Wajah-wajah kaku terlihat saat mereka melihat layar televisi, termenung mereka ketika pembawa berita menginformasikan kepergian pasukan keamanan Amerika Serikat dari Afghanistan. Senyap dan diam membisu itulah yang dapat dilakukan oleh Habib (bukan nama sebenarnya) dan rekan-rekannya.
Habib adalah seorang jurnalis kritis asal Afghanistan yang selalu mengkritik sepak terjang milisi jihadis Taliban dengan serangan-terornya yang menganggu ketentraman rakyat Afghanistan.
Masih terbayang di wajah Habib pemandangan yang apik ketika rakyat Afghanistan dengan antusiasme tinggi berjejal-jejal mengantri untuk masuk ke bilik suara pada tahun 2014 untuk memilih wakil rakyat serta pemerintah mereka.
Mungkin pemandangan epik ini takkan dilihat lagi oleh Habib di masa mendatang. Sebab pasukan Amerika Serikat dan pasukan keamanan negara gabungan akan meninggalkan rakyat Afghanistan.
Meninggalkan pemerintah demokratis Afghanistan sendirian di tengah teror milisi Taliban yang terus memaksakan kehendak dan menekan kebebasan rakyat Afghanistan.
Sebagai seorang jurnalis yang bekerja sama dengan sebuah media asal Jerman, Habib tentu saja ketakutan jika milis Taliban menguasai kotanya dan melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang pro pemerintah.
Hampir sebagian besar wilayah di Afghanistan telah dikuasai oleh milisi Taliban dan firasat Habib, tak lama lagi seluruh negeri akan jatuh ke tangan kelompok Muslim garis keras tersebut seperti milisi komunis Vietnam yang menguasai Vietnam Selatan dan melakukan pembersihan di Saigon (BBC, 13/7/2021).
Kisah Habib yang diceritakan oleh kantor berita BBC merupakan sebuah gambaran terkini suara hati rakyat Afghanistan yang tengah khawatir atas penguasaan milisi Taliban di negara tersebut.
Dirinya takut jika Taliban telah menguasai Kabul maka dirinya akan dihukum mati di depan umum karena dianggap sebagai kaki tangan asing sebagaimana yang dilakukan oleh Taliban dengan para musuh-musuhnya.
Di bawah Presiden Joe Biden, Pemerintah Amerika Serikat memutuskan untuk menarik pasukannya dari Afghanistan. Keputusan Amerika Serikat ini tentu saja dikhawatirkan oleh banyak kalangan, sebab tanpa bantuan dari pasukan keamanan internasional, dikhawatirkan pemerintahan demokratis di Afghanistan akan bubar seiring dengan penguasaan Taliban di negara tersebut.
*****
Sebelum negara-negara Adidaya seperti Uni Soviet dan Amerika Serikat melakukan campur tangan politik di Afghanistan sembari mengkotak-kotakkan rakyat Afghanistan dengan isu sektarian dan agama, Afghanistan sebenarnya hampir bertransformasi menjadi negara demokrasi modern seperti Aljazair dan Albania.
Pada tahun 1963 ketika Raja Mohammed Zahir Shah naik tahta, sang Raja melakukan sebuah proyek reformasi untuk merubah Afganistan dari kerajaan tradisional menjadi sebuah negara modern yang menjunjung tinggi demokrasi.
Dalam program reformasi tersebut kebebasan sipil dan berbicara semakin besar, ekonomi pasar bebas dibuka, dan tidak hanya itu, sang raja juga bersedia untuk membatasi kekuasaannya dan menyerahkan urusan negara pada parlemen yang dipimpin oleh seorang perdana menteri.
Pada awal dekade 60an, Afghanistan beserta negara-negara Asia lainnya tengah berada dalam perubahan drastis dari masyarakat tradisional menuju kepada negara modern dengan menggencarkan proyek modernisasi dan keterbukaan.
Sama seperti Pakistan dan Iran, dekade 60an rakyat Afghanistan benar-benar menikmati kebebasan dan keterbukaan. Sebagaimana yang dikutip dari Foreign Policy, perempuan Afghanistan benar-benar mendapatkannya haknya ketika reformasi di Afghanistan memberi porsi besar bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi lebih di pemerintahan dan masyarakat (Foreign Policy, 26/4/2021).
Masyarakat bisa bebas berdiskusi dan berbicara soal politik tanpa takut laras senapan dan milisi yang membawa bom.
