Sosok Mahatma Gandhi tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu tokoh paling dikenal dan berpengaruh dalam sejarah dunia modern. Perannya dalam memimpin India keluar dari jerat penjajahan Imperium Inggris tanpa kekerasan telah memberi inspirasi terhadap jutaan orang di seluruh dunia untuk berjuang melawan diskriminasi dan ketidakadilan.
Pengaruh Gandhi terhadap gerak sejarah dunia memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Tidak tanggung-tanggung, pada tahun 1999, majalah ternama TIME menobatkan Gandhi di posisi kedua dari 100 tokoh paling penting di abad ke-20, bersama dengan Presiden Amerika Serikat ke-32 yang memimpin Perang Dunia II, Franklin D. Roosevelt (chicagotribune.com, 31/12/1999).
Sebagai salah satu tokoh paling penting dan paling berpengaruh di abad ke-20, kisah hidup Gandhi sendiri banyak diabadikan melalui banyak buku biografi, dan diceritakan melalui berbagai film. Salah satu film yang menceritakan kisah hidup Gandhi yang paling dikenal adalah film berjudul “Gandhi” yang dirilis pada tahun 1982 garapan sutradara terkemuka asal Inggris, Richard Attenborough. Gandhi sendiri diperankan oleh aktor Ben Kingsley.
Film Gandhi sendiri dibuka pada 30 Januari 1948, ketika Gandhi sedang memimpin upacara doa sore di ibukota India, New Delhi. Tidak lama kemudian, Gandhi ditembak oleh seorang penganut Hindu radikal bernama Nathuram Godse, karena Gandhi dianggap terlalu lembut dan bersedia berkompromi dengan kelompok Muslim. Pemakaman Gandhi sendiri dihadiri oleh jutaan rakyat India dan berbagai tokoh besar. Diantaranya Mantan Gubernur Jenderal India, Louis Mountbatten, dan Perdana Menteri India, Jawarhalal Nehru.
Flashback 55 tahun ke belakang ke tahun 1893, Gandhi pada saat itu sedang berada di Afrika Selatan sebagai seorang pengacara, setelah menempuh pendidikannya di London. Ketika ia sedang melakukan perjalanan dengan menggunakan kerata api, ia dikeluarkan secara paksa oleh kondektur kereta karena ia bersikeras untuk tidak pindah dari kelas 1, yang dikhususkan untuk warga kulit putih, ke kelas 3. Padahal, Gandhi saat itu membeli tiket kelas 1.
Afrika Selatan, yang pada saat itu menjadi bagian dari Imprium Inggris, memang menerapkan praktik segregasi sosial yang sangat ketat. Warga kulit berwarna selain kulit putih tidak bisa menikmati berbagai fasilitas yang dimiliki oleh warga keturunan Eropa, seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai. Warga selain warga kulit putih juga tidak memiliki hak politik.
Gandhi sendiri bersikeras untuk melawan praktik diskriminasi tersebut, melalui menulis di surat kabar hingga melakukan protes. Protes tersebut akhirnya dibubarkan secara paksa oleh aparat keamanan. Gandhi sendiri dipukuli oleh polisi kulit putih Afrika Selatan hingga ia harus dibawa ke rumah sakit.
Kisah protes Gandhi di Afrika Selatan dan tulisan-tulisannya di surat kabar menarik perhatian banyak orang di seluruh dunia, diantaranya adalah Pendeta Anglikan Charles Freer Andrews dari Inggris. Andrews kelak menjadi salah satu sahabat dekat Gandhi dan membantunya dalam perjuangan memerdekakan India dari penjajahan Inggris. Gandhi sendiri juga didatangi oleh wartawan harian The New York Times, Vince Walker, yang berdasarkan tokoh asli bernama Webb Miller.
Gandhi sendiri kini menjadi pemimpin dari komunitas India yang berada di Afrika Selatan. Ia memimpin berbagai protes menentang diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan Afrika Selatan. Ia sendiri akhirnya dijatuhi hukuman penjara karena aktivismenya.
