Menjelang akhir tahun, saya cukup kaget dengan pengumuman pemerintah yang dibacakan oleh Prof. Mahfud MD pada 30 Desember 2020 untuk melarang segala aktivitas ormas Front Pembela Islam atau FPI. Pembubaran tersebut dilakukan dengan dalih bahwa AD/ART ormas tersebut bertentangan dengan konstitusi dan konsensus bangsa (Pancasila).
Pemberitaan mengenai pembubaran FPI ini cukup mengejutkan. Partisipasi FPI dalam Pemilu 2019 dan juga pengaruhnya yang besar saat Pilkada DKI 2017 membuat anggapan bahwa FPI saat ini berbeda dengan FPI tahun 2001 atau 2010 silam. FPI saat ini memiliki kekuatan sosial politik bahkan diberi panggung oleh para politisi sehingga sering menghiasi berita-berita politik tanah air.
Memang cukup mengejutkan, pemerintah “berani” bertindak tegas dengan membubarkan organisasi massa yang cukup disegani karena memiliki background agama yang cukup kuat. Background agama itulah yang secara efektif “memberi tameng” kepada FPI dan bebas bergerak di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam.
Ormas yang dipimpin oleh Muhammad Rizieq Shihab ini memang menarik banyak perhatian. Kadang mereka dipandang orang-orang dengan penuh kebencian. Tetapi tidak dipungkiri, banyak orang yang memandang dengan penuh simpati dan kekaguman. Di satu sisi, FPI memberi teladan dengan menurunkan laskar di beberapa daerah yang terkena bencana. Di sisi lain, laskar-laskar FPI kerap melakukan aksi sweeping dan tindakan kekerasan terhadap kelompok yang mereka anggap sesat.
*****
Populisme Islam adalah istilah yang cukup trending belakangan ini. Verdi R. Hadiz dalam bukunya, “Islamic Populism in Indonesia and the Middle East”, mendefinisikan populisme Islam sebagai “sebuah gerakan multi etnis, multi kelas, yang disatukan oleh semangat persatuan umat dalam membuat gerakan perjuangan yang memiliki tujuan untuk menegakkan konsep ‘Islam universal’” (Hadiz, 2018).
FPI bisa dikatakan sebagai salah satu organisasi Muslim populis, di mana mereka dalam aksi dan dakwahnya selalu menyerukan persatuan dan juga penegakan syariat Islam di Indonesia. Konsepsi keislaman yang dibawa oleh FPI bukan hanya pada tataran nasional saja, tetapi mereka memiliki konsepsi penyatuan gerakan Islam internasional. Mereka mendukung gerakan Khilafah, menyerukan agar negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI menciptakan mata uang, angkatan perang yang satu, dan juga sistem ekonomi yang saling terintegrasi.
Sebagai sebuah ormas, gagasan FPI bisa dikatakan “sangat visioner.” Mereka berusaha untuk menegakkan syariat Islam bukan hanya sebatas di mimbar masjid atau pamflet. FPI memiliki laskar khusus yang siap diterjunkan untuk memberantas apa yang mereka anggap sebagai kemungkaran, seperti kafe, diskotik, tempat ibadah ilegal yang meresahkan umat Islam. Mereka dengan keras menolak keberadaan aliran-aliran yang dianggap menyimpang dari Islam.
Hadirnya FPI tidak bisa dipisahkan dengan kejadian pada masa runtuhnya Orde Baru, di mana adanya keterpurukan ekonomi masyarakat, kerusuhan yang hampir membuat Indonesia jatuh ke dalam perang sipil, dan juga munculnya ideologi-ideologi alternatif ketika Pancasila (versi Orde Baru) dianggap tidak bisa menyelesaikan masalah rakyat.
Saat situasi tak menentu itulah, Habib Rizieq mengumpulkan para ulama-ulama yang kritis dengan pemerintah seperti KH Fathoni, KH Misbahul Anam, KH Cecep Bustomi, dan Habib Idrus Jamalullail untuk membentuk Front Pembela Islam. Di tahun-tahun awal, massa FPI dengan semangat membara berusaha menekan Gubernur Sutiyoso untuk menutup tempat-tempat yang dianggap sebagai biang maksiat di Jakarta (Tirto.id, 4/11/2016)
*****
Mungkin, FPI memiliki tujuan awal yang baik dalam visi dan misinya. Namun dalam praktiknya, tindakan laskar yang kerap bertindak anarki dan beringas, justru membuat sebagian masyarakat tidak menaruh simpati. Beberapa contoh diantaranya adalah sweeping terhadap orang asing seperti yang terjadi pada dekade 2000-an, sweeping terhadap warung yang buka selama Bulan Ramadhan, penganiayaan yang dilakukan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, dan juga tindak kekerasan yang dilakukan FPI terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKBB) di silang Monas pada 1 Juni 2008.