Sayangnya, masa-masa keemasan tersebut tidak berlangsung lama, Mohammad Daud Khan melakukan kudeta pada tahun 1973 yang didukung oleh Uni Soviet. Daud Khan mengubah sistem monarki konstitusional menjadi republik presidensial. Daud melakukan perubahan konstitusi dan membuat kebijakan kontroversial dengan menasionalisasi seluruh bank di Afghanistan (Mukerjee, 1975).
Namun karena kecenderungan Daud Khan terhadap Soviet berubah, akhirnya Uni Soviet berusaha mengintervensi keadaan politik di Afghanistan dengan menyingkirkan Daud melalui sebuah kudeta Partai Komunis Afghanistan tahun 1978.
Karena Uni Soviet berusaha untuk meluaskan pengaruhnya di Afghanistan, Amerika Serikat kemudian berusaha menjegal pemerintahan komunis di Afghanistan dengan menjalin kerja sama dengan kaum konservatif Islam dan mengobarkan isu sektarian. (Prados, 2001).
Hingga akhirnya posisi kaum konservatif dengan milisinya semakin kuat di Afghanistan. Setiap suku dan madzhab memiliki milisi sehingga kondisi keamanan dan politik Afghanistan pasca penjajahan Uni Soviet hingga invasi Amerika Serikat benar-benar tidak stabil.
*****
Rakyat Afghanistan hingga saat ini masih mendambakan kebebasan sebagaimana yang mereka dapatkan pada dekade 60an. Namun dengan keadaan politik Afghanistan pasca ditariknya pasukan keamanan Amerika dan menguatnya dominasi Taliban, rasanya mimpi kejayaan demokrasi Afghanistan akan kandas.
Impian untuk mewujudkan Afghanistan yang stabil, bebas, dan modern dibayang-bayangi oleh konflik sektarian dan juga kekerasan.
Dengan menguatnya posisi Taliban di Afghanistan, tentu saja yang paling dirugikan adalah kaum perempuan. Taliban memiliki rekam sejarah buruk dalam memperlakukan kaum perempuan. Mereka menolak keras peran perempuan di ruang publik khususnya di bidang politik (Pedomantangerang.com, 14/7/2021).
Dengan dikuasainya 50 distrik oleh milisi Taliban, bayangan kejatuhan demokrasi Afghanistan hanya tinggal menunggu waktu.
Lalu apa yang dapat kita pelajari dari Afghanistan?
Afghanistan adalah salah satu contoh baik bagaimana politik sektarian telah merubah sebuah negara yang awalnya kaya dan disegani berubah menjadi negara miskin yang dilingkupi oleh konflik berkepanjangan.
Hal ini patut menjadi pertimbangan dan pelajaran bagi politisi dan masyarakat Indonesia, betapa kebebasan dan demokrasi patut dijaga sebaik mungkin. Sebab jika kultur demokrasi yang selama ini berusaha dipatenkan diberangus, lewat berbagai peraturan yang terkesan represif seperti UU ITE dan juga Polisi Cyber, tentu akan memperburuk kondisi kebebasan Indonesia.
Akan sangat fatal akibatnya jika kultur demokratis diberangus dan sebaliknya, kultur sektarian dijaga, sebab masyarakat akan terpecah belah dan tidak memiliki rasa toleransi terhadap perbedaan.
Lihat saja isu pribumi dan non pribumi yang dikobarkan saat Pilpres 2014 dan 2019, akibatnya kebencian terhadap etnis Tionghoa semakin tinggi dan pemeluk agama minoritas semakin sulit untuk menjalankan ibadah di tempat peribadatan mereka.
Afghanistan merupakan contoh bahwa demokrasi dan kebebasan sangat penting sebagai modal utama bagi kemajuan dan perkembangan masyarakat yang dinamis.
Sebaliknya, janji sorga yang dikampanyekan oleh kelompok ekstrimis seperti Taliban, Alqaeda dan ISIS hanyalah bualan semata yang justru membawa kesengsaraan bagi rakyat di Timur Tengah.
Referensi
Jurnal
Mukerjee, Dilib. 1975. “Afghanistan Under Daud: Relations with Neighboring States”. Jurnal Asian Survey, Vol. 15 No. 4.
Prados, John. 201. “Afghanistan: Lessons from The Last War”. Jurnal The National Security Archive, Vol. 2.
Internet
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-57813507 Diakses 15 Juli 2021, Pukul 2:20 WIB.
https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-072220294/rakyat-afghanistan-ketakutan-jika-taliban-kembali-berkuasa?page=2 Diakses 15 Juli 2021 Pukul 04.51 WIB.
https://foreignpolicy.com/2021/04/26/afghanistan-shafiq-amin-shah-cold-war/ Diakses 15 Juli 2021, Pukul 04.52 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com