Undang-Undang Pornografi dan Hak Privasi

452

Pada tanggal 7 November 2020 lalu, Indonesia kembali digemparkan dengan tersebarnya salah satu video dewasa di dunia maya. Hal ini dikarenakan, salah satu pemeran dalam video dewasa tersebut memiliki kemiripan dengan salah satu penyanyi terkenal di tanah air (liputan6.com, 30/12/2020).

Kasus mengenai video dewasa yang diperankan oleh selebriti atau artis bukan merupakan hal baru yang terjadi di Indonesia. 12 tahun lalu, negeri kita juga digemparkan dengan tersebarnya dua video dewasa, yang diperankan oleh salah seorang penyanyi pria terkenal di tanah air, dengan dua orang selebriti perempuan yang berbeda.

Kasus tersebut akhirnya berujung di meja hijau. Sebagai akibat dari video tersebut, penyanyi laki-laki yang tampil di video dewasa tersebut akhirnya dijatuhi hukuman penjara oleh lembaga peradilan penjara 3 tahun 6 bulan, dan denda sebesar 250 juta rupiah pada awal tahun 2011. Hakim menyatakan bahwa penyanyi tersebut ceroboh sehingga videonya terbongkar, dan sebagai publik figur, penyanyi tersebut juga tidak memberikan contoh yang baik kepada masyarakat (31/1/2011).

Vonis yang dijatuhkan hakim tersebut juga bukan tanpa kontroversi. Banyak pihak, khususnya organisasi-organisasi yang bergerak di bidang kebebasan sipil dan hak asasi manusia, Salah satu advokat perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) misalnya, menyatakan bahwa penyanyi dan dua rekan selebriti perempuannya adalah korban, dan yang harus ditangkap adalah pihak yang menyebarkan video dewasa tersebut di dunia maya (Detik.com, 8/6/2010).

UU pornografi juga bukan hanya menjerat mereka yang memiliki latar belakang artis dan selebriti. Pada tahun 2019 lalu, Indonesia juga dihebohkan dengan tersebarnya video dewasa seorang perempuan yang melakukan hubungan seksual dengan tiga pria di dunia maya. Para pemeran di video tersebut akhirnya juga dijerat oleh Undang-Undang Pornografi (merdeka.com, 9/9/2019).

Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat memprihatinkan dan patut kita kecam. Hak privasi merupakan salah satu hak warga negara yang sangat penting untuk dijaga negara di negara demokrasi seperti Indonesia. Bila ada video pribadi seseorang yang tersebar di dunia maya, maka pihak penyebarnya tersebut yang harus dihukum dan dimasukkan ke balik jeruji besi, karena ia aksinya yang telah melanggar hak privasi seseorang dan mempermalukan orang lain di hadapan publik.

Selain itu, poin yang sangat penting untuk ditekankan adalah, bahkan dalam Undang-Undang pornografi sendiri, seseorang untuk membuat konten untuk kepentingan pribadi tidak dapat dipidana. Seseorang hanya dapat dipidana apabila konten tersebut dimaksudkan untuk disebarkan atau dikonsumsi oleh orang lain atau masyarakat secara luas.

Dalam Pasal 6 Undang-Undang Pornografi misalnya, disebutkan bahwa, “Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

Namun, bunyi pasal tersebut juga memiliki penjelasan. Dalam penjelasan Pasal 6 Udnang-Undang Pornografi, dengan jelas disebutkan bahwa, “Larangan “memiliki atau menyimpan” tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.” Maka dari itu, kriminalisasi pembuat konten dewasa yang ditujukan untuk kepentingan pribadi merupakan sesuatu yang sangat bertentangan bahkan dengan Undang-Undang Pornografi itu sendiri.

Kesalahpahaman lain yang kerap muncul ketika seseorang membahas mengenai isu pornografi adalah, mereka yang membela hak seseorang untuk membuat konten dewasa di ruang privatnya dianggap menyetujui atau membenarkan tindakan yang dilakukan oleh pembuat konten tersebut. Tidak sedikit pihak yang beranggapan, seseorang yang mengatakan bahwa seseorang yang membuat konten dewasa untuk kepentingannya sendiri tidak boleh dipidana berarti ia menganggap tindakan yang dilakukan oleh pembuat konten tersebut sebagai hal yang baik.

Pandangan dan tuduhan seperti ini tentu merupakan suatu kekeliruan yang luar biasa. Membela hak seseorang untuk melakukan sesuatu di ruang privatnya tidak sama dengan menyetujui tindakan yang dilakukan oleh orang tersebut. Hal ini sama juga dengan membela hak seseorang untuk bebas berbicara dan mengemukakan pendapat, bukan berarti kita sepakat dengan pandangan yang diutarakan orang tersebut, atau membela hak seseorang untuk bebas menganut agama dan keyakinan, bukan berarti kita mengimani agama yang diyakini oleh seseorang yang hak nya kita bela.

Bila ada seseorang yang sudah menikah, namun ia membuat konten dewasa dengan orang lain yang bukan pasangan sah nya, seperti kasus yang saat ini sedang banyak dibicarakan, Anda tetap bisa mengecam tindakan yang dilakukan oleh orang tersebut. Anda tetap bisa menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut adalah hal yang tercela. Namun, pada saat yang sama, Anda juga tetap bisa mengakui bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang berada di ruang privat orang tersebut, dan merupakan urusan orang tersebut dengan pasangannya dan keluarganya.

Sebagai penutup, negara demokrasi yang ideal adalah negara yang tidak sibuk ikut campur dalam urusan pribadi warganya. Harus ada batas yang jelas antara ranah publik dan ranah privat. Tanpa adanya batas yang jelas, maka hak privasi yang kita miliki akan mustahil dapat dilindungi. Dan bila ada seseorang yang hak privasinya dilanggar oleh orang lain, apalagi hingga dipermalukan di hadapan publik, maka pihak yang melanggar tersebut wajib diberi sanksi pidana, bukan justru mengkriminalisasi korban yang privasinya diambil paksa oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.