RESEARCH: Policy Study of Ministry Communication and Informatics Regulation on Handling Internet Websites Containing Negative Content

606
Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [3.38 MB]

Pendahuluan

Reformasi Mei 1998 telah mendorong intensnya demokratisasi di pelbagai aspek di Indonesia, termasuk penghargaan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Penguatan demokrasi di Indonesia pasca Reformasi juga ditandai adanya perubahan di peraturan perundangan-undangan terkait HAM. Beberapa diantaranya adalah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), khususnya Pasal 28 tentang HAM yang dibuat lebih rinci dibandingkan versi sebelumnya. Salah satu hal yang mendasar terkait HAM adalah kebebasan berekspresi, baik secara lisan maupun tulisan, serta dalam berbagai bentuk (tarian, buku, film, karya seni), maupun lewat berbagai platform, baik online maupun offline.

Kebebasan berekspresi merupakan hal yang fundamental, karena kebebasan berekspresi juga menjadi sarana bagi warga negara tidak hanya untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan, namun juga untuk mengembangkan diri. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, kebebasan berekspresi mendapatkan ruang yang luas untuk disalurkan. Di sisi lain, terlepas dari adanya peraturan perundang-undangan yang menghargai dan melindungi HAM warga negara di Indonesia, kita juga menyaksikan bahwa kebebasan berekspresi juga rentan untuk dibelenggu oleh pemerintah, yang seharusnya melindungi HAM warga negaranya.

Misalnya, Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah direvisi menjadi UU No. 18 Tahun 2016 yang berlaku pada 28 November 2016, ternyata juga masih dianggap bermasalah dan melanggar kebebasan berekspresi dan membatasi kebebasan berekspresi karena masih memasukkan klausul tentang pencemaran nama baik yang mengacu ke KUHP, serta rentan dengan pasal-pasal karet yang tidak melindungi kebebasan berekspresi dan rentan dengan tuntutan pidana.

Revisi UU ITE juga mencatat adanya pengurangan hukuman pidana. Misalnya, untuk kasus pencemaran nama baik, hukuman enam tahun menjadi empat tahun penjara. Sementara, untuk pelanggaran Pasal 29 tentang pengancaman dengan kekerasan, pengurangan hukuman tercatat dari 12 tahun menjadi empat tahun penjara. Revisi UU ITE juga menegaskan bahwa pasal terkait pencemaran nama baik hanya dapat digunakan untuk perkara antarpersonal (unsur orang) dan berdasarkan delik aduan bukan delik umum. Dengan demikian, kasus Florence Sihombing terkait dugaan penghinaan terhadap Kota Yogyakarta juga tidak lagi dapat terjadi karena kasusnya harus terkait dengan orang.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat setidaknya terdapat 20 kasus terkait Pasal 27 ayat (3) mengenai pencemaran nama baik dalam UU ITE yang diadili di persidangan dari periode 2009 hingga 2015. Diantaranya adalah kasus Prita Mulyasari yang dilaporkan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra, Tangerang, Banten pada tahun 2009 karena mengirimkan e-mail terkait keluhannya tentang pelayanan rumah sakit ke sejumlah rekannya. Prita sempat ditahan selama enam bulan penjara karena dianggap mencemarkan nama baik, sebelum dinyatakan tidak bersalah pada tahun 2012.

Selain itu, ada Benny Handoko alias Benhan yang divonis penjara enam bulan karena dinilai melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sementara, ada pula mereka yang lolos dari jerat pidana UU ITE, seperti Ervani Emy Handayani, Muhamad Fajrika Mirza, dan Muhammad Arsyad. ICR juga mencatat kelemahan penerapan UU ITE, karena kepolisian, jaksa, dan hakim menggunakan standar berbeda untuk para tertuduh pencemaran nama baik di internet, misalnya karena atas dasar pertimbangan objektif penyidik. Namun, dengan adanya revisi UU ITE, tersangka pencemar nama baik di internet tidak dapat ditahan hanya atas dasar pertimbangan objektif penyidik.

Lebih jauh, berdasarkan catatan Setara Institute, dengan semakin terbukanya informasi, kasus-kasus penistaan agama semakin meningkat. Berdasarkan hasil penelitian Setara Institute, 88 kasus penistaan agama dari 97 kasus yang terjadi dari tahun 1965 hingga tahun 2017, terjadi setelah masa reformasi. Kasus dominan yang terjadi dalam 88 kasus tersebut terkait dengan polemic pemahaman agama, polemic kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta polemic gerakan ajaran agama baru. Penelitian Setara Institute juga menunjukkan bahwa, meningkatnya kasus penistaan agama juga tidak lepas dari penggunaan isu agama oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai kepentingan politik dengan desain penyeragaman atas nama agama. Selain itu, agama juga dinilai paling mudah digunakan sebagai unsur untuk membangun kekuatan baru.

Berdasarkan catatan di atas, dapat dilihat bahwa di satu sisi, peraturan perundangan-undangan yang ada memiliki dua sisi mata uang. Di satu sisi, pemerintah menjamin kebebasan berekspresi, seperti yang termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945. Namun, di sisi yang lain, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga membelenggu kebebasan berpendapat dan berekspresi lewat pasal-pasal karet dan interpretasi UU ITE yang masih mengekor kepada KUHP. Yang terjadi adalah UU ITE membuat warga negara Indonesia menjadi harus lebih berhati-hati dalam berekspresi (berpendapat dan berbagi informasi) terutama di ranah media sosial.

Makalah kebijakan ini berupaya untuk menganalisis kebebasan berekspresi di Indonesia, khususnya di Internet, dengan melihat peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait. Makalah ini akan membatasi analisis kebijakan dengan fokus pada studi kasus tentang kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) tentang pelarangan situs-situs yang dianggap memiliki muatan SARA dan negatif.

Berdasarkan temuan dan analisis yang kami lakukan, makalah kebijakan ini juga akan mengajukan beberapa rekomendasi kebijakan yang dinilai penting dan perlu untuk memastikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan mendorong kebijakan yang sadar dan peka akan pentingnya HAM dan kebebasan berekspresi. Secara khusus, makalah kebijakan ini akan memberikan rekomendasi kebijakan yang relevan untuk Kominfo berdasarkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi), serta wewenangnya.

Kami akan memulai makalah kebijakan ini dengan menginformasikan fokus makalah kebijakan yang kami buat dan metodologi yang kami gunakan. Bagian selanjutnya memaparkan konteks kebijakan di Indonesia terkait kebebasan berekspresi, baik dari peraturan perundang-undangan yang mendukung maupun membatasi kebebasan berekspresi di Indonesia. Bagian ini kemudian diikuti oleh beberapa kasus terkait pelanggaran kebebasan berekspresi yang kami kaitkan dengan kebijakan publik yang ada, dimana kami kemudian akan fokus pada kebijakan Kominfo terkait kebebasan berekspresi di Internet.

Paparan konteks kebijakan dan kasus ini akan kami lengkapi dengan analisis kebijakan yang mendorong perlindungan kebebasan berekspresi di Internet dengan menekankan pentingnya perspektif HAM dan mempertimbangkan pemetaan beragam para pemangku kepentingan, khususnya Kominfo beserta tupoksi dan wewenangnya. Kami menutup makalah ini dengan memberikan rekomendasi kebijakan kepada Kominfo terkait kebebasan berekspresi di Internet, sebagai salah satu pintu untuk mendorong promosi dan perlindungan kebebasan berekspresi di Indonesia dalam konteks yang lebih luas.