Tampaknya masyarakat kita memiliki semacam fetishisme terhadap otoritas keilmiahan. Hal ini sangat kentara apabila kita melihat bagaimana orang-orang menyangkal para climate change deniers dengan argumen yang kurang-lebih berbunyi seperti ini: “lebih dari 90 persen ilmuwan sepakat bahwa isu perubahan iklim itu nyata dan disebabkan oleh aktivitas manusia”.
Argumen semacam itu terdengar sangat menyakinkan karena menempatkan otoritas keilmiahan sebagai basis argumennya. Para ilmuwan, kita tahu, adalah sosok protagonis di dalam narasi pencarian kebenaran ala metode empiris. Mereka adalah orang-orang yang bergelut dengan realitas untuk mencari bukti-bukti. Dan bukti, kita juga tahu, adalah basis yang paling kuat untuk membangun pemahaman yang paling objektif terhadap realitas di sekeliling kita.
Tetapi, menurut saya, ada kenaifan yang tersembunyi dari fethishisme tersebut. Kenaifan ini berkaitan erat dengan kepercayaan kita yang sangat polos bahwa ada korelasi positif antara kebenaran ilmiah dengan akumulasi data-data empiris. Kita, misalnya, percaya bahwa seribu pengamatan yang menunjukkan angsa berwarna putih entah bagaimama bisa dijadikan dasar generalisasi bahwa semua angsa berwarna putih.
Kenaifan kita dalam memandang metode empiris ini kemudian menghasilkan persepsi yang sangat salah mengenai metode ilmiah atau bagaimana sains seharusnya bekerja. Karena menganggap akumulasi data empiris adalah segala-galanya, kita kemudian menganggap bahwa sains bekerja melalui kesepakatan atau konsensus di antara para ilmuwan. Inilah sebabnya kita mengatakan bahwa, jika lebih dari 90 persen ilmuwan bersepakat atas suatu isu, maka kesepakatan tersebut pasti memiliki otoritas keilmiahan dan harus kita percaya.
Padahal, sains sejak dulu sama sekali tidak bekerja melalui kesepakatan atau konsensus. Justru sebaliknya: sains bekerja melalui pertentangan dan ketidaksetujuan. Bahkan, konsensus atau kesepakatan malah akan membekukan sains itu sendiri. Kita saat ini masih akan hidup di zaman kegelapan apabila para ilmuwan pembangkang seperti Galileo Galilei sejak awal memutuskan untuk tunduk pada konsensus yang berlaku di masa itu.
Konsensus adalah pertanda bahwa sains telah berhenti menjadi suatu upaya pencarian terhadap kebenaran, dan justru bertransformasi menjadi semacam kepatuhan terhadap status quo. Atas alasan ini, hal pertama yang bisa kita lakukan agar sains tidak terjatuh ke dalam kepatuhan dogmatik adalah memastikan terbukanya akses bagi teori-teori alternatif untuk menantang teori-teori mapan nan otoritatif.
Lalu siapa yang berhak menentukan teori mana yang salah dan benar? Bukankah kita memang sebaiknya mempercayai para ilmuwan yang secara langsung berkutat dengan bukti-bukti empiris?
Untuk menjawabnya mari kita mundur sejenak. Kita tahu bahwa teori relativitas Albert Einstein sejauh ini dianggap sebagai kebenaran otoritatif di dalam ilmu fisika. Tapi tahukah Anda bagaimana teori relativitas Einstein mendapatkan legitimasinya?
Teori relativitas Einstein mendapatkan legitimasinya bukan melalui kesepakatan atau konsensus para fisikawan. Tidak ada komite elite fisikawan yang mengadakan rapat untuk memberikan legitimasi saintifik kepada teori relativitas (apalagi jika legitimasi tersebut diberikan hanya berdasarkan pada otoritas keilmuan belaka).
