Dari pemain bola, politikus, YouTuber, hingga penyanyi K-Pop, keberadaan penggemar sejatinya tidak mungkin terelakkan. Baik yang fanatik maupun yang biasa-biasa saja. Tak jarang penggemar ini berkumpul dalam jumlah besar dan membentuk suatu aliansi, yang fenomena sosiologinya dinamakan “in group“.
Mereka berkumpul di bawah payung identitas sosial yang acapkali menyatukan mereka, menciptakan ilusi kedekatan dan kekeluargaan atas asas common grounds, yaitu kesukaan atau idola yang sama. Perbedaan memang menyatukan, namun persamaan yang saling terikat tentu jauh lebih bernilai dari itu.
Dalam dunia industri entertainment, kerap kali kita lihat beberapa fans idola tertentu yang menyerang fans idola lain hanya karena beda pendapat satu sama lain. Dalam dunia politik atau agama, kefanatikan suatu kelompok juga sering kita lihat dalam bentuk perbedaan ideologi, dukungan terhadap salah satu calon, aksi demonstrasi di jalan, dan sebagainya.
Kira-kira, apa saja faktor psikologis seseorang sampai bisa begitu cinta dan rela mengorbankan segalanya demi sosok yang begitu diidolakannya? Ada tiga lapisan fanatisme yang biasanya menjadi alasan paling mendasar bagi para super fans, yaitu dimensi hiburan sosial, dimensi intens personal, dan dimensi batas patologis (Medium.com/TemaliMedia,14/2/2018).
Dimensi Hiburan Sosial
Dimensi hiburan sosial menyatakan dimana ada ketertarikan pada seorang figur karena kecakapan yang mereka miliki sehingga kerap dijadikan hiburan tersendiri dan menjadi objek pembicaraan dengan orang lain yang memiliki kesukaan sama.
Pada dimensi ini, saya menganggapnya masih dalam tahap mengagumi, orang-orang dalam tahap ini tidak sampai pada tahap menyakiti atau menyerang orang yang berbeda pendapat. Orang banyak berada dalam batas ini masih sah-sah saja karena termasuk ke dalam naluri alamiah untuk mempunyai role model tersendiri.
Dimensi Intens Personal
Dimensi ini menunjukkan di mana individu mulai memiliki perasaan yang intens dan kompulsif terhadap seorang tokoh yang diidolakannya. Di sini, individu mulai meniru gaya hidup, perilaku, dan kebiasaan sang idola. Selain itu, individu juga bersikap lebih ingin tahu tentang idolanya dari segi eksternal bahkan sampai kehidupan internal.
Dimensi Batas Patologis
Tahap ini merupakan tahap yang paling berbahaya karena di sini individu berani menunjukkan perilaku dan fantasi yang tidak terkendali terhadap sosok idolanya. Nah, di kategori ketiga ini, yang sebenarnya aneh namun kita semua wajarkan karena sering terjadi di sekitar kita.
Jika sudah terjebak dalam dimensi batas patologis, secara tak sadar individu atau kelompok sudah masuk dalam umpan manis yang ditawarkan oleh industri entertainment atau narasi populisme dalam konteks politik. Itu artinya, tujuan dari sasaran mereka sudah tercapai, membuat individu atau kelompok yang ‘mabuk’ terperangkap dan bisa disetir sesuai kemauan mereka.
Tak jarang, fantasi ini berbentuk proyeksi kebencian diri atas struktur pemikiran, tubuh, dan wajah yang tidak seperti apa yang ditampilkan figur di televisi. Alhasil, mereka yang sudah tergila-gila akan berusaha semaksimal mungkin untuk merombak diri habis-habisan agar menjadi semirip-miripnya dari segi paham pemikiran idola tersebut dan segalanya.
Peristiwa tersebut menandakan fanatisme, dalam bentuk agama, industri entertainment, politik, atau ideologi akan membuat siapapun yang terjebak ke dalamnya irasional. Yang lebih parahnya lagi, apabila individu sudah menemukan kelompok yang menganut fanatisme dalam hal sama, maka individu tersebut akan terkontrol oleh euforia massa.
Ahli biologi evolusi menyatakan bahwa adalah hal yang alamiah bagi manusia untuk memandang individu yang menerima perhatian karena mereka telah menjadi masyarakat. Hal ini dalam perspektif sosiologi disebut imitasi, dengan harapan seorang individu bisa setidaknya meraih perhatian yang sama karena sudah menyesuaikan standar kecantikan dan ideal dari masyarakat . (Dosenpsikologi.com, 6/2/2019).
Dalam hal ini, apabila semua orang menjadi sama dalam perilaku dan paham yang dianut, tidak ada keberagaman yang terjalin dan setiap kelompok yang sama akan merasa superior. Mereka menganggap kelompok mereka lah yang benar, semua standar sosial masyarakat diatur menurut idealisme mereka sendiri tanpa mau terbuka dengan ide-ide lain.
Idealisme mereka terhadap nilai-nilai yang mereka anut, membuat mereka menjadi sangat amat sentimen dan anti terhadap mereka yang memegang nilai yang sama sekali berbeda. Karena takut dicap minoritas, mereka yang mempunyai ide lain cenderung bersikap defensif agar tetap diterima. Kalau begini, untuk apa ada kebebasan individu? Tidak ada kebebasan berpikir dalam strukur masyarakat yang fanatik seperti ini.
Fanatisme bukan hanya menciptakan ilusi kecantikan yang sulit digapai. Terkadang fanatisme juga menciptakan hubungan sosial yang kurang baik antar manusianya, bahkan merusak kebebasan yang seharusnya dapat kondusif. Istilah “fans war” dalam dunia entertainment sering kita jumpai, massa yang tergerus ke dalam populisme tokoh politik juga kerap kita lihat.
Memang, segala sesuatu yang berlebihan tidak pernah baik. Fanatisme, kebencian, apapun itu baik tindakan maupun perasaan yang berlebihan tidak pernah sehat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain di sekitar. Setiap orang berhak punya pilihan, namun tidak harus bersifat memaksa, apalagi menyerang orang lain.
Referensi
“Kenapa Kita Terobsesi Pada Selebriti” (!4 Februari 2018). Diakses dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&ved=2ahUKEwiS642ulKjmAhWsILcAHdl6ADMQFjAGegQIBxAB&url=https%3A%2F%2Fmedium.com%2Ftemalimedia%2Fkenapa-kita-terobsesi-pada-selebriti-4eba15a54f7a&usg=AOvVaw2LvOsRwUTvhzm6hM4xjJv9
“Teori Imitasi dalam Psikologi” (6 Februari 2019). Diakses dari https://dosenpsikologi.com/teori-imitasi-dalam-psikologi

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.