Gagasan Childfree dan Kebebasan dalam Pernikahan

    47
    Sumber gambar: https://www.katiemaynard.com/childless

    “Not having kids is indeed natural anti aging. You can sleep for 8 hour every day, no stress hearing kids screaming. And when you finally got wrinkles, you have the money to pay for botox”

    Belakangan ini, jawaban Gitasav (di atas) yang memicu percakapan panjang di kolom komentar instagram-nya yang menjadi topik ramai yang didiskusikan di media sosial. Pernyataan Gita Savitri mengenai gagasan childfree tersebut menuai banyak komentar, baik yang mendukung maupun kontra. Kasus ini bukan yang pertama kalinya, beberapa tahun lalu, ketika Gita Savitri dan suaminya mengumumkan rencana keduanya untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan mereka (childfree), pernyataan mereka mengundang banyak cercaan (yang mayoritasnya berlandaskan pada nilai budaya dan agama).

    Lantas, apakah memilih untuk menerapkan childfree memang sudah seharusnya dicela oleh masyarakat? Apakah memilih childfree selalu berarti sama dengan degradasi moral?

    ****

    Setiap keluarga umumnya memiliki eksistensi terkait fungsi biologis (reproduksi) dengan melahirkan anak untuk mewujudkan relasi sosial dan konsep keluarga ideal (Aulia, 2020). Dalam konstruksi biologis manusia, memiliki keturunan dimaknai sebagai pelengkap spiritualitas dan menjaga spesiesnya. Argumen ini juga lazim ditemui di Indonesia, yang merupakan negara pronatalis dengan adanya tekanan dari masyarakat untuk pasangan suami istri agar segera memiliki anak.  Sebaliknya, pernikahan mereka yang tidak memiliki anak akan dicap tidak sempurna (Patnani, Takwin, and Mansoer, 2020).

    Dari perspektif sosial dan ekonomi, kehadiran anak dapat meningkatkan ekonomi keluarga karena anak dinilai membawa rezeki dan mendapat pengakuan positif secara sosial dari masyarakat. Masyarakat memaknai kehadiran seorang anak sebagai harapan dan generasi penerus bagi pasangan suami dan istri. Pasti Anda pernah mendengar pepatah, “banyak anak banyak rezeki,” bukan? Alasan-alasan tersebut memperkuat tuntutan untuk memiliki keturunan bagi masyarakat pronatalis.

    Namun, seiring bertambahnya opsi di berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti inovasi makanan yang kian bervariasi, hadirnya kendaraan autopilot atau bermuatan listrik, aplikasi jasa serba online, perubahan pola pikir masyarakat di setiap zaman juga merupakan hal yang menarik. Selain Gitasav, keputusan sebagian kecil pasangan suami-istri di Indonesia untuk tidak memiliki anak juga telah menjamur, walaupun masih sembunyi-sembunyi keberadaannya.  Misalnya saja, Arief (36) dan Chibi (33) yang sudah 10 tahun menikah dan sepakat untuk tidak mempunyai anak. Tak lama setelah membuat keputusan untuk childfree, mereka menemukan komunitas childfree di media sosial, di mana mereka bertemu dengan orang-orang yang sepemikiran dengan mereka (bbc.com, 18/02/2023).

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan Childlessness in the United States (Frejka, 2017), keputusan untuk tidak memiliki anak meningkat sejumlah 20% di tahun 2000-an. Peningkatan prosentase tersebut dilansasi oleh alasan historis masalah keluarga dan pertimbangan terkait pengasuhan anak di masa depan. Selain itu, fakta terkait kesulitan ekonomi dan tekanan psikologis yang berpengaruh pada kehidupan keluarga juga tidak dielakkan. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa alasan pasangan tidak memiliki anak besar kemungkinannya adalah alasan subjektif mereka sendiri, tidak hanya sekedar ikut-ikutan tren.

    Seperti wawancara yang telah dilakukan Hanandita (2022: 130), pasangan-pasangan yang tidak memiliki anak memiliki beragam alasan di baliknya, seperti faktor finansial dan mental yang belum siap secara matang, ada karir istri yang harus berlanjut, mencegah over population, ingin memfokuskan hidup pada minat dan kebutuhan masing-masing, dan masih banyak lainnya.