Tindakan-tindakan laskar Front Pembela Islam yang terlihat anarki dan main hakim sendiri membuat banyak umat Islam alergi dengan ormas ini. Bahkan, KH. Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, menyerukan agar FPI dibubarkan karena ormas ini sering terlibat dalam berbagai aksi kekerasan (Detik.com, 30/12/2020).
Jika kita melihat sejarah peristiwa di balik lahirnya FPI, dapat kita tarik kesimpulan bahwa FPI muncul ke hadapan publik dengan narasi seolah-olah umat Islam ditindas. Seolah-olah dunia, sudah penuh kemungkaran, dan seakan ada konspirasi untuk menjatuhkan Islam.
Agitasi dan propaganda seperti demikian terbukti efektif dan saat ini justru malah meraih banyak simpati. Karena masyarakat termakan framing bahwa situasi zaman ini penuh kacau balau dan kesesatan, lantas FPI hadir ke masyarakat sebagai “polisi surgawi” yang menentukan benar dan salah. Dengan demikian, jangan heran jika dalam tiap aksinya, FPI selalu menekankan pada unjuk kekuatan (bentrokan contohnya).
Pola militansi keagamaan dan juga show of power dengan dalih menegakkan syariat, sebenarnya juga sudah lumrah dilakukan oleh kelompok Muslim populis lainnya di seluruh dunia, misalnya seperti Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslim di Mesir, atau Hizbullah di Lebanon. Pandangan kaum populis ini berpijak pada asumsi bahwa umat Islam sedang tertindas dan peradaban dunia di hegemoni oleh Barat yang kafir, sehingga mereka menyerukan agar umat Islam berjuang dengan kekuatan untuk menegakkan kembali kejayaan masa lalunya.
Doktrin kebencian pada Barat dan juga konfrontasi antar peradaban yang dipegang oleh kelompok Muslim populis seperti FPI, HTI, Ikhwanul Muslim menjadi pembenaran atas tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok tersebut. Dan yang lebih berbahaya, banyak masyarakat awam menerima begitu saja doktrin beragama seperti ini.
Bisa dilihat di media sosial kita, ketika seorang guru di Prancis meninggal dengan kepala terpenggal oleh seorang remaja radikal, banyak netizen yang menganggap bahwa sang remaja sebagai pahlawan agama. Seolah, agama membenarkan pembunuhan secara sadis di muka umum. Ini bukan saja menimbulkan konflik di masyarakat, tetapi juga membuat citra agama Islam menjadi rusak.
Populisme Islam cenderung menolak gagasan demokrasi, Hak Asasi Manusia, kebebasan, dan sekularisme. Alasannya cukup simpel, karena itu semua produk orang kafir. Jika ini dibiarkan, tentu akan berbahaya bagi masyarakat, khususnya negara Indonesia yang berdiri diatas asas demokrasi.
Pelaragan ormas FPI yang dilakukan oleh pemerintah, mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah itikad bahwa pemerintah berusaha melawan paham radikal yang ingin merusak sendi-sendi negara dan hukum. Namun, untuk mengikis radikalisme yang sudah mulai menjalar, pelarangan saja belum cukup.
Jika pemerintah hendak mencegah arus radikalisme, pemerintah seharusnya dapat menyiapkan instrumen-instrumen hukum yang kuat dan melindungi hak dasar masyarakat. Beberapa diantaranya adalah menjamin kebebasan beragama, kebebasan individu, memperkuat demokrasi, dan juga memberi perlindungan yang jelas kepada kaum minoritas yang (faktanya) sering diabaikan.
Jika pemerintah hanya melarang sebuah organisasi secara formal tetapi tidak diikuti oleh instrumen berupa kebijakan-kebijakan yang mendukung demokrasi dan kebebasan, ini sama saja seperti mencabut badan rumput, sehingga akan tumbuh lagi rumput-rumput baru. Dengan kata lain, jika pemerintah tak merumuskan instrumen yang nyata dan jelas, dapat dipastikan FPI-FPI baru akan muncul dengan nama dan gerakan yang berbeda-beda.
Referensi
Buku
Hadiz, Vedi R. 2017. Islamic Populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge: Cambridge University Press.
Internet
https://tirto.id/fpi-dalam-lintasan-sejarah-b1NT Diakses pada 7 Januari 2021, pukul 23.47 WIB.
https://news.detik.com/berita/d-5315010/cerita-gus-dur-minta-fpi-dibubarkan diakses 8 Januari 2021, pukul 00.23 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com