Emmanuel Macron dan Islam Damai

    381

    Pada 16 Oktober 2020, Prancis kembali dilanda serangan teror yang mengejutkan dunia. Seorang guru sekolah bernama Samuel Paty, dibunuh dan dipenggal oleh seorang ekstrimis kelahiran Chechnya, di wilayah Yvelines di pinggiran kota Paris. Pembunuhan dan pemenggalan tersebut dilatarbelakangi dengan dugaan bahwa, di salah satu kelasnya mengenai kebebasan berekspresi, Paty menunjukkan gambar karikatur Nabi Muhammad yang dipublikasikan oleh Charlie Hebdo kepada murid-muridnya.

    Serangan teror terhadap Samuel Paty bukan merupakan serangan teror pertama dari kaum keagamaan ekstrimis yang dialami oleh Prancis dalam beberapa tahun terakhir. Masih segar di ingatan kita tentunya, serangan teror yang dilakukan oleh simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) terhadap kantor majalah Charlie Hebdo di kota Paris pada bulan Januari tahun 2015 lalu, yang menghilangkan nyawa 12 jiwa (BBC, 14/1/2015).

    Pembunuhan dan pemenggalan tersebut sontak mendatangkan duka sekaligus kecaman dari seluruh Prancis dan banyak negara. Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menyatakan bahwa ia membela hak setiap warga Prancis untuk bebas berekspresi, dan berjanji untuk melawan segala bentuk radikalisme dan ekstrimisme agama (euronews.com, 10/11/2020).

    Tidak hanya itu, dalam salah satu wawancaranya, Presiden Prancis tersebut mengatakan bahwa agama Islam saat ini adalah agama yang tengah dilanda krisis (euronews.com, 2/11/2020). Pernyataan dari Macron tersebut, ditambah dengan pembelaannya terhadap hak warga Prancis untuk membuat karikatur apapun, sontak membakar amarah jutaan warga di negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim.

    Ribuan warga Muslim di berbagai negara, seperti Bangladesh, Pakistan, dan juga Indonesia, menggelar demontrasi besar untuk memprotes dan mengecam pernyataan yang dikeluarkan oleh Macron tersebut. Tidak sedikit pula orang-orang yang mengkampanyekan untuk memboikot produk-produk yang dibuat oleh berbagai perusahaan asal Prancis.

    Tidak tanggung-tanggung, protes dan kecaman terhadap Macron juga diungkapkan oleh berbagai pemimpin negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim. Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan, misalnya, melalui account Twitternya mengungkapkan bahwa pernyataan yang diucapkan oleh Macron tersebut membuat polarisasi (dw.com, 25/10/2020). Selain itu, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa Macron membutuhkan “cek mental” karena pernyataannya tersebut (france24.com, 24/10/2020).

    Kritik dan protes terhadap Emmanuel Macron juga tidak hanya datang dari para pemimpin luar negeri, namun juga Presiden Indonesia, Joko Widodo. Dalam salah satu konferensi pers-nya bulan Oktober lalu, Presiden Jokowi menyatakan bahwa Indonesia mengencam keras pernyataan Presiden Prancis yang dianggap menghina agama Islam dan melukai perasaan umat Muslim di seluruh dunia (31/10/2020).

    Terkait dengan pernyataan Macron tersebut, sangat penting untuk digarisbawahi bahwa, Macron sama sekali tidak pernah mendorong atau mendukung publikasi gambar atau karikatur Nabi Muhammad. Macron dalam hal ini tidak lebih dari bertindak sebagai Presiden Prancis yang memiliki kewajiban untuk menjaga hak-hak dasar warga negaranya, salah satunya adalah