Pada tahun 1915, Gandhi akhirnya pulang ke kampung halamannya di India. Perjuangannya di Afrika Selatan telah melambungkan nama Gandhi di India, dan ia pun disambut oleh ribuan massa yang menyambutnya di pelabuhan. Salah satu tokoh muda yang menjemput Gandhi di pelabuhan adalah calon Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru.
Gandhi sendiri didekati oleh tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan India untuk membantu mereka memerdekakan negaranya. India saat itu merupakan negara yang sangat besar namun terpecah-pecah antara agama, suku, aliran, dan kerajaan kecil karena politik pecah belah yang dilakukan Pemerintah Kolonial Inggris.
India di bawah kekuasaan Inggris, atau British India, saat itu bukan hanya mencakup negara India saat ini, namun juga Pakistan, Bangladesh, dan Myanmar. Dua kelompok kepentingan di India yang terbesar saat itu adalah kelompok nasionalis yang dipimpin Nehru, yang ingin menyatukan India, dan kelompok Muslim yang dipimpin Muhammad Ali Jinnah, yang ingin membentuk negara sendiri untuk komunitas Muslim yang merupakan minoritas di India.
Gandhi sendiri menghabiskan waktunya berkeliling India untuk bertemu langsung dengan masyarakat di negaranya, terutama masyarakat miskin. Setiap kedatangannya, Gandhi selalu diikuti oleh ribuan massa yang ingin menemuinya. Ia melihat penderitaan yang dialami oleh warga India, diantaranya adalah para petani yang dipaksa untuk membayar bayaran yang sangat tinggi kepada para pemilik tanah yang berasal dari Inggris. Akibat dari aktivitasnya ini, Gandhi dipenjara kembali karena tuduhan mengganggu ketertiban.
Setelah dibebaskan, Gandhi kembali menemui para pemimpin kemerdekaan India, yang terdiri dari Nehru, Jinnah, dan tokoh-tokoh lainnya. Gandhi tetap bersikeras untuk melawan penjajahan Inggris tanpa kekerasan, sebagaimana yang ia lakukan ketika melawan diskriminasi di Afrika Selatan.
Salah satu kampanye yang diadvokasi Gandhi adalah kampanye melawan produk tekstil dari Inggris yang dianggapnya telah menghancurkan para pengrajin tekstil tradisional India. Ia mengkampanyekan untuk membakar produk tekstil asal Inggris. Namun, kampanye tersebut juga diikuti dengan kerusuhan besar, di mana para polisi dan orang-orang Inggris menjadi sasaran amukan warga India.
Gandhi yang bersikeras untuk menentang segala bentuk kekerasan menuntut agar segala tindakan kekerasan tersebut agar berhenti. Gandhi pun melakukan puasa panjang untuk memaksa warga India untuk mengakhiri kerusuhan. Kerusuhan tersebut akhirnya berhenti. Namun, Gandhi akhirnya kembali ditangkap dan dipenjara karena dituduh ingin menggulingkan pemerintah.
Miller, yang bertahun-tahun lalu mendatangi Gandhi di Afrika Selatan, kembali datang ke India untuk menemui Gandhi. Ia menjadi salah satu wartawan yang meliput Pawai Garam, atau Salt March, pada tahun 1930. Pawai tersebut perlawanan yang dipimpin oleh Gandhi untuk menentang monopoli Inggris atas produksi garam di India melalui kampanye aksi berjalan selama 24 hari sejauh 390 kilometer dari Ahmedabad ke desa Pantai Dandi di negara bagian Gujarat. Pawai tersebut diikuti hingga 100.000 warga India, dan dianggap merupakan salah satu momen paling penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan negara tersebut.
Garam yang diproduksi oleh warga India di desa Dandi tersebut lantas dijual dan dikonsumsi oleh warga India. Karena dianggap melanggar aturan monopoli tersebut, lebih dari 80.000 warga India dipenjara oleh Pemerintah Kolonial Inggris.
Pada tahun 1947, India mendapatkan Gubernur Jenderal baru, Louis Mountbatten, yang bertugas untuk mengadministrasi kemerdekaan India. India akhirnya meraih kemerdekaan pada tahun yang sama.. Namun, bukan berarti permasalahan menjadi selesai. Konflik antara kelompok nasionalis yang ingin mempersatukan India dan kelompok Muslim yang ingin mendirikan negara sendiri, Pakistan, karena ia khawatir warga Muslim lantas akan hidup di bawah tekanan warga Hindu yang mayoritas.
