Apabila ada satu hal yang patut kita renungkan di masa-masa akhir pilgub DKI Jakarta, maka menurut saya yang paling utama adalah menguatnya narasi kebencian atas nama agama. Pilkada yang seharusnya menjadi ajang mencari pemimpin terbaik di ibu kota, berubah menjadi ajang kampanye paling massif untuk menolak pemimpin beragama non-muslim, meningkatnya praktik intoleransi, dan supremasi kelompok-kelompok yang mengatasnamakan diri sebagai ulama.
Kecenderungan ini memang bukan suatu hal yang baru. Apabila kita melacak kemunculan kelompok-kelompok yang menyuarakan narasi kebencian dan fanatisme agama, maka awalnya justru bersamaan dengan kebebasan berpendapat di era reformasi.
Fanatisme agama bisa menjadi masalah baru bagi bangsa kita. Fanatisme agama, kini mulai secara efektif digunakan untuk kepentingan pollitik praktis pemenangan pilkada. Ulama tidak malu-malu lagi menggunakan pengajiannya untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Masjid tidak lagi sekedar menjadi tempat untuk mengajarkan nilai dan etika ketaqwaan, tetapi sebagai alat kampanye serta calon kepala daerah berkampanye. Keber-agama-an seseorang kini diukur bukan dari rasa patuh dan cinta pada Tuhan dan sesama, tetapi siapa pilihan calonnya.
Apabila fenomena ini berlanjut, maka Indonesia akan mengalami krisis toleransi dan perdamaian antar agama. Setiap tahun ada ratusan pemilihan kepala daerah kabupaten, kota, dan provinsi di Indonesia. Belum lagi setiap lima tahun sekali kita menggelar pemilihan legislatif dan presiden.
Jangan lupa, setelah Pilgub DKI Jakarta, tahun 2018 akan diadakan Pilgub Jawa Barat dan Jawa Timur. Lalu tahun depannya lagi kita sudah harus memilih presiden yang baru. Akankah fanatisme agama kembali muncul?
Bayangkan, apa jadinya bila calon pemimpin kita semakin banyak yang berkampanye dengan janji populisme agama – menggunakan cara-cara intoleran untuk mendapatkan dukungan politik? Bukan hanya Indonesia yang akan semakin sulit mewujudkan keberagaman, tetapi juga nilai-nilai agama yang hanya akan dipermainkan sebagai komoditas politik semata.
Lebih pahitnya lagi, kita akan melihat rajutan kebangsaan dan keberagaman Indonesia semakin terkoyak. Tensi dan sentimen agama, bukan tidak mungkin menular dari Ibu Kota Jakarta ke wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Sumbu pendek kelompok-kelompok tertentu semakin mudah tersulut apabila masuk di ranah agama.
Akankah kita berpikir bahwa pesta demokrasi yang awalnya kita pilih sebagai alat untuk mengakomodasi semua kepentingan politik, kini hadir sebagai panggung intoleransi dan fanatisme agama?
Beberapa orang menyalahkan Ahok, sebagai sosok kontroversial dengan latar belakang agama dan etnis minoritas yang maju menjadi cagub. Ucapannya yang sensitif mengkritik ajaran agama Islam melarang memilih cagub non-muslim menuai banyak hujatan.
Fanatisme agama bukan sesuatu yang baru. Kita perlu ingat, bahwa pemilu 2014 juga diwarnai aroma fanatisme agama dengan dibumbui berita-berita palsu. Tentu saja, isu ini kemudian mengalami eskalasi kuat ketika sosok Ahok maju sebagai cagub. Tapi harus juga diingat bahwa kelompok-kelompok anti-Ahok sudah sering melakukan aksi massa sejak Ahok naik menjadi Gubernur DKI di tahun 2014. Argumen bahwa fanatisme ini muncul karena ucapan Ahok, jelas-jelas sangat tidak valid.
Tahapan pilkada telah mencapai tahap akhir. Luka yang telah ditorehkan sulit untuk disembuhkan. Apa yang harus kita lakukan?
Pertama, tokoh-tokoh agama memegang kunci dalam meredam fanatisme agama. Apabila para pemimpin bisa memberikan contoh bahwa politik bisa dimenangkan melalui jalur-jalur toleransi dan menjunjung tinggi keagamaan, maka publik semakin mengabaikan politisi-politisi yang hanya mempermainkan agama demi tujuan elektoral.
Dasarnya politisi adalah bekerja untuk mendapatkan suara di dalam pemilihan. Apabila popularitas kandidat ditentukan dari fanatisme agama atau agenda-agenda populis lainnya, maka akan muncul aktor-aktor politis seperti Donald Trump – yang memanfaatkan sentimen masyarakat atas pendatang sebagai biang kerok masalah sosial dan ekonomi. Jangan lupa, bahwa munculnya praktik-praktik kampanye intoleran di Pilgub DKI diawali dari keinginan seorang politisi merebut suara kalangan pemilih yang fanatik dengan agamanya.
Untuk melawan jenis politisi seperti ini, maka harus dilakukan hal yang persis sebaliknya. Seorang politisi bisa merebut suara dalam pilkada dengan membuat kampanye cerdas dan pro-keberagaman. Publik harus membuktikan bahwa tidak mudah dibuai dengan janji-janji populis (yang jelas sulit atau tidak bisa dibuktikan) dan memilih kandidat yang betul-betul memahami masalah perkotaan.
Kebebasan kita akan selalu ditantang dalam setiap waktu. Pilihan untuk mempertahankan kebebasan warga negara ditentukan oleh warga negara itu sendiri. Tantangan kali ini adalah memilih pemimpin ibu kota yang bisa merawat kebebasan dan keberagaman, bukan menyebar kebencian dan kesewenang-wenangan.
Dan jangan kira bahwa ujian dan tantangan kebebasan kita akan berhenti di sini. Mereka akan terus datang dalam pilkada-pilkada tahun mendatang.