
Sejak Irjen Ferdy Sambo telah ditetapkan menjadi tersangka utama, perhatian publik semakin menjadi-jadi pada kasus kematian Brigadir J. Bahkan, sebelum itu, kasus penembakan Brigadir J ini juga menjadi topik terhangat yang kerap menghiasi portal berita utama televisi bapak-bapak di Indonesia (termasuk ayah saya). Kasusnya yang masih berlanjut hingga saat ini telah menyeret beberapa isu ke dalamya. Hal ini mengingatkan saya pada rumitnya konflik bisnis keluarga pada drama korea berjudul ‘Penthouse’. Mulai dari HAM, skenario tembak-menembak yang telah direncanakan, perselingkuhan, motif ‘dewasa’, hingga isu LGBT juga beriringan dalam kasus Brigadir J ini.
Lagi-lagi, kasus Brigadir J menunjukkan bahwa kultur kekerasan masih melekat di dalam institusi Polri. Sebelumnya, sudah sering ditemukan beberapa kasus kekerasan sesama polisi maupun terhadap warga sipil. Misal, kasus kekerasan di Polres Nunukan oleh Kapolres Nunukan AKBP, Syaiful Anwar, terhadap Brigadir Sony Limbong (kontras.org/27/10/2021); Kapolsek Parigi yang diduga perkosa anak tersangka (Kompas.com/27/10/2021); Kasus penahanan Brigadir NP, polisi yang membanting Mahasiswa UIN Banten (nasional.tempo.co/21/10/2021), dan lain sebagainya.
Belum lagi, jurnalis yang menjadi bulan-bulanan tindak kekerasan oleh polisi saat melakukan pekerjaannya. Berdasarkan data Advokasi AJI, pada aksi demonstrasi sepanjang tahun 2019 sampai 2020, terdapat setidaknya 15 kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis dan 10 di antaranya dilakukan oleh pihak kepolisian (Saleh & Sukarno, 2021: 47). Selain itu, masih sering terjadi kasus-kasus penyiksaan terhadap tahanan atau tersangka yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam penanganan suatu perkara. Penelitian LBH Jakarta pada tahun 2005 menemukan 81,1% tersangka mengalami penyiksaan saat diperiksa di tingkat kepolisian. Angka bertambah pada tahun 2008, di mana ditemukan bahwa 83,65% mereka yang pernah diperiksa di kepolisian mengaku mengalami penyiksaan (LBH Jakarta, 2008).
Mengingat kasus serupa dengan unsur kekerasan dalam institusi kepolisian masih kembali terulang (re: kasus Brigadir J), Amnesty International Indonesia menekankan perlu adanya tinjauan lebih lanjut mengenai maraknya kasus kekerasan yang dialami maupun dilakukan oleh kepolisian dan memastikan bahwa kasus-kasus tersebut juga diselesaikan secara transparan dan akuntabel (amnesty.id/10/08/2022).
*****
Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, hingga akuntabilitas telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab polisi. Hal ini berlanjut pada eskalasi tuntutan dan harapan terhadap pelaksanaan tugas kepolisian yang berorientasi pada masyarakat yang dilayani. Salah satunya adalah pemenuhan HAM secara menyeluruh, dari hak ekonomi, politik, pembangunan, hukum, privasi, informasi, kebebasan berpendapat, hidup aman, tenteram, dan yang terutama, hak manusia sebagai individu.
Namun, bagaimana apabila polisi (yang seharusnya menjadi salah satu institusi wajib dalam melindungi HAM masyarakatnya tersebut) justru yang melanggar hak-hak tersebut dalam menjalani tugasnya? Pendekatan kekerasan yang kerap dilakukan polisi menjadi salah satu contoh pelanggaran HAM yang belum kunjung usai kasusnya. Padahal, dalam Pasal 10 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2009 yang mengatur tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”), dijelaskan bahwa kekerasan tidak termasuk (atau tidak dibenarkan) dalam kode etik kepolisian (hukumonline.com/14/07/2014).
