Nama Film : Marmoulak (The Lizard)
Sutradara : Kamal Tabrizi
Tahun Rilis: 2004
Durasi : 115 menit
Studio : B8zad Foroutan
“Jalan menuju Tuhan sangat banyak, sebanyak jumlah manusia di muka bumi”
– Mullah Haji Reza Ahmadi, Marmoulak.
Ulama adalah salah satu sosok yang dihormati di kalangan masyarakat Indonesia. Sudah sejak berabad-abad lamanya, status Ulama, Ajengan, Kyai, Haji, Ustadz, Syekh, dan lain sebagainya, dipandang sebagai gelar mentereng yang diselimuti oleh jubah sakral, karena berkaitan dengan agama langit. Namun, dalam film besutan Kamal Tabrizi yang berjudul Marmoulak atau The Lizard, sosok ulama dalam gambaran film ini sangat sederhana: Memiliki kontribusi sosial dan peran nyata dalam lingkungan.
“Marmoulak” secara bahasa berarti kadal, atau lebih tepatnya cicak. Film ini merupakan film berbahasa Persia bergenre komedi yang diproduksi tahun 2004 oleh rumah produksi B8zad Foroutan, yang dipasarkan oleh Barian Entertaiment dan ICA Projects sebuah perusahaan asal Inggris dengan judul “The Lizard”.
Film ini awalnya bercerita tentang seorang pencuri kecil bernama Reza Mesghaly (Parvis Parastui) yang memiliki keahlian dalam memanjat pagar, tembok atau apapun. Karena keahliannya inilah, Reza kemudian dijuluki Marmoulak atau cicak. Reza kemudian ditangkap oleh aparat keamanan karena tindakan kriminalnya. Ia dituduh melakukan perampokan bersenjata yang mengambil uang dalam jumlah besar (sebuah tindakan yang sebenarnya tidak ia lakukan). Karena aksi kejahatannya, Reza dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Dalam kurungan dinding tembok yang dingin dan menakutkan, Reza merasa bersedih. Ia nyaris melakukan bunuh diri, namun dicegah oleh temannya yang kemudian memicu perkelahian hingga dirinya terluka.
Saat ia dibawa ke rumah sakit, Reza bertemu dengan seorang ulama atau Mullah bernama Haji Reza Ahmadi (Shahrokh Foorotanian) yang sama-sama dirawat di rumah sakit tersebut. Sebagai rekan satu kamar, sang Mullah berusaha menjadi teman baik Reza. Tak jemu-jemunya, sang Mullah memberi nasihat agama pada Reza.
Sebagaimana maling pada umumnya, Reza yang sehari-hari mengalami penderitaan dan menjalani kerasnya kehidupan tidak merasa tertarik dengan ucapan si Mullah. Reza selalu bersikap dingin dengan nasihat-nasihat si Mullah.
Reza berpikir, kepala sipir yang berusaha membuatnya tobat saja tidak mempan apalagi si Mullah ini. Sebelumnya, ketika Reza masih meringkuk di sel, Kepala Sipir Mozawer (Bahram Ebrahimi) pernah berkata, “Di sini, saya akan ajak kamu ke surga, bahkan jika kamu tak mau akan kupaksa masuk ke surga”.
Mozawer seorang kepala sipir yang dingin selalu menganggap para narapidana sebagai orang-orang tersesat. Mozawer adalah contoh dari orang yang mengira otoritas surga dan neraka ada di tangannya. Perlakuan Mozawer yang cenderung totaliter ini membuat Reza muak dan tidak suka, ia sudah tak mempan dengan omong kosong orang-orang yang mengagap diri mereka suci
Kembali ke kamar rumah sakit, Mullah tersebut tetap berusaha menjadi teman kamar yang baik, dan ia tak menganggap Reza adalah orang jahat. Mullah tersebut mengajak Reza agar tidak berputus asa, “Jalan menuju Tuhan sangat banyak, sebanyak jumlah manusia di muka bumi. Tuhan tidak menutup pintu untuk hamba-Nya. Janganlah kehilangan harapan,” kata Mullah.
Mengetahui bahwa teman kamarnya sangat baik, Reza kemudian berusaha untuk memanfaatkan keadaan. Ia mengambil jubah dan sorban milik si Mullah kemudian melarikan diri dari rumah sakit.
Menyamar sebagai Ulama
Dengan cara menyamar sebagai ulama, Reza kemudian berusaha menghubungi koleganya untuk melarikan diri. Jubah keagamaan yang dipakainya membuat orang-orang segan padanya karena, siapa yang berani sama orang yang punya otoritas bicara surga dan neraka?
Dalam kereta yang ia tumpangi, ia bertemu dengan dua perempuan yang memintanya untuk tinggal di kampung mereka. Kedua perempuan tersebut mengatakan bahwa daerah tersebut membutuhkan seorang Mullah untuk mengajari penduduk agama.
Dengan modal berbaju ulama, Reza si maling kemudian didaulat menjadi seorang Imam Mesjid di wilayah terpencil. Ia menyaksikan kondisi masyarakat sekitar yang ditenggarai oleh kemiskinan, keboborokan moral, kekerasan, dan masalah masyarakat pada umumnya. Ia bahkan mendapat nyinyiran dari “gang kampung”. Namun, semua itu diabaikan oleh Reza, karena menurutnya ia hanya berusaha menyembunyikan diri dari kejaran polisi.
