. Bukan karena Gie setuju pada militerisme, tapi ABRI menurut Gie adalah kekuatan politik yang dapat merobohkan kekuatan Pemerintahan Soekarno yang didukung PKI.

    Gie tidak pernah setuju dengan cara dan sikap politik PKI yang anti kritik dan tak pernah setuju dengan cara politik PKI yang terlalu berapi-api,sehingga bertindak anarkis. Namun,  walaupun Gie kontra dengan garis politik PKI, Gie bukan pembenci fanatik komunisme. Komunisme secara ide adalah cita-cita pembebasan dan menjunjung keadilan sosial, namun cara-cara partai komunis dan pemerintahan komunis yang menerapkan tangan besi dan mencampakkan demokrasi yang membuat Gie merasa muak.

    Ketika mahasiswa dan ABRI berhasil menggulingkan Orde Lama dan mendirikan suatu sistem bernama Orde Baru, Gie berharap  sistem pemerintahan Orde Baru adalah suatu pemerintahan yang bersih, demokratis, dan menjamin kebebasan.

    Sebagai salah satu aktor yang mengagas Orde Baru, Gie berpendapat bahwa Orde Baru harus menjadi anti-tesis dari sistem Orde Lama, ia harus bersifat demokratis, bersih dari korupsi, dan berorientasi pada pembangunan, bukan revolusi yang menekankan konfrontasi antar bangsa.

    Namun, Gie akhirnya kecewa dengan mimpinyayang terlampau tinggi mengawang-awang. Orde Baru yang diharapkan sebagai sistem pemerintahan yang demokratis, pada akhirnya justru menjadi diktator militer yang berkuasa dengan tangan besi, bahkan tak segan-segan melakukan kekerasan pada suara-suara kritis.

    Sebagai orang aktor yang turut menciptakan sistem Orde Baru, Gie malah menjadi orang pertama yang mengkritik rezim militer tersebut. Ia mengecam pembunuhan massal di Bali yang secara kejam dilakukan oleh aparat militer. Pena tajamnya ia arahkan kepada kawan-kawan mahasiswa dan aktivis yang justru hanyut dalam “proyek-proyek” dan juga jabatan.

    Ia kecewa dengan teman-teman mahasiswa sesama aktivis, yang diharapkan menjadi agen pembaharuan, justru menjadi aktor-aktor yang tak beda jauh dengan politisi lainnya. Para mahasiswa yang duduk di parlemen malah beramai-ramai memperkaya diri sembari memborong mobil Holden dan televisi.

    ****

    Gie mungkin seorang yang romantis, dalam artian, dia hanyut dan terbuai oleh pemikiran-pemikiran ideals mengenai kebenaran, keadilan, dan kebebasan. Dengan bermodalkan pada prinsip ini, ia tak takut dalam melakukan kritik dan kecaman. Baginya, menulis adalah senjata untuk melawan kesewenang-wenangan, karena itulah tulisannya kadang tajam menohok dan agak sarkas.

    Ia memilih mengambil jalan sunyi di persimpangan, memilih untuk teguh pada idealismenya sebagai seorang anak muda. Ia wafat pada tahun 1969 di usia yang masih sangat muda. Hingga akhir hayatnya ia tetap mengambil jalan sunyi, kokoh mengikuti prinsip idealis dan cita-cita romantisnya ketimbang berkompromi pada kemunafikan.