Drama: “Extraordinary Attorney Woo”
Director: Yu-In Sik
Network: Netflix
Release Date: 29 Juni 2022
Menjelang akhir libur semester kuliah, rasanya semua kegiatan refreshing ingin dicoba sebelum kembali menandaskan materi-materi kuliah. Drama Korea menjadi salah satunya kegiatan yang disarankan oleh teman saya, terutama nama Jun-Ho yang selalu diceritakan dengan sangat (lebih tepatnya, terlalu) antusias. Katanya, dia tipe yang boyfriend-able banget! Ya, Jun Ho disini merujuk pada karakter Lee Jun Ho, salah satu anggota tim firma hukum dalam drama Korea berjudul “Extraordinary Attorney Woo”. Sampai di suatu siang yang lumayan membosankan, saya akhirnya memutuskan untuk mulai menonton episode pertama dari drama Korea tersebut.
Paus, menjadi visual pertama yang saya kagumi dalam film itu. Visual hewan yang dibuat sedemikian indahnya itu sontak mengingatkan saya pada drama “It’s Okay To Not Be Okay” dengan ciri khas kupu-kupunya. Hampir setengah jam berlalu, saya berhasil menemukan keindetikan lain dari kedua drama ini, karakter dengan gangguan spektrum autisme. Mari kita fokus pada tokoh dengan gangguan autisme dalam “Extraordinary Attorney Woo”. Cerita berpusat pada tokoh utamanya, Woo Young Woo, yang diperankan oleh Park Eun Bin, seorang pengacara yang memiliki gangguan spektrum autism, sehingga membuatnya memiliki kondisi spesial semenjak kecil.
Meskipun sudah banyak drama Korea yang memiliki tema hukum atau pengacara, tokoh Woo Young Woo memberi warna tersendiri yang belum ada sebelumnya di drama hukum lainnya. “Extraordinary Attorney Woo” berhasil menunjukkan bahwa orang yang memiliki gangguan spektrum autisme dapat hidup normal. Diketahui bahwa orang dengan gangguan spektrum autisme memiliki IQ yang berbeda-beda, seperti individu normal pada umumnya. Hal ini ditunjukkan dari otak brilian milik Woo Young Woo yang dapat menghafal buku tentang hukum yang begitu tebal, melontarkan kembali semua kata dengan sangat tepat, lengkap dengan halaman serta barisnya. Begitu pula dengan setiap kasus yang ia pegang dapat diselesaikan dengan idenya yang kreatif dan tidak jarang membuat kagum rekan kerjanya.
Namun, bukan hanya menampilkan sisi positif kecerdasan dan kocaknya Woo Young Woo selama ia bekerja sebagai pengacara, drama ini juga mengekspos bagaimana dunia kerja seringkali tidak adil terhadap penyandang disabilitas. Sebelum lanjut ke bagian selanjutnya, saya ingin menaruh ‘spoiler warning’ untuk berjaga-jaga apabila ada di antara kalian yang membaca ini belum menonton. Pada episode 3, Woo Young Woo mendapat kasus mengenai pembunuhan seorang adik (Jeong Hun) yang juga mengidap autisme terhadap kakaknya (Sang Hun) yang merupakan mahasiswa kedokteran. Mulai dari investigasi kasus dan pertanyaan saksi yang tidak mudah bagi Woo Young Woo dan Jeong Hun sampai beberapa pandangan masyarakat terhadap autisme mulai digambarkan.
Pada akhirnya, Woo Young Woo menemukan fakta bahwa Jeong Hun justru ingin menyelamatkan kakaknya yang hendak bunuh diri. Lantas, ia ingin mengubah tujuan klaim dari pembunuhan menjadi penyerangan (karena Jeong Hun menjatuhkan kakahnya yang sedang gantung diri, sehingga beberapa tulang rusuknya patah). Namun, tindakan yang dilakukan Woo Young Woo ini tidak mendapat respons baik dari masyarakat. Masyarakat masih menduga bahwa Jeong Hun telah membunuh kakaknya. Beberapa komentar netizen pun sempat dibaca oleh Woo Young Woo, di antaranya seperti, “Negara rugi jika mahasiswa kedokteran mati, sedangkan anak autis hidup”, “Orang autis sudah seharusnya diasingkan, mereka berbahaya”, hingga “Aku akan lebih waspada jika bertemu anak autis”. Belum lagi tekanan yang diterima Woo Young Woo setelah ayah dari Jeong Hun melarang dia sebagai pengacara Jeong Hun karena sama-sama memiliki kelemahan, yaitu gangguan autisme. Tidak hanya itu, Woo Young Woo juga kerap direndahkan oleh lawan jaksanya karena ia memiliki autisme dalam persidangan.
