Demokrasi pada era kontemporer telah menjadi sistem yang dipilih oleh mayoritas negara di dunia, Amos J. Peaslee pada sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1950an menemukan fakta bahwa Undang-Undang Dasar di 83 negara di dunia, hampir 90% selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi (Zaini, 2018). Huntington menyatakan bahwa ada tiga gelombang demokratisasi yang melanda dunia. Pertama, terjadi pada tahun 1828 sampai 1926 yang menyapu banyak monarki di Eropa yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi sehingga memunculkan berbagai gejolak sosial. Kedua, terjadi pada tahun 1943-1962, yang lebih dikenal sebagai periode kemerdekaan berbagai bangsa non-Barat dari cengkeraman kolonialisme negara-negara Barat. Ketiga, adalah proses demokratisasi yang melanda banyak negara pada periode 1970-an hingga tahun 1990-an (Huntington, 2001).
Gelombang terakhir ini terlihat sangat berbeda dibanding dua gelombang demokratisasi yang melanda dunia sebelumnya. Proses demokratisasi pada periode gelombang ketiga tidak hanya diakibatkan oleh faktor internal seperti hilangnya legitimasi rezim yang berkuasa, masalah ekonomi, maupun konflik sipil. Namun, sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti snowball effect dari negara-negara satu kawasan, gerakan sosial, dan tekanan internasional (Akbar, 2016).
Gerakan sosial yang disebut menjadi salah satu faktor yang berpengaruh besar pada gelombang demokratisasi ketiga, dapat didefinisikan sebagai kampanye yang terorganisir secara longgar namun berkelanjutan untuk mendorong perubahan sosial (Killian et al., 2020). Peran organisasi dan gerakan sosial terbukti sangat besar dalam berbagai proses penggulingan rezim otoriter di dunia, sebut saja peran Partai Rakyat Demokratik dan berbagai underbow-nya pada proses reformasi Indonesia pada tahun 1998 dan aliansi politik antara berbagai partai politik, LSM, dan organisasi keagamaan yang berhasil mengorganisir penggulingan diktator Filipina, Ferdinand Marcos pada tahun 1986.
*****
Munculnya aktor-aktor baru dalam proses hubungan internasional pada akhirnya melahirkan internasionalisasi (Tarrow, 2012). Internasionalisasi ini selanjutnya memungkinkan aktor-aktor politik domestik sebuah negara seperti partai politik dan kelompok masyarakat untuk berkomunikasi dan melakukan aliansi politik melintasi batas negara, hal ini diakselerasi pula oleh kemajuan teknologi yang melanda dunia (Haq et al., 2021). Hal ini bisa dilihat sangat menonjol pertama kali pada Lotus Revolution yang menyapu Mesir pada 2011, dimana untuk pertama kalinya sosial media –Facebook– menjadi alat utama untuk mengorganisir demonstrasi (Crimethinc, 2011).
Proses internasionalisasi yang dialami oleh gerakan sosial lalu memuncul international non-governmental organization atau INGO dan international governmental organization atau IGO. Kelompok-kelompok ini selanjutnya menjadi aktor dalam hubungan internasional di era kontemporer, dimana negara tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam hubungan internasional. Aktor-aktor baru ini bahkan memiliki posisi yang setara dengan aktor negara dalam hubungan internasional, bahkan menjadi ancaman bagi sebuah negara. IGO seperti USAID tercatat mendanai berbagai organisasi politik dan gerakan sosial yang tengah melawan rezim otoriter diberbagai negara seperti Venezuela, Kuba, dan Hongkong (Telesur, 2014). Dukungan dana yang dikirimkan oleh USAID kepada berbagai gerakan sosial ini menjadi bentuk intervensi tidak langsung Amerika Serikat terhadap berbagai negara otoriter dan memainkan peran penting dalam proses demokratisasi.
Di beberapa negara otoriter, gerakan sosial memainkan peran penting dalam proses pergantian rezim, sebut saja di beberapa negara eks-Soviet seperti Georgia, Ukraina, dan Kirgyztan. Dengan penggulingan rezim-rezim otoriter yang sebelumnya berkuasa telah membuka keran kebebasan sipil yang ditandai dengan munculnya berbagai partai politik, pers, hingga organisasi dan gerakan sosial baru yang sebelumnya ditekan oleh penguasa. Gerakan-gerakan sosial yang bergerak dalam berbagai tendensi ideologi dan tujuan pada akhirnya berfungsi sebagai saluran aspirasi masyarakat hingga melakukan fungsi check and balance terhadap rezim yang berkuasa. Gerakan sosial kini bergerak untuk memastikan pemerintah tidak melakukan abuse of power dan bertugas sesuai fungsinya.
Tak hanya mempengaruhi politik domestik, berbagai INGO ini juga mempengaruhi perpolitikan internasional. Sebut saja, Amnesty International yang fokus kepada penegakan HAM secara universal, yang berhasil mendorong pembebasan banyak tahanan yang dipenjara karena latar belakang ras, suku, agama, orientasi seksual, ekspresi gender, dan pandangan politik (NobelPrize.org, n.d.). Selain organisasi, gerakan sosial pun juga mampu mempengaruhi perpolitikan internasional meskipun berbentuk sebagai kolektif yang terdesetralisir dan tanpa pemimpin. Misalnya, gerakan Black Lives Matter yang menggulung Amerika Serikat telah memunculkan solidaritas anti-rasisme global yang melanda banyak negara (Shaw & Kidwai, 2020), atau gerakan Friday For Future yang dimulai dari Swedia hingga mengglobal di banyak negara bahkan mempengaruhi proses pengambilan kebijakan politik di banyak negara dan organisasi internasional (Guterres, 2019).