Beberapa kasus kekerasan maupun penyiksaan yang telah saya jabarkan sebelumnya seakan menjadi rima yang berlanjut, entah sampai kapan. Selain karena belum adanya evaluasi komprehensif terhadap kultur kekerasan yang menjadi impunitas dalam institusi kepolisian, secara kultural, masyarakat dan aparat penegak hukum juga menoleransi penyiksaan. Meskipun kekerasan diakui memberi dampak penderitaan yang hebat bagi korban, tetapi kekerasan diterima sebagai bagian yang terintegrasi dalam proses penegakan hukum pidana sehingga kontrol sosial dari masyarakat terhadap upaya penghapusan penyiksaan pun tidak dapat berjalan. Adapun secara struktural, tidak ada mekanisme pengaduan yang efektif terhadap praktik kekerasan. Sebagai contoh, dalam kasus penyiksaan terhadap tahanan di ruangan tersendiri, para korban yang mengungkap dan mengeluhkan penyiksaan, tidak mendapatkan tanggapan dari aparat penegak hukum.
Situasi ini secara tidak disadari akan membahayakan akuntabilitas institusi penegakan hukum dan mengurangi kepercayaan masyarakat pada proses hukum. Akan terjadi akumulasi kekecewaan dan iklim ketidakpercayaan publik pada mekanisme hukum formal karena semakin menguatnya persepsi bahwa aparat kepolisian beroperasi di atas hukum. Masyarakat akan mencari alternatif jalan untuk melindungi dirinya sendiri, termasuk dengan melakukan penyiksaan antara sesama masyarakat yang berujung sama-sama saling merugikan.
Sebagai penutup, adapun langkah-langkah yang semestinya diambil oleh pemerintah dalam memperketat perlindungan HAM dalam konstitusional di Indonesia, antara lain: mengefektifkan proses legislasi yang terkait amandemen, perumusan undang-undang baru, revisi atau harmonisasi beberapa peraturan perundang-undangan nasional, meningkatkan upaya administratif, hukum atau upaya lainnya untuk mencegah penyiksaan, mengembangkan forum dialog partisipasi masyarakat dan media komunikasi, serta meningkatkan kapasitas, keterampilan, dan proses pelatihan untuk membangun kesadaran HAM yang mengutamakan pendekatan zero tolerance terhadap segala bentuk kekerasan.
Referensi
Artikel
https://www.amnesty.id/kasus-brigadir-j-harus-jadi-momen-penguatan-akuntabilitas-kepolisian/ Diakses pada 17 Agustus 2022, pukul 21.00 WIB.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/jika-polisi-melakukan-kekerasan-kepada-masyarakat-lt53c01f86596bb Diakses pada 18 Agustus 2022, pukul 13.40 WIB.
https://kontras.org/2021/10/27/kekerasan-sesama-anggota-polri-terjadi-kultur-kekerasan-masih-melekat-di-dalam-institusi-polri/ Diakses pada 17 Agustus 2022, pukul 19.54 WIB.
https://www.kompas.com/tren/read/2021/10/27/063000965/10-kasus-yang-melibatkan-polisi-dan-menjadi-perhatian-publik?page=all Diakses pada 17 Agustus 2022, pukul 20.00 WIB.
https://nasional.tempo.co/read/1519768/perkara-polisi-banting-mahasiswa-brigadir-np-ditahan-21-hari-dan-kena-mutasi Diakses pada 17 Agustus 2022, pukul 20.05 WIB.
Jurnal
Saleh, F & Sukarno, B. “Kekerasan Terhadap Jurnalis oleh Oknum Aparat Kepolisian saat Meliput Aksi Demonstrasi Di Jakarta Tahun 2019-2020.” POPULIKA, Vol. 9 (2). Diakses melalui https://ejournal.widyamataram.ac.id/index.php/populika/article/download/379/245/1136 pada 18 Agustus 2022, pukul 13.25 WIB.
Buku
LBH Jakarta. (2008). Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan: Survei Penyiksaan di Rumah Tahanan di wilayah Jabodetabek. Jakarta: LBH Jakarta

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.