Apakah semua tindakan penyiksaan merupakan sesuatu yang mutlak salah atau ada beberapa pengecualian bahwa tindakan tersebut merupakan sesuatu yang sangat diperlukan dan dapat dijustifikasi?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu apa yang disebut dengan penyiksaan (torture). Pasal 1 Konvensi PBB tentang Menentang Penyiksaan, menyatakan bahwa penyiksaan adalah “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga.”
Konvensi PBB Menentang Penyiksaan sendiri sudah diratifikasi oleh 163 negara. Namun, bukan berarti lantas perdebatan etis terkait penyiksaan hilang begitu saja. Ada beberapa pemikir dan filsuf yang memiliki pandangan berbeda dengan PBB salah satunya adalah filsuf kelahiran Australia, Peter Singer.
Berangkat dari etika utilitarian, dalam wawancaranya dengan filsuf Amerika Serikat Michael Sandel, Singer menyatakan bahwa ia berpandangan bila seseorang mengetahui dirinya dapat menyelamatkan nyawa orang lain, namun ia tidak melakukan langkah tersebut, maka secara etis dengan demikian orang tersebut juga ikut bertanggung jawab atas hilangnya nyawa pihak lainnya. Singer mengemukakan pandangannya dalam konteks bila ada seorang kriminal yang menculik seseorang dan ia ditangkap oleh aparat dan setelah diinterogasi kriminal tersebut menolak untuk memberi informasi atas keberadaan orang yang diculiknya, yang tentunya hal ini dapat membahayakan nyawa korban karena dapat berpotensi kelaparan dan terkena penyakit.
Bilamana aparat penegak hukum mengetahui bahwa dengan menggunakan metode penyiksaan, kriminal tersebut dapat memberitahu keberadaan orang yang diculiknya, maka menyiksa kriminal tersebut merupakan sesuatu yang benar untuk dilakukan karena nyawa kriminal tersebut sama berharganya dengan nyawa seseorang yang ia culik. Apabila aparat tidak melakukan hal tersebut dan akhirnya korban meninggal, maka aparat tersebut juga harus ikut bertanggung jawab atas menghilangnya nyawa korban.
Kasus yang diilustrasikan di atas bukan berdasarkan cerita fiksi. Di Jerman pada 27 September 2002, seorang mahasiswa bernama Magnus Gafgen menculik anak berusia 11 tahun bernama Jakob von Metzler, yang merupakan anak dari bankir ternama. Orang tua Jakob akhirnya memberikan dana tebusan kepada Gafgen, namun Gafgen ternyata tetap menolak untuk memberi informasi tentang keberadaan Jakob.
Polisi Jerman akhirnya berhasil menangkap Gafgen. Setelah diinterogasi oleh aparat, Gafgen, tetap bersikukuh menolak memberi informasi terkait keberadaan anak yang diculiknya. Deputi kepala kepolisian Jerman akhirnya memutuskan untuk mengancam untuk menyiksa Gafgen apabila ia tetap menolak untuk memberi informasi, dan Gafgen pun akhirnya bersedia untuk memberi keterangan kepada polisi. Tragis, Jakob von Metzger akhirnya ditemukan oleh polisi di sebuah tanah kosong dalam keadaan tidak bernyawa.
Gafgen akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup atas pembunuhan Jakob. Namun, bukan Gafgen saja yang dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Kepolisian Jerman dinyatakan bersalah oleh Pengadilan HAM Eropa karena dianggap telah melanggar hak dari Matzger dengan ancaman penyiksaan.
Kasus di atas merupakan salah satu contoh nyata yang sering digunakan dalam membahas etika terkait penyiksaan. Seseorang yang memiliki pandangan etika Kantian akan menyatakan bahwa menyiksa seseorang, siapapun dia, dan dengan tujuan apapun merupakan sesuatu yang mutlak salah untuk dilakukan, karena hal tersebut menjadikan seeorang sebagai alat untuk mencapai keinginan tertentu dan tidak menjadikan individu tersebut sebagai subjek atas dirinya sendiri yang layak untuk tidak dicederai dan tidak direndahkan martabatnya.
Sebaliknya, seseorang yang memiliki pandangan utilitarian akan menghakimi tindakan suatu aksi berdasarkan konsekuensi dari aksi tersebut. Suatu tindakan yang bila dilihat dari sudut pandang Kantian salah dalam situasi tertentu bisa menjadi sesuatu yang tepat bila bertujuan dan memiliki konsekuensi yang baik, seperti menyelamatkan nyawa orang lain. Dalam situasi dilema moral, utilitarianisme memandang bila ada pilihan yang memiliki konsekuensi buruk yang paling sedikit, maka pilihan tersebutlah yang harus diambil.
Libertarianisme sendiri merupakan gagasan yang sangat menjunjung tinggi kebebasan dan hak milik individu. Libertarianisme mengakui bahwa tidak ada satupun pihak yang boleh melakukan agresi dan mencederai kebebasan individu orang lain, siapapun dia, termasuk institusi negara. Lantas dengan demikian, bukankah berarti libertarianisme sejalan dengan etika Kantian dimana setiap individu memiliki martabat dan merupakan tujuan pada dirinya sendiri dan tidak boleh dipelakukan sebagai alat untuk tujuan tertentu?