****
Menurut data ILO ( International Labor Organization), penyandang disabilitas di dunia berkisar antara 82 persen dan berada di negara-negara berkembang, serta hidup di bawah garis kemiskinan (Erissa, 2022). Hal ini dikarenakan kesulitan mereka dalam mendapat aksesibilitas maupun kesempatan yang rendah dalam ketenagakerjaan, kesehatan, informasi, dan politik.
Adapun rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas di dunia kerja disebabkan oleh dua faktor, internal maupun eksternal. Hambatan eksternal biasanya datang dari masyarakat, berupa stigmatisasi merupakan hambatan yang signifikan terhadap akses pekerjaan bagi penyandang disabilitas (Benoit, Jansson, Jansenberger, & Phillips, 2013). Stigma membuat penyandang disabilitas umumnya dipandang sebelah mata dan diremehkan oleh masyarakat; diperlakukan secara permisif oleh keluarganya sendiri; juga berupa sikap orang tua yang cenderung melindungi anaknya secara berlebihan atau memperlakukan anaknya secara “sangat khusus”, sehingga membuat anak menjadi semakin tidak berdaya (Kristiyanti, 2019). Stigma dan respons masyarakat ini tercermin dengan sangat gamblang dalam kehidupan Woo Young Woo, di mana dia kerap mendapat ejekan sinis terhadap posisinya sebagai pengacara autis.
Stigma ini berkembang dari pemahaman negatif tentang disabilitas. Pelabelan negatif sebagai ‘berbeda dari yang diterima sebagai normalitas’ ini akan menjadi proses stigmatisasi. Sikap dan perilaku diskriminatif akan muncul bila stigmatisasi tersebut berlanjut dengan pembedaan lebih lanjut, antara lain berupa pemisahan secara paksa dan segregation, atau pengeluaran karena dianggap bukan bagian integral social exclusion, atau tidak termasuk socially devalued (kurang bernilai sosial).
Faktor internal dalam rendahnya partisipasi penyandangan disabilitas (baik fisik maupun mental) juga dapat berasal dari faktor internal. Diantaranya adalah masalah kepercayaan diri, penyesuaian diri yang kurang, maupun pendidikan dan kapabilitas yang kurang menjadi faktor-faktor utama (Erissa, 2022).
Berangkat dari data dan fakta di lapangan terkait akses penyandang disabilitas di dunia kerja tersebut, sudah seharusnya tiga stakeholders utama dalam masalah ini didayagunakan dengan baik. Mulai dari pemerintah yang aktif mendukung hak penyandang disabilitas dengan memberikan program pelatihan atau pengembangan program rehabilitasi sosial guna memaksimalkan pengembangan keterampilan bagi penyandang disabilitas. Respons dan pandangan masyarakat yang masih menitikberatkan pada stigma autisme juga harus terus diupayakan agar perlahan bisa menghilang. Masyarakat harus dapat melihat individu pengidap autisme sebagai “manusia”, bukan seakan mereka kuman yang harus disegmentasi dari kehidupan masyarakat. Begitu pula dengan individu dengan disabilitas perlu belajar untuk menempatkan diri dalam masyarakat, membangun kepercayaan diri dan meningkatkan kemampuan mereka, menunjukkan kelebihan dan potensi mereka, serta menunjukkan kalau mereka bukan orang yang tidak berdaya.
Akhir kata, perubahan cara pandang dari charity-based menjadi social-based sudah seharusnya mendasari perkembangan isu disabilitas, terutama dalam konteks HAM. Saat ini, terutama setelah disahkannya Convention on the Rights of People with Disabilities (CRPD), penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai kelompok yang hanya patut dikasihani, tetapi harus dijamin dan dipenuhi hak- haknya sebagai seorang manusia.
Dengan demikian, saya membuat tulisan ini, dalam rangka seusai menonton “Extraordinary Attorney Woo”, sebagai bentuk disability awareness-raising. Drama ini berhasil menyampaikan pesan yang tepat dalam bersikap, berperilaku yang lebih baik, dan menghargai hak asasi para penyandang disabilitas guna penerimaan terhadap mereka (disability awareness) di dunia kerja. Mereka tidak perlu diistimewakan, mereka hanya butuh disetarakan haknya dengan yang lain.
Referensi
Jurnal
Benoit, C., Jansson, M., Jansenberger, M., & Phillips, R. (2013). “Disability stigmatization as a barrier to employment equity for legally-blind Canadians”. Disability & Society, 28(7), 970–983.
Erissa, D. (2022). “Akses Penyandang Disabilitas terhadap Pekerjaan: Kajian Literatur”. Jurnal Pembangunan Manusia, Vol. 3 (1). Diakses pada 9 Agustus 2022, pukul 14.56 WIB melalui https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1039&context=jpm
Kristiyanti, E. (2019) “Model Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas Intelektual: Studi Kasus di DKI Jakarta”. Indonesian Journal of Religion and Society, 1(1), 66- 79.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.