Gebrakan Sang Menteri Melawan Radikalisme

    620

    Belakangan ini isu radikalisme naik kembali ke permukaan. Nampaknya isu radikalisme merupakan isu paling “sexy.” Berbagai seminar banyak yang membahas tentang radikalisme, dan di media sosial pun topik radikalisme masih terus asyik diperdebatkan. Rasanya radikalisme ini tak kenal musim dan tak kenal rezim, terus saja bergulir.

    Masalah radikalisme ini sudah bikin pusing orang diseluruh dunia. Sejak kelompok radikal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) memproklamasikan kekhilafahannya di wilayah Iraq dan Suriah pada tahun 2014, banyak peristiwa teror dan pembunuhan dilakukan dengan dalih menegakkan agama. sekurang-kurangnya hingga 2017 telah terjadi  228 serangan teror di 33 negara dan menjatuhkan banyak korban jiwa.

    Radikalisme kini menjadi musuh masyarakat internasional dan menjadi tanggung jawab bersama untuk mencegahnya. Walaupun pemimpin ISIS, Abu Bakar Al-Baghdadi, sudah tewas terbunuh, namun itu bukan jaminan bahwa kita sudah terbebas dari hama radikalisme dan kelompok-kelompok intoleran. Di Indonesia sendiri PR Presiden Jokowi yang harus segera dituntaskan adalah memberantas dan menangkal wabah radikalisme.

    Pada tahun 2017 lalu, Wahid Institute melakukan survei mengenai perkembangan radikalisme di masyarakat, hasilnya: mengejutkan! 11 juta orang ingin melakukan tindakan radikal.  Survei tersebut dilakukan pada 1.520 responden, dan hasilnya sebanyak 0,4 persen penduduk Indonesia pernah bertindak radikal. Sedangkan 7,7 persen mau bertindak radikal kalau memungkinkan.

    Setara Institut juga melakukan suatu survei yang cukup mengejutkan, dimana 10 kampus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) disinyalir terpapar oleh paham radikal. Survei Setara banyak ditentang oleh beberapa kalangan, tapi benar tidaknya, faktanya seorang dosen IPB  diberitakan  telah ditangkap karena terpengaruh ideologi radikal dan berencana melakukan aksi teror.

    Radikalisme sepertinya sudah membuat pusing pemerintah, bulan oktober kemarin Menhan Wiranto ditusuk oleh senjata tajam oleh orang yang diduga terpapar ideologi radikal. Keberanian kelompok radikal pasca dibubarkannya HTI dan penusukan Wiranto, membuat pemerintah menjadi paranoid terhadap kelompok radikal agama dan mencanangkan gerakan total untuk memerangi radikalisme.

    *****

    Setelah Joko Widodo dilantik sebagai presiden di periode keduanya, tiga hari kemudian presiden mengumumkan nama-nama menteri yang duduk di kabinetnya. Yang menjadi sorotan publik adalah diangkatnya menteri agama dari kalangan militer, yaitu Jenderal (purn) TNI Fachrul Razi. Sebelumnya Fachrul Razi, Indonesia pernah 2 kali memiliki menteri agama dari kalangan militer, Alamsyah Ratu Prawiranegara dan Tarmizi Taher.

    Mengapa Jokowi menempatkan seorang perwira menjabat sebagai menteri agama? jawabannya simpel, Jokowi ingin menuntaskan masalah radikalisme yang dianggap menganggu stabilitas pemerintahannya. Kedudukan Jokowi sebagai presiden, dirongrong oleh ormas radikal dan HTI yang menolak demokrasi dan berusaha menegakkan sistem khilafah.

    Baru 10 hari menjabat sebagai menteri agama, Fachrul Razi mulai melontarkan berbagai pembicaraan yang kontroversial di kalangan masyarakat umum. Yaitu kebijakannya soal cadar, celana cingkrang, dan juga doa dengan menggunakan bahasa Indonesia.

    Dalam salah satu keterangannya beliau menjelaskan bahwa Cadar tidak pasti menunjukan ketakwaan, beliau juga menghimbau setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk tidak menggunakan cadar, sebab dalam aturan, tidak ada PNS yang menutup wajahnya.

    Begitu juga masalah celana cingkrang yang disinggung oleh beliau sebagai identitas Muslim radikal, sehingga setiap PNS yang celananya cingkrang diperkenankan untuk berhenti sebagai PNS.

    Sebagaimana kita ketahui, celana cingkrang merupakan atribut kelompok Islam wahabi dan beberapa kelompok radikal juga mengenakan celana cingkrang (diatas mata kaki) pelarangan terhadap pakaian cingkrang, merupakan upaya untuk menangkal dan menolak  fundamentalisme yang mulai berkembang dikalangan PNS.