Globalisasi dan perkembangan teknologi yang melanda dunia juga telah menghadirkan kesempatan bagi masyarakat sipil untuk lebih mudah terlibat dalam gerakan sosial. Keberadaan gerakan sosial dapat menjadi indikator seberapa bebasnya sebuah negara yang mengklaim sebagai negara demokratis. Keberadaan gerakan sosial menunjukan bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri terhadap sebuah kebijakan pemerintah, hal yang tidak mungkin terjadi pada negara otoriter. Keberhasilan berbagai gerakan sosial di dunia menunjukan kepada kita semua bahwa pada hakikatnya pemerintah lah yang seharusnya tunduk pada rakyat, bukan sebaliknya. Maka, sangat penting untuk terus mendorong keterlibatan masyarakat sipil dalam gerakan sosial dan melawan otoritarianisme, karena tidak ada demokrasi tanpa keterlibatan masyarakat sipil didalamnya.
Referensi
Internet
Crimethinc. (2011). Egypt Today, Tomorrow the World. Diakses dari https://id.crimethinc.com/2011/02/02/egypt-today-tomorrow-the-world pada 21 Januari 2022, pukul 21.00 WIB.
Guterres, A. (2019). The climate strikers should inspire us all to act at the next UN summit. Diakses dari https://www.theguardian.com/commentisfree/2019/mar/15/climate-strikers-urgency-un-summit-world-leaders pada 23 Januari 2022, pukul 14.00 WIB.
Killian, Lewis M. , Smelser, Neil J. and Turner, Ralph H.. “social movement”. Encyclopedia Britannica, (2020), Diakses dari https://www.britannica.com/topic/social-movement. pada 22 Januari 2022, pukul 21.30 WIB.
NobelPrize.org. (n.d.). Amnesty International – History. Nobel Prize Outreach. Diakses dari https://www.nobelprize.org/prizes/peace/1977/amnesty/history/ , pada 23 Januari 2022, pukul 15.27 WIB.
Shaw, D. O., & Kidwai, S. A. (2020). The Global Impact of the Black Lives Matter (BLM) Movement. Diakses dari https://thegeopolitics.com/the-global-impact-of-the-black-lives-matter-movement/, pada 23 Januari 2022, pukul 15.30 WIB.
Telesur. (2014). USAID Claims it Will Halt Destabilization Programs. Diakses dari https://www.telesurenglish.net/news/USAID-Claims-it-Will-Halt-Destabilization-Programs-20141110-0017.html, pada 23 Januari pukul 14.00 WIB.
Jurnal
Akbar, I. (2016). Demokrasi dan Gerakan Sosial (Bagaimana Gerakan Mahasiswa terhadap Dinamika Perubahan Sosial). Jurnal Wacana Politik, 01(No 2 (2016)). https://doi.org/https://doi.org/10.24198/jwp.v1i2.11052
Haq, A. T., Abdullah, H., & Syahdan, P. (2021). Strategi Gerakan Sosial Transnasioal dalam Kampanye Perdamaian Internasional (Studi Kasus: Food Not Bombs). Hasanuddin Journal of International Affairs, 1(No 1, February 2021). https://journal.unhas.ac.id/index.php/hujia/article/download/12721/6421/41049
Zaini, A. (2018). Demokrasi: Pemerintah oleh Rakyat dan Mayoritas. Al Ahkam, 14(Vol 14 No 2 (2018): Juli-Desember 2018). https://doi.org/http://dx.doi.org/10.37035/ajh.v14i2.1485
Buku
Huntington, S. P. (2001). Gelombang Demokratisasi Ketiga. PT Pustaka Utama Grafiti.
Tarrow, S. (2012). The New Transnational Activism. Cambridge University Press. https://doi.org/https://doi.org/10.1017/CBO9780511791055

Iman adalah seorang anak muda yang lahir di pinggiran Jawa Timur beberapa tahun setelah gonjang-ganjing reformasi politik Indonesia. Saat ini, ia tengah menempuh pendidikan S1 Hubungan Internasional di Fakultas Ekonomi dan Sosial Universitas Amikom Yogyakarta. Ia banyak terpengaruh oleh ide-ide politik anti-otoriter dari beragam pemikir seperti Max Stirner, Emma Goldman, Benjamin Tucker, Samuel Edward Konkin III, hingga Sheldon Richman.
Iman saat ini tengah aktif di beberapa komunitas yang fokus pada aktivisme dan advokasi Hak Asasi Manusia, khususnya pada isu gender, disabilitas, dan enviromentalisme.
Iman memiliki blog pribadi https://imanamirullah.wordpress.com dan dapat dihubungi melalui Instagram: @_kim172 atau LinkedIn: Iman Amirullah