    Memilih untuk tidak memiliki anak dinilai sebagai langkah untuk menghindari tekanan sosial “pronatalis” yang mendukung perempuan untuk hamil dan tujuan universal melalui promosi peran sebagai orang tua (Hintz & Brown, 2019). Akibatnya, keputusan tidak memiliki anak dipandang masyarakat sebagai bentuk pemberontakan melawan kodrat. Pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak dianggap menimbulkan atribusi negatif bagi masyarakat, di mana perempuan lepas dari peran alamiahnya dan akan terjadi bencana populasi.

    Menurut penulis, tidak ada yang perlu disalahkan dari pandangan mengenai childfree. Selama pasangan tersebut memilih dalam keadaan sadar, tanpa dipaksa, dan dengan pertimbangan yang matang dari kedua belah pihak. Kembali lagi, pilihan individu mereka tetap harus dihormati dan sudah seharusnya tidak ditekan secara paksa oleh pihak luar. Karena bagaimanapun, kebebasan individu dalam pernikahan tetap harus diperhatikan oleh masyarakat dengan menghormati ranah privat mereka.

    Pada dasarnya, penerimaan negatif masyarakat atas keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak tidak lepas dari stereotip yang tumbuh di masyarakat. Oleh karenanya, keputusan childfree sampai sekarang masih dianggap tabu dan selalu mendapat respon negatif dari masyarakat. Pendapat pro dan kontra memang menjadi hal yang biasa ketika gagasan baru diperkenalkan di ruang publik, tetapi celaan yang bentuknya mengarah ke kekerasan menjadi masalah etika paling mendesak yang perlu diperhatikan dalam humaniora digital, terutama media sosial.

    Pengucilan akan gagasan atau keputusan minoritas, menjadi apa yang dirasakan oleh Gitasav dan pasangan-pasangan lainnya yang memilih untuk childfree. Mereka dikatakan menyebar pandangan melenceng mereka dan menghasut orang untuk ikut-ikutan menerapkan childfree. Hal ini mencerminkan bagaimana stereotip di masyarakat akan berujung pada penyeragaman paksa oleh mayoritas terhadap individu atau kelompok yang berbeda dari mereka, baik dari sisi pandangan, pendapat, keyakinan, maupun gaya hidup. Kelompok-kelompok ini kemudian akan menjadi rentan akan eksklusi, bahkan kekerasan yang bisa dialami. Mental masyarakat yang seperti ini tentu akan memperkeruh diskursus publik, ruang aman masyarakat, dan angka toleransi suatu negara. Dengan kata lain, kebebasan berpendapat di dunia maya menjadi tidak sehat.

    Referensi

    Aulia, Natasya. 2020. “Renegosiasi Keluarga Tanpa Anak Dalam Mempertahankan Pernikahan”. Skripsi. Universitas Airlangga. 1–21.

    https://www.bbc.com/indonesia/articles/cpd44eykx5eo Diakses pada 23 Februari 2023, pukul 17.55 WIB.

    Frejka, Tomas. 2017. “Childlessness in the United States”. Demographic Research Monographs (November 2016):159–79. doi: 10.1007/978-3- 319-44667-7_8.  Diakses pada 24 Februari 2023, pukul 10.00 WIB.

    Hanandita, T. (2022).  “Konstruksi Masyarakat Tentang Hidup Tanpa Anak Setelah Menikah”. Jurnal Analisa Sosiologi, Vol. 11 (1): 126-136. Diakses pada 24 Februari 2023, pukul 11.00 WIB melalui https://jurnal.uns.ac.id/jas/article/view/56920

    Hintz, Elizabeth A., and Clinton L. Brown. 2019. “Childfree by Choice: Stigma in Medical Consultations for Voluntary Sterilization”. Women’s Reproductive Health 6(1):62–75. doi: 10.1080/23293691.2018.1556427. Diakses pada 23 Februari 2023, pukul 22.00 WIB.

    Patnani, Miwa, Bagus Takwin, and Winarini Wilman Mansoer. 2020. “The Lived Experience of Involuntary Childless in Indonesia: Phenomenological Analysis”. Journal of Educational, Health and Community Psychology 9(2):166–83. doi: 10.12928/jehcp.v9i2.15797. Diakses pada 24 Februari 2023, pukul 11.15 WIB.