*****
Terkait dengan pertanyaan diatas, saya tidak ingin terjebak pada dikotomi antara etika utilitarianisme dan etika Kantian. Ada hal yang sangat penting dan patut untuk diperhatikan dalam kedua pandangan tersebut. Etika Kantian tanpa disandingkan dengan pragmatisme yang dimiliki oleh utilitarianisme, maka tidak lebih hanya akan menjadi dogma belaka yang tidak bisa diaplikasikan di dalam dunia nyata. Sebaliknya, etika utilitarianisme yang diwujudkan secara radikal, tanpa disertai akan pengakuan terhadap hak individu, akan melahirkan despotisme dan tirani mayoritas karena individu hanya direduksi menjadi nomor dan jumlah.
Libertarianisme mengakui bahwa setiap individu memiliki martabat kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Namun, libertarianisme juga mengakui bahwa ada situasi tertentu, dimana tindakan agresi terhadap pihak lain (atau dengan kata lain, “mencederai” martabat individu lain dengan menjadikannya sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam bentuk melakukan tindakan kekerasan terhadap individu tersebut) merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan, yakni dalam situasi untuk membela diri (self-defense) baik untuk diri sendiri maupun pihak ketiga.
Pengecualian inilah yang tidak diakui dalam etika Kantian yang memiliki posisi deontologis, dimana suatu aksi hanya bisa dibenarkan apabila aksi tersebut sesuai dengan aturan dan prinsip yang ada (maxim) terlepas dari apapun konsekuensi dari aksi tersebut.
Di sisi lain, libertarianisme juga sangat menjunjung tinggi gagasan individualisme dimana salah satu prisipnya adalah seseorang secara etis hanya memiliki pertanggungjawaban atas tindakan yang dia lakukan dan dia tidak memiliki beban atas tindakan orang lain. Hal tersebut tentu sangat bertentangan dengan pandangan utilitarianisme sebagaimana yang diungkapkan oleh Peter Singer, dimana ia mengutarakan bahwa bila seseorang mengetahui dirinya dapat menyelamatkan nyawa orang lain namun ia tidak melakukan langkah tersebut, maka secara etis dengan demikian orang tersebut juga ikut bertanggung jawab atas hal yang terjadi pada korban.
Pemikir dan ekonom libertarian asal Amerika Serikat, Murray Rothbard, dalam bukunya ‘The Ethics of Liberty’ menulis apabila kita mengakui bahwa setiap individu memiliki hak terhadap dirinya sendiri, maka kita juga harus mengakui bahwa setiap individu memiliki hak untuk menjaga dirinya. Hal tersebut meliputi berbagai cara atau tindakan, baik yang menggunakan kekerasan ataupun tidak, untuk membela diri dari serangan orang lain, atau menerima bantuan dari pihak ketiga apabila ada pihak lain yang secara sukarela bersedia untuk membantu orang tersebut untuk membela dirinya.
Seorang yang mendapati orang lain sedang dirampok misalnya, memiliki hak untuk membantu menyelamatkan korban perampokan tersebut dengan cara melakukan tindakan kekerasan terhadap pelaku perampokan. Berangkat dari pemahaman akan hal tersebut, maka saya memiliki pandangan bahwa ada situasi tertentu dimana tindakan penyiksaan secara etis dapat dibenarkan sebagai upaya membela diri untuk pihak ketiga.
Libertarianisme menyatakan dengan jelas bahwa upaya membela diri merupakan satu-satunya hal yang dapat menjadi pembenaran untuk tindakan kekerasan terhadap pihak lain. Oleh karena itu, pandangan saya mengenai bahwa ada situasi tertentu dimana tindakan penyiksaan secara etis dapat dibenarkan bukan berarti lantas hal tersebut menjadi benar di segala situasi, seperti ketika aparat penegak hukum menyiksa tersangka pelaku tindak kriminal untuk memaksa ia memberikan pengakuan.
Sebagaimana tindakan kekerasan lainnya, penyiksaan terhadap orang lain hanya bisa dibenarkan apabila upaya tersebut dilakukan untuk menyelamatkan individu lain karena hal tersebut masuk dalam koridor hak untuk membela diri bagi pihak ketiga.
Penting untuk saya tekankan di dalam artikel ini bahwa fokus pembahasan saya terkait penyiksaan adalah sisi etis dari tindakan tersebut dilihat dari sudut pandang libertarianisme, dan bukan pada aspek legalitas atau apakah metode penyiksaan merupakan sesuatu yang efisien atau tidak untuk mendapatkan informasi.
Lantas bagaimana bila aparat atau lembaga intelijen menangkap dan menyiksa orang yang salah? Hal tersebut bukanlah sesuatu yang tidak pernah terjadi. Salah satu contoh dari kejadian tersebut adalah yang menimpa pria asal Yaman bernama Mohamed Bashmilah, yang pada tahun 2003 ia ditangkap di Yordania dan dikirim ke fasilitas rahasia CIA di Afghanistan dan mendapatkan berbagai tindakan penyiksaan seperti waterboarding. Bashmilah akhirnya dibebaskan CIA pada tahun 2005.