Teori relativitas Einstein menjadi legitimate karena teori ini berhasil survive dari berbagai eksperimentasi yang justru berpotensi menunjukkan kesalahan teori itu sendiri. Sudah begitu banyak eksperimentasi dilakukan untuk menguji keabsahan teori relativitas (saking banyaknya, ada satu halaman Wikipedia khusus tentang ini), dan teori relativitas berhasil survive dari semua pengujian tersebut. Dari sinilah kemudian teori relativitas mendapatkan legitimasinya sebagai teori sains yang benar dan terpercaya.
Jadi, pertama-tama, agar dapat menyandang gelar sebagai teori saintifik yang legitimate, suatu teori harus mampu survive dari pengujian-pengujian empiris. Suatu teori harus mampu dipertentangkan dengan realitas objektif dan mempertahankan koherensinya di hadapan realitas tersebut.
Tetapi koherensi antara isi teori dan realitas objektif saja tidaklah cukup. Selain harus survive di hadapan realitas objektif, suatu teori juga harus survive di dalam perspektif sejarah. Maksudnya, teori sains harus mempertahankan relevansi temporalnya selama mungkin. Semakin lama suatu teori dianggap relevan, maka teori tersebut akan semakin otoritatif.
Relevansi temporal inilah tantangan legitimasi sains yang sesungguhnya paling berat. Tidak semua teori dan cabang pengetahuan yang pernah lahir di dalam sejarah bisa survive. Sebagian besar telah mati, terfalsifikasi oleh teori-teori yang lain, atau sekedar terbukti sia-sia. Sebagai contoh, kita bisa menyebut beberapa: geosentrisme, sistem Ptolemy, alkemi, phrenologi, teori evolusi Lamarckian, fisika Aristotelian, dan fisika Newtonian. Ini adalah sedikit contoh teori-teori dan cabang pengetahuan yang menjadi obsolete dan sekarang ditinggalkan.
Tidak seperti teori relativitas Einstein, teori-teori tersebut tidak berhasil survive di hadapan waktu. Padahal, beberapa teori yang saya sebut di atas sempat dianggap sebagai kebenaran yang sangat otoritatif di masanya.
Jadi, siapakah yang paling berhak menentukan teori mana yang legitimate dan mana yang patut diabaikan?
Dari penjelasan di atas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa hakim yang paling berkuasa untuk menentukan keabsahan suatu teori sains bukanlah praktisi metode saintifik itu sendiri (para ilmuwan), melainkan ‘realitas’ dan ‘waktu’. Kedua “hakim” inilah yang sebenar-benarnya menjadi penentu keabsahan teori sains yang paling otoritatif.
Tentu saja, harus diakui bahwa para ilmuwan adalah pihak yang memiliki keahlian khusus untuk menguji suatu teori dengan realitas empiris. Dengan keahlian khusus tersebut, para ilmuwan memiliki semacam otoritas untuk menilai keabsahan suatu teori. Tetapi, mengatakan bahwa konsensus di antara ilmuwan merupakan standar kebenaran yang paling otoritatif adalah sebuah kesalahan besar. Teori sains yang baik justru harus membuka diri untuk diuji terus-menerus. Dan oleh karena itu, “konsensus” seharusnya menjadi sebuah kata haram di dalam leksikon keilmuan.
Maka, mempercayakan pengambilan keputusan publik mengenai isu perubahan iklim pada konsensus para ilmuwan adalah sebuah kesalahan. Yang harus kita lakukan adalah membuka akses sebesar-besarnya bagi hipotesa-hipotesa alternatif, dan memperlakukan hipotesa mainstream (konsensus 90 persen ilmuwan) dan hipotesa yang dibawa oleh para dissenters (10 persen sisanya) sebagai dua hipotesa atau teori yang memiliki status yang setara. Kebijakan publik kemudian diambil berdasarkan analisa dan investigasi yang tekun atas dua pandangan yang saling bertentangan tersebut. Lalu biarkan waktu yang menjadi penentu hasil akhirnya.

Djohan Rady adalah alumnus S2 Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia. Kontributor tetap untuk Suara Kebebasan dan co-founder Indo-libertarian, sebuah komunitas libertarian di Indonesia. Bisa dihubungi di email djohanrady@gmail.com dan twitter @djohanrady