Gandhi sendiri bersikeras agar India tetap bersatu. Konflik ini semakin meruncung tidak hanya di kalangan elit, namun juga di antara warga India. Konflik komunal antara warga Hindu, yang menuduh Jinnah dan warga Muslim ingin memecah India, dan warga Muslim, yang menuduh warga Hindu ingin menekan mereka.
Jinnah yang semakin bersikeras untuk mendirikan Pakistan didekati oleh Gandhi yang membujuknya untuk membatalkan rencananya mendirikan negara terpisah. Gandhi bahkan menawarkan Jinnah menjadi Perdana Menteri India pertama. Namun, tawaran tersebut merupakan sesuatu yang tidak masuk akal bagi para pejuang kemerdekaan India lainnya, meskipun mereka bersedia menerima hal tersebut. Bila Jinnah yang seorang Muslim menjadi Perdana Menteri India pertama yang mayoritas Hindu, maka konfilk komunal dikhawatirkan akan semakin meluas dan tidak mustahil menimbulkan perang sipil
Sejarah akhirnya mencatat partisi India merupakan periode paling berdarah dalam sejarah negara tersebut. India akhirnya terpecah dan negara Pakistan lahir. Warga Hindu yang tinggal di Pakistan terpaksa pindah ke India, dan sebaliknya, warga Muslim di India terpaksa pindah ke Pakistan. Di kota-kota di India, kerusuhan dan konfilk komunal semakin meningkat dan menyebabkan banyak korban jiwa di kalangan Hindu dan Muslim.
Gandhi akhirnya memutuskan kembali berpuasa total untuk memaksa warga India agar menghentikan kerusuhan. Puasa yang dilakukannnya berhari-hari tersebut diberitakan secara masif, dan hampir mengambil nyawanya. Usaha Gandhi tersebut akhirnya berhasil, dan kerusuhan komunal akhirnya berhenti di seluruh India. Gandhi sendiri akhirnya tutup usia karena ditembak oleh seorang Hindu ekstrimis pada tahun 1948.
Perjalanan hidup Mahatma Gandhi merupakan salah satu kisah hidup paling luar biasa dan memukau dalam sejarah. Kepada dunia, Gandhi menunjukkan bahwa perlawanan tanpa kekerasan merupakan cara yang berhasil dalam melawan ketidakadilan dan penjajahan, termasuk melawan Imperium Inggris yang sangat perkasa. Atas usahanya memimpin India menuju kemerdekaan, Gandhi sendiri diangkat menjadi Bapak Negara India (The Father of the Nation) (theleaflet.in, 13/9/2019).
Perjuangan Gandhi sendiri telah menginspirasi berbagai pejuang kebebasan dan anti diskriminasi di seluruh dunia. Strategi non-kekerasan yang diadvokasi oleh Gandhi, juga diterapkan oleh berbagai aktivis dan pemimpin, mulai dari Nelson Mandela dalam melawan Apartheid di Afrika Selatan, Martin Luther King, jr dalam melawan segregasi dan diskriminasi rasial Amerika Serikat, dan Dalai Lama dalam melawan rezim otoritarian komunis China yang berkuasa di Tibet (content.time,com, 31/12/1999).
Sebagai penutup, melalui Mahatma Gandhi, kita belajar untuk selalu berani melawan segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi. Dan untuk melawan hal tersebut, kekerasan bukan selalu jalan yang utama. Adakalanya, perlawanan tanpa kekerasan justru menjadi bentuk perlawanan yang paling efektif dalam menentang ketidakadilan, diskriminasi, dan penjajahan.
Referensi
https://www.chicagotribune.com/news/ct-xpm-1999-12-31-9912310135-story.html Diakses pada 26 Juni 2021, pukul 21.15 WIB.
http://content.time.com/time/subscriber/article/0,33009,993026,00.html Diakses pada 27 Juni 2021, pukul 01.25 WIB.
https://www.theleaflet.in/how-gandhi-became-father-of-the-nation/ Diakses pada 27 Juni 2021, pukul 00.45 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.