Pandemi memang membuat semua orang geger. Wabah COVID-19 yang menyebar ke seluruh dunia hingga saat ini telah merubah pola hidup kita secara fundamental. Sekarang, kita tidak bisa bebas beraktivitas di luar, seperti berkumpul, nongkrong, dan pergi berlibur ke tempat wisata. Aktivitas belajar, pekerjaan kantor dan kegiatan berdagang dialihkan ke dunia maya.
Situasi seperti ini tentu membuat kita tidak nyaman. Keterbatasan untuk beraktivitas di luar rumah membuat kita seperti burung dalam sangkar. Apalagi, ketika kita menghabiskan waktu selama 24 jam di rumah atau tempat kos, berarti konsumsi listrik kita juga bertambah sehingga tejadi kenaikan tagihan listrik.
Media global maupun lokal mengabarkan bahwa wabah virus yang menyerang pada akhir tahun 2019 di wilayah China, dianggap sebagai virus yang penyebarannya sangat cepat dan. Jika tidak diatasi, dengan benar akan menyebabkan penderitanya kehilangan nyawa. Banyak orang di luar sana yang berspekulasi tentang virus COVID-19 ini, apakah ia murni wabah seperti Pes atau influenza Spanyol tahun 1920, atau ini wabah akibat kecerobohan manusia.
Dari bulan Januari hingga bulan April 2020, banyak spekulasi dan isu-isu yang bersifat dugaan mengenai virus ini. Wabah virus yang menggila dan juga emosi akibat tidak bisa keluar rumah, membuat sebagian orang bahkan mempercayai bahwa virus ini adalah senjata buatan yang ditunjukan oleh elit global atau negara tertentu untuk mengambil keuntungan.
Ada pula orang yang berpendapat bahwa virus COVID-19 itu tidak ada. Bagi mereka yang tidak percaya eksistensi virus ini menganggap kematian di Italia dan juga Amerika bukan disebabkan oleh virus, tapi oleh bakteri misterius yang muncul akibat orang-orang disana tidak menjaga kesehatan.
Sebagiannya lagi percaya bahwa virus Covid-19 itu nyata dan mematikan, tapi mereka menyikapinya dengan cara yang berbeda. Ada yang ketakutan sehingga ia memborong semua obat dan masker, ada juga yang cuek dengan mengabaikan protokol kesehatan. Mereka yang acuh terhadap wabah menganggap bahwa hidup dan mati adalah urusan Tuhan bukan urusan manusia.
Berbagai asumsi, dugaan dan perbedaan dalam menyikapi wabah virus disebabkan karena ketidakmampuan sains dalam menjawab secara pasti karakteristik virus Corona dan juga apa obat atau vaksin dari penyakit ini. Orang-orang yang kebingungan kemudian mencari pandangan yang lebih sederhana yang bisa mereka cerna dengan mudah atau malah mengacuhkan semuanya.
Pandangan yang aneh-aneh ini juga dihinggapi oleh sebagian masyarakat kita. Bahkan, di media sosial, perdebatan mengenai COVID-19 tak pernah berhenti. Orang-orang yang tidak mempercayai eksistensi virus dan orang yang meyakini bahwa virus itu mematikan terus berdebat bahkan saling melontarkan makian.
Munculnya Istilah “Covidiot”
Covidiot adalah istilah baru yang muncul belakangan ini. Kata covidiot adalah istilah yang muncul ketika wabah covid ini menyerang penduduk dunia. Kata covidiot berasal dari dua kata, yaitu COVID dan idiot, di mana istilah ini ditujukan kepada seseorang yang mengabaikan peringatan terkait kesehatan atau keselamatan masyarakat yang disarankan oleh dokter dan pemerintah tentang bahaya virus COVID-19 (Urban Dictionary.com).
Di Spanyol, kata yang serupa dengan covidiot adalah coronaburro dari kata corona dan burro yang artinya adalah keledai. Coronaburro adalah istilah plesetan untuk orang-orang yang memiliki pandangan bodoh dan cuek terhadap wabah sehingga ia abai dengan protokol kesehatan.
Istilah covidiot dan coronaburro muncul karena kekesalan banyak orang terhadap mereka yang mengabaikan protokol kesehatan atau mereka yang tidak mempercayai eksistensi virus yang mematikan ini. Ketika wabah ini mulai menyebar, siapapun ingin musibah ini berakhir, menjaga pola hidup sehat dan menjalankan protokol kesehatan adalah salah satu cara agar wabah ini sirna dari kehidupan kita.
Alih-alih mengikuti semua anjuran dokter, beberapa orang dengan bandel dan bebal mengabaikan anjuran pemerintah untuk mengikuti protokol kesehatan. Mereka asyik berkerumun, bercanda ria diluar ruangan, bahkan tidak menggunakan masker. Bisa Anda bayangkan, hingga saat ini, lebih dari 700.000 orang meninggal akibat terserang oleh wabah COVID-19.
Siapapun yang berakal sehat tentu tahu bahwa 700.000 bukanlah jumlah yang sedikit, hanya orang bodoh yang menafikan dan membantah eksistensi virus ini sehingga mereka mengabaikan secara sadar segala protokol kesehatan yang dianjurkan oleh pemerintah.
*****
Wabah virus yang menghantui Indonesia telah membuat frustasi dan depresi yang berkepanjangan. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membatasi aktivitas orang-orang di luar rumah dan menganjurkan agar segala bentuk kegiatan (diusahakan) dilakukan melalui media online, tidak membuat semua orang bahagia. Krisis ekonomi, kebosanan karena selalu di rumah, studi yang berantakan, membuat orang-orang mempertanyakan kembali virus ini.
