Epilog Pilkada DKI: Di Bawah Bendera Milenial (Bagian 2)

    348

    Pilkada DKI Jakarta 2017 bukan hanya panggung untuk Basuki Tjahaya Purnama dan Anies Rasyid Baswedan untuk beradu argumen. Kontestasi tersebut menjadi besar karena ditopang oleh berbagai pertikaian pada lingkup yang lebih kecil. Begitulah kurang-lebih cara sebuah masyarakat jaringan bekerja.

    Sebagaimana di dalam “Di Bawah Bendera Milenial 2”, kita sempat berdiskusi tentang bagaimana “masyarakat jaringan” melakukan distribusi pengetahuan. Berkaca pada kasus Pilkada DKI, panggung-panggung besar tampak begitu tergantung dan terhubung dengan panasnya pertarungan di panggung-panggung kecil. Tidak ada Pilkada yang memiliki jutaan lapak kaki lima sepanas ini.

    Bukan hanya pertikaian di tingkat tim sukses resmi, pertarungan antar tim sukses partikelir lebih terasa nyata. Tokoh-tokoh buatan jaringan setiap hari beradu gagasan, sementara tim sukses resmi terkadang bisa duduk sambil minum kopi bersama. Politisi partikelir macam Jonru Ginting, Denny Siregar, dan Pandji Pragiwaksono tampak lebih sibuk, dibandingkan aktivis-aktivis partai kelas berat.

    Saat ini adalah sebuah era dimana bukan hanya politisi dan pengamat saja yang bekerja di dunia politik. Kemunculan tokoh-tokoh baru ini membuktikan politik kita sudah lebih berkembang. Semakin hari, semakin banyak pengrajin yang bekerja di dunia politik.

    Tulisan ini tidak akan membahas persoalan baik dan buruknya kondisi tersebut. Mengulas keberadaan politisi partikelir ini jauh lebih menarik. Dalam istilah milenial, profesi ini akrab disebut sebagai buzzer atau dalam bahasa yang lebih terhormat disapa sebagai “relawan”.

    Saya mulai tergerak meperhatikan tema ini ketika seorang Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) mengutip pernyataan-pernyataan Denny Siregar di dalam tulisannya yang berjudul, “Tajamnya Lidah Ahok Dan Pintu Masuk” dalam Harian Republika. Bukan bermaksud merendahkan siapapun, saya melihat memang ada sebuah perubahan besar di dalam dunia produksi gagasan Indonesia.

    Buya Syafii adalah murid dari Fadzlur Rahman, seorang professor terkemuka dalam bidang kajian Islam dari University of Chicago. Tidak ada keraguan terhadap gagasan Rahman. Tulisan-tulisan Bapak Neo-Modernisme Islam ini sangat mempengaruhi cara Buya berpikir, terutama yang berkaitan dengan perspektif metodologis Al-Quran.

    Saya tidak tahu bagaimana bisa sekarang Buya mengutip Denny Siregar. Ada cerita apa di balik kejadian ini, mungkin hanya Denny dan Buya yang tahu. Mudah-mudahan, ini hanya soal menyampaikan kebenaran saja.

    Tetapi yang jelas, ketokohan Denny Siregar saat ini memang harus diakui. Dikutip oleh orang penting sekaliber Ahmad Syafii Maarif bukanlah sesuatu yang sembarangan. Buya yang merupakan intelektual publik teruji saja membenarkan spekulasi-spekulasi Denny. Bahkan lewat tulisan yang mengutip spekulasi Denny itu, Buya ikut terseret arus gelombang pertikaian politik Pilkada DKI Jakarta, meski resminya Beliau adalah warga DIY Yogyakarta.

    Mungkin, Buya merasa heran apa yang salah dengan kata-katanya. Menurut saya, statemen Buya semuanya sudah sangat logis dan rasional. Nyaris, tidak ada yang salah dengan kata-kata Buya.

    Lepas dari semua itu, Denny tampak memainkan peran yang sangat penting dalam masyarakat jaringan ini. Seiring ketokohannya yang mulai diakui, Denny semakin mendapatkan ruang publisitas yang luas. Di dalam berbagai tulisannya, dia semakin rajin memainkan peran sebagai juru bicara partikelir Presiden Jokowi, bahkan ruang publisitasnya melebihi Djohan Budi yang merupakan jubir resmi pemerintahan.

    Era milenial adalah orang tua kandung dari figur semacam Denny Siregar. Mungkin, tokoh seperti ini akan sulit mendapat panggung selama era kejayaan koran dan radio. Ketika itu, mekanisme penokohan yang sangat rigid memang begitu berbeda dengan era sekarang, sebagaimana sudah kita diskusikan pada tulisan sebelumnya.

    Ketokohan orang seperti Denny tentu tidak dapat kita setarakan dengan intelektual publik yang teruji, layaknya Buya Syafii. Tujuan tokoh semacam ini memang bukan untuk menunjukkan kebenaran, melainkan mengakumulasi kekuatan ekonomi-politik melalui distribusi informasi di dalam jaringannya.

    Mencermati semua kata-kata orang semacam Denny adalah sesuatu yang penting, namun tidak perlu disikapi terlalu serius sebagaimana kita memperlakukan ide-ide dari pemikir yang level kebijaksanaannya sudah termasyur seperi Daniel Dhakidae, Franz Magnis-Suseno, atau Ignas Kleiden.

    Buktinya, sudah bisa kita lihat sendiri. Tak lama setelah kisruh Al-Maidah 51, banyak orang merasa kecewa dengan pernyataan Denny tentang demonstrasi petani. Dia pun di-bully. Merendahkan aksi Petani Kendeng dengan alasan apapun tentu tidak terpuji, apalagi kita sekarang dipimpin oleh Presidennya wong cilik. Jangan sampai gara-gara narasi yang dibuat Denny, Presiden Jokowi malah dituduh menjadi pemimpinnya wong licik.

    Kasus tersebut sangat memperlihatkan bahwa tokoh milenial memang tidak diciptakan untuk menghadirkan kebijaksanaan atau memori hikmah kesejarahan. Kebanyakan perkataan yang mereka lontarkan hanya untuk meyakinkan masyarakat jaringan tentang kepentingan yang sedang mereka back up.

    Seandainya Denny Siregar sudah mempelajari “The Peasants’ Revolt of Banten in 1888” karya klasik Sartono Kartodirdjo atau ulasan James Scott yang berjudul, “Weapons of the Weak: Everyday Form of Peasants Resistance”, tentu dia tidak akan menciptakan narasi yang menganggap aksi petani Kendeng sebagai sesuatu yang berlebihan. Tanpa ada provokator pun, petani Asia Tenggara memang sejak dahulu kala sudah memiliki metode-metode perlawanan terhadap kekuatan penguasa.

    Ya sudahlah, pasti Denny tidak tertarik untuk membaca buku-buku tersebut karena dia harus bertemu dengan berbagai elit yang sedang berkuasa. Atau mungkin, dia juga terlalu sibuk bersafari dari satu seminar ke seminar lainnya.

    Lepas dari urusan baik dan buruk, intelektual publik di masa lampau lahir dari rangkaian ujian kebijaksanaan yang dihelat oleh birokrasi pengetahuan yang established. Sedangkan di era milenial, tokoh publik adalah hasil dari mekanisme keterbukaan akses publisitas. Sebelumnya, tokoh-tokoh sibuk menelaah kebenaran untuk berdebat di ruang publik, sedangkan sekarang tokoh milenial kerab menyelundupkan halusinasi melalui berbagai jaringan yang sudah saling terhubung.