Adanya kejadian penangkapan orang yang tidak bersalah salah satu argumen yang kerap digunakan untuk menentang tindakan penyiksaan serta menyatakan penyiksaan dalam situasi apapun merupakan tindakan yang secara etika salah karena berpotensi orang yang disiksa tersebut bukanlah seorang kriminal. Saya tidak menyangkal bahwa yang terjadi pada Bashmilah merupakan kejadian yang sangat memprihatinkan dan apabila ada oknum dari lembaga intelijan Amerika Serikat yang mengetahui bahwa ia memang tidak bersalah dan tetap menangkap serta menyiksanya, maka oknum tersebut layak dihukum.
Namun, saya tidak setuju bahwa fakta adanya kesalahan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam melakukan tindakan penyiksaan merupakan argumen yang kuat untuk menyatakan bahwa penyiksaan merupakan sesuatu yang salah dalam situasi apapun. Bila cara pandang ini digunakan, bagi saya kita dapat menyatakan bahwa misalnya, tindakan memenjarakan seorang kriminal seperti pembunuh dan pemerkosa merupakan sesuatu yang secara etis salah karena dapat berpotensi seseorang yang dipenjara tersebut merupakan individu yang tidak pernah menyakiti orang lain.
Contoh nyatanya adalah yang dialami oleh pria asal Amerika Serikat bernama Ricky Jackson, yang harus mendekam di penjara selama hampir 40 tahun karena dituduh membunuh seseorang. Dia akhirnya dibebaskan pada tahun 2015 karena ternyata terbukti tidak bersalah.
Apa yang dialami oleh Jackson tidak perlu diragukan merupakan sesuatu yang sangat menyedihkan dan memprihatinkan, namun bukan berarti tindakan memenjarakan kriminal seperti pembunuh dan pemerkosa merupakan tindakan yang secara etis salah dan langkah yang harus dilakukan adalah menutup semua penjara dan membebaskan semua narapidana.
Solusi agar hal tersebut tidak terulang kembali adalah dengan memperbaiki sistem peradilan dan aparat penegak hukum yang ada agar individu yang mendekam di balik jeruji besi merupakan benar-benar seorang pelaku tindak kriminal. Hal yang sama juga berlaku bagi tindakan penyiksaan bahwa solusi yang harus dilakukan bukan berarti seluruh tindakan penyiksaan menjadi dilarang bahkan dalam situasi yang ekstrem yang berpotensi mencelakakan banyak orang, namun dengan memperbaiki lembaga intelijen dan aparat negara agar dipastikan bahwa seseorang yang ditangkap dan disiksa tersebut memang benar-benar seseorang yang berupaya mencelakakan dan membunuh banyak manusia.
Argumen lain yang kerap digunakan untuk menjustifikasi bahwa penyiksaan merupakan sesuatu yang etis salah dalam kondisi apapun adalah bahwa dalam praktiknya penyiksaan bukanlah metode yang efektif untuk mendapatkan informasi. Laporan Komite Intelijen Senat Amerika Serikat tentang Penyiksaan CIA pada tahun 2012 misalnya, menyebutkan bahwa tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh lembaga intelijen negeri Paman Sam tersebut merupakan sesuatu yang tidak diperlukan dan terbukti tidak efisien untuk mendapatkan informasi dari anggota kelompok teroris.
Namun, taruhlah bila laporan Senat Amerika Serikat tersebut memang benar, saya menemukan bahwa hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk menjustifikasi apakah scara etis tindakan penyiksaan merupakan sesuatu yang benar atau salah dalam situasi tertentu. Dari laporan tersebut dapat disimpulkan bahwa mungkin untuk saat ini metode penyiksaan harus ditinggalkan dikarenakan cara tersebut memang tidak efektif, bukan karena salah secara etis. Bila di masa yang akan datang ditemukan cara lain yang dapat dikategorikan sebagai tindakan penyiksaan yang terbukti efektif untuk menyelamatkan banyak jiwa, maka cara tersebut merupakan sesuatu yang dapat dilakukan.
Hak untuk membela diri merupakan salah satu hak dasar yang paling penting untuk menjaga hak individu. Seseorang yang melakukan upaya untuk menyakiti orang lain harus bersedia menerima konsekuensi mendapatkan respons tindakan kekerasan dari orang yang diserangnya sebagai upaya pembelaan diri. Individu yang melakukan tindakan melukai orang lain dengan menyembunyikannya atau merencanakan untuk membunuh orang lain, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menerima tindakan penyiksaan apabila individu tersebut menolak untuk memberitahukan keberadaan orang yang ia sembunyikan, atau tidak bersedia menggagalkan rencaana yang telah ia susun.
Apabila seseorang tidak ingin mendapatkan perlakuan kekerasan atau tindakan penyiksaan dari orang lain, bagi saya ada satu prinsip sederhana untuk diikuti: “Jangan pernah merencanakan atau mengupayakan tindakan kekerasan terhadap orang lain yang tidak melakukan kekerasan terhadap diri kita.”

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.