Sederet artis, seperti Jerinx SID dan Erdian Aji Prihartanto (Anji), dan yang lainnya, mulai mempertanyakan kembali wabah virus ini. Bahkan wacana-wacana konspirasi mereka coba angkat di akun media sosial mereka. Puncaknya, adalah ketika Jerinx membuat pernyataan yang dianggap menyakiti hati para dokter, dan Anji sendiri kemudian viral karena dianggap membawa berita hoaks soal obat corona yang ditawarkan oleh Hadi Pranoto.
Unggahan Jerinx yang mengatakan bahwa IDI adalah kacung WHO menunjukkan bahwa ia terpengaruh oleh wacana isu konspirasi yang berkembang di kalangan awam. Jerinx kerap menantang pandangan arus umum tentang wabah dan juga melawan protokol kesehatan dengan tidak mau memakai masker di tempat umum (CNN Indonesia, 04/08/2020).
Sejujurnya, apa yang dilakukan oleh Jerinx dan para artis lainnya yang menyampaikan narasi kontra-pandemi memang berbahaya. Ketika angka pasien COVID-19 meningkat sangat cepat di negeri ini, apa yang dilakukan oleh tokoh publik itu akan memperburuk keadaan. Di sisi lain, mereka yang mempercayai pesan-pesan kontra pandemi akan abai terhadap kesehatan mereka sendiri dan akhirnya akan menimbulkan sikap acuh di masyarakat.
Saya pribadi juga menolak narasi kontra pandemi yang disodorkan oleh para covidiot tanah air. Sebab, jika masyarakat umum menolak eksistensi virus corona hanya karena apa yang ia baca di media sosial dan sumber informasi yang tidak valid dan kredibel, resikonya sangat besar: korban-korban baru akan muncul, dan negara “terpaksa” mengeluarkan biaya kesehatan lebih banyak lagi.
Menjadi Covidiot Bukan Tanpa Alasan
Belakangan ini, pesan chat WhatsApp saya penuh dengan undangan pernikahan dan ajakan kumpul untuk reuni. Ketika saya katakan “lho, kan lagi pandemi?”, dengan enteng mereka menjawab, “ah itu cuma hoax media doang,” “ah itu cuma konspirasi elit global”, “lho, itu kan cuma berita buat nakut-nakutin”. Ucapan yang serupa seperti ini mungkin sering kita dengar dari orang terdekat kita.
Walaupun berbagai media terus memberitakan korban-korban virus COVID-19, dan pemerintah tak bosan-bosannya menyerukan agar warga tetap waspada terhadap wabah ini, namun banyak dari mereka berusaha menutup mata dan mengabaikannya. Banyak orang yang tidak mau mendengar informasi tentang wabah dan mencari-cari dalih agar mereka bisa kembali melakukan aktivitas (entah nonkrong atau liburan).
Dapat dikatakan bahwa, narasi kontra pandemi muncul bukan karena masyarakat tidak tahu bahwa wabah dan virus itu ada, tetapi mereka berpaling dari kenyataan dan mencari alasan dengan membawa-isu konspirasi sebagai pembenaran agar bisa kembali melakukan aktivitas secara normal. Jika para pedagang menggunakan dalih ekonomi agar mereka bisa kembali berkerja, maka orang-orang awam menggunakan dalih konspirasi agar mereka bisa nonkrong, berlibur, dan berkumpul kembali.
Banyak dari masyarakat kita yang meyakini bahwa, virus Corona itu ada dan nyata, namun karena frustasi terlalu lama berdiam diri di rumah mematuhi kebijakan PSBB, lockdown, dan karantina wilayah, akhirnya membuat mereka jenuh dan beralih memilih menjadi covidiot dengan menggunakan dalih “isu konspirasi” sebagai pembenaran.
Lalu apakah orang seperti Jerinx dan orang-orang yang menyebaran pandangan kontra pandemi harus dikenakan sanksi pidana?
Jawabannya tidak. Perbedaan pandangan dan kesan pikiran terhadap pandemi adalah kebebasan individu, dan ketika ia menuangkan gagasan pribadinya dalam bentuk tulisan di medsos atau media umum, itu juga merupakan hak kebebasan individualnya. Pemerintah tidak bisa menjadi “polisi pikiran” dengan memaksa agar orang-orang harus meyakini virus sebagaimana pandangan pemerintah dan pandangan umum.
Apa yang dilakukan oleh Anji dan Jerinx yang mengekspresikan pandangannya soal pandemi COVID-19 di akun pribadinya adalah hak pribadinya dalam mengemukakan pandangan dan pendapat. Sangat disayangkan jika mereka harus ditahan hanya karena penolakannya terhadap pandangan umum.
Tetapi, pemerintah sebagai penjaga hukum dan memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya dari wabah, berhak menetapkan aturan protokol kesehatan selama itu untuk kebaikan bersama. Misalnya, pemerintah bisa membuat aturan agar masyarakat menggunakan masker, mencuci tangan sebelum masuk gedung, melarang orang yang sakit untuk beraktivitas ditempat ramai, dan protokol kesehatan lainnya.
Pemerintah memang tidak bisa menangkap seorang covidiot hanya karena orang tersebut menolak eksistensi virus. Tetapi, pemerintah bisa menjatuhkan sanksi ketika orang tersebut tidak mentaati protokol kesehatan dan menerobos aturan hukum yang berkaitan dengan pencegahan virus Corona yang membahayakan banyak orang.
Referensi
https://www.urbandictionary.com/define.php?term=Covidiot Diakses pada 17 Agustus 2020, pukul 01.20 WIB.
https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20200804165544-234-532101/jejak-kontroversi-jerinx-soal-covid-19-hingga-dipolisikan Diakses pada 17 Agustus 2020, pukul 02.10 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com