    Fachrul Razi juga menghimbau agar para penceramah dan imam-imam masjid untuk membantu pemerintah dalam menangkal terorisme dan paham-paham radikal, seperti menyisipkan dalam setiap khotbah tentang kesesatan paham radikal. Para Imam juga dihimbau untuk berdoa dengan bahasa Indonesia serta mendoakan keselamatan tanah air.

    *****

    Tidak Substansial

    Komitmen dari Kementrian Agama yang baru untuk menangkal terorisme dan radikalisme memang patut diacungi jempol. Dalam tradisi Islam sendiri memang masalah cadar dan celana cingkrang bukan esensi ajaran agama.

    Cadar sendiri adalah produk budaya, sebab dalam Al-Quran dan Hadits tidak ada keterangan tentang kewajiban bercadar, begitupula bagian wajah wanita bukanlah aurat yang harus ditutupi, pelarangan kain cadar dan celana cingkrang memang bukan tujuan dari menteri agama, tetapi ini sebagai simbol untuk melawan radikalisme.

    Lalu bagaimana polemik pelarangan atribut cadar dan celana cingkrang dari sudut pandang ideologi kebebasan dan demokrasi? Jika kita merujuk pada asas kebebasan sipil, harus tegaskan terlebih dahulu bahwa libertarianisme membebaskan setiap orang untuk berekspresi termasuk mengekspresikan dirinya dengan menggunakan atribut keagamaan.

    Pilihan orang untuk bercadar, celana cingkrang, atau bergamis adalah hak individu masing-masing dimana negara tidak boleh mencampuri kebebasan tiap orang. Disini jelas kebijakan dan pernyataan dari menteri agama tentang pelarangan cadar dan celana cingkrang tidak tepat.

    Pertama cadar tidak bisa diasosiasikan sebagai identitas kelompok radikal, sebab tidak semua penganut salafi-Wahabi (Muslim Konservatif) adalah teroris dan setuju pada radikalisme. Banyak wanita bercadar hanya sebagai bentuk ketaatan tanpa ada motif politik atau ingin berbuat jahat.

    Tidak bisa radikalisme dinilai hanya dari segi pakaian, sebab radikalisme adalah masalah ideologi, bukan masalah pakaian. Radikalisme dan ekstrimisme beragama  adalah pola pikir yang mendorong orang untuk melakukan tindakan buruk dengan asumsi bahwa yang dilakukan adalah membela agama.

    Yang paling keras menolak wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang adalah para ustadz dan anak muda yang mengikuti tren hijrah. Mereka merasa diri mereka menjalankan ajaran agama tanpa ada motif untuk bertindak anarkis. Karena itulah wacana menag untuk melarang cadar langsung mendapat kritikan publik.

    Tentu kita memuji semangat menteri Fachrul Razi untuk memberantas terorisme dan menjaga masyarakat dari paham ekstrimis, namun untuk memberantas secara menyeluruh harus menggunakan cara-cara yang strategis, bukan sekedar mempermasalahkan hal-hal yang tidak substansial.

    Salah satu cara untuk mencegah terorisme adalah menanamkan rasa toleransi, pengenalan terhadap demokrasi, dan juga menyebarkan semangat keagamaan yang liberal dan moderat kesetiap sekolah-sekolah agama.

    Forum-forum dialog antar agama dan juga menyelenggarakan penyuluhan toleransi bagi para imam dan ulama disetiap daerah. Pemerintah harus memiliki program yang pro pluralisme dan toleransi kesetiap institusi pendidikan dan sosial. Pola-pola seperti ini lebih tepat untuk diterapkan oleh pemerintah

    Kemenag diharapkan  untuk mengontrol ormas-ormas radikal yang telah menjadi pelopor gerakan intoleransi. Berapa banyak rumah ibadah seperti gereja, pura, vihara yang tidak bisa berdiri atau disegel hanya karena masyarakat dimobilisasi oleh ormas radikal untuk menolak pendirian bahkan menyegel rumah ibadat tersebut.

    Jika pemerntah berkomitmen untuk menghapus radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme, maka pemerintah harus berani mengontrol dan menindak ormas-ormas radikal yang selama ini menganggu kerukunan umat beragama. Mendisiplinkan ormas dan kelompok radikal merupakan hal penting ketimbang mengurusi pakaian warga.

    Walaupun saat ini menteri agama terlihat mempersoalkan hal-hal yang kurang substansial, tak ada salahnya jika kita melihat  bagaimana kedepannya. Dibutuhkan trobosan yang strategis dan juga gebrakan yang berani dari sang menteri untuk menghalau paham-paham  radikal yang menganggu kebebasan dan demokrasi di Indonesia.

     

    Referensi:

    Katadata.co.id dengan judul “Teror ISIS di Dunia” , https://katadata.co.id/infografik/2017/06/02/teror-isis-di-dunia

    https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170814172156-20-234701/survei-wahid-institute-11-juta-orang-mau-bertindak-radikal

    https://tirto.id/setara-institute-sebut-10-kampus-terpapar-paham-radikalisme-d9nh