Karena dirinya didapuk sebagai Imam masjid, Reza memiliki tanggung jawab untuk mnyelesaikan persoalan persoalan agama yang ditanyakan oleh masyarakat, baik yang berkaitan dengan ibadah hingga urusan rumah tangga. Sebagai maling yang terbiasa hidup di jalanan, pertanyaan-pertanyaan tersebut membuatnya pusing tujuh keliling. Reza sama sekali buta urusan fiqh (hukum Islam) dan dirinya sendiri bukan orang yang rutin beribadah.
Ketika disuruh berkhotbah, ia berbicara sekenanya sehingga membuat orang-orang bingung, akhirnya Reza terbiasa menyampaikan retorika manis, dengan berbungkus kebaikan dan menyentuh kehidupan sehari-hari jemaahnya. Saat ia menjalani hari-hari sebagai Imam, masjid yang diurusnya memiliki jumlah jemaah yang sangat sedikit, bisa dihitung jari. Sedikitnya, jumlah masyarakat yang datang ke masjid karena masyarakat sekitar menganggap masjid tidak memiliki peran apapun bagi kehidupan mereka.
Para ustadz atau mullah hanya berkhotbah tentang surga dan neraka tanpa memperhatikan persoalan hidup mereka. Maka, Reza berupaya untuk hidup di dalam masyarakat, dan mau tak mau harus bergelut langsung dengan berbagai masalah kehidupan masyarakat. Tentulah Reza kerepotan menghadapi berbagai problem umat. Contohnya, Ia kerepotannya ketika menghadapi pertanyaan para jemaahnya yang remeh dan ngeselin. Bagaimana coba menjawab pertanyaan apakah setelah nonton film horor wajib wudhu?
Beberapa pertanyaan sering dijawab dengan cara tidak konvensional. Misalnya, saat ada yang diminta bersenandung gembira di mesjid, dan Reza mengizinkannya. Saat Agha Fazli (salah satu petugas masjid) memprotes bahwa perbuatan itu haram dilakukan di masjid, Reza menjawab bahwa masjid harusnya mengizinkan hal-hal yang membawa kegembiraan, dan jangan hanya diisi dengan yang menyedihkan.
Banyak kisah-kisah lucu, saat seorang jemaah bertanya padanya, “Jika kita sedang ada di Kutub Utara, kita harus shalat menghadap ke mana?” Reza yang kesal dengan pertanyaan konyol tersebut menjawab guyon, “Memangnya kamu sudah punya tiket buat pergi ke Kutub Utara?
Selama hidup sebagai seorang mullah gadungan, Reza benar-benar menghayati kehidupan masyarakat sekitar. Awalnya, ia hanya ingin agar penduduk nyaman dengan keadaannya sehingga ia menghampiri orang-orang, memberi nasihat dan membantu penduduk miskin.
Berbekal dengan pengalaman hidup yang pahit di dunia hitam, Ia memahami psikologi masyarakat. Aa merangkul gang kampung sekitar dan memberikan simpati kepada pemilik warung. Khotbah-khotbah yang disampaikan juga kontekstual dan menyampaikan hal-hal yang menyentuh ranah kehidupan sehari-hari. Dengan pendekatan Reza si mullah gadungan, masyarakat mulai bersimpati untuk datang ke masjid. Bahkan, salah seorang diantara mereka merasa mendapat hidayah melalui sentuhan Reza yang simpatik.
Ketika mendekati momen besar Islam, masyarakat beramai-ramai membantu Mullah Reza untuk menghias masjid, memberi makanan, dan dana yang dibutuhkan. Para pemuda begundal yang awalnya tak menyukai kehadiran seorang mullah di kampungnya, berubah drastis menjadi orang yang paling antusias membantu Reza.
Di akhir film (seperti film Persia yang pernah penulis tonton) berakhir dengan ending sedih. Pelarian panjang Reza Mesghaly si mullah gadungan akhirnya terungkap, dan kepala sipir Mozawer sendiri datang untuk membekuknya.
Reza ditangkap ketika ia hendak bersiap diri di rumahnya untuk menyampaikan khotbah di depan masyarakat. Kepala Sipir Mozawer cukup heran dengan pengaruh Reza yang mampu mengubah masyarakat secara drastis. Tanpa perlawanan, Reza menyerahkan diri secara sukarela. Ia lepaskan jubah keulamaan dan menyerahkan kepada seorang anak yang di awal film selalu mengikuti diam-diam aktivitas si Mullah.
Sebagai penutup, film ini sebenarnya menghadirkan kritik bagi para ulama di Iran yang cenderung membahas hal-hal yang “melangit” dan melupakan realitas sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Rasa hormat yang tinggi masyarakat terhadap tokoh agama harusnya dimanfaatkan oleh para ulama untuk membantu mereka.
Reza si Mormoulak sekaligus mullah gadungan berhasil membuktkan bahwa, tanpa harus menggunakan dalil-dalil dan retorika tinggi, ia berhasil menyadarkan masyarakat, sebab yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah sosok yang simpatik. Hal ini karena ia dapat memahami situasi dan menyampaikan agama dengan penuh kegembiraan bukan menakut-nakuti mereka.
Film ini sempat dikritik oleh ulama besar Iran, seperti Ayatollah Ja’far Subhani dan Ayaoullah Ibrahim Jannati. Film ini juga sempat dilarang selama 17 tahun. Namun, pemerintahan Islam yang lebih moderat di bawah Presiden Hassan Rouhani, akhirnya mencabut larangan film tersebut, sehingga masyarakat kembali bebas menonton film Marmoulak secara legal.
Film Marmoulak atau The Lizard juga berhasil menyabet beberapa penghargaan. Salah satunya adalah penghargaan Golden Zenith untuk Film Asia Terbaik di Montreal World Festival dan penghargaan untuk cerita terbaik dari Filmfest di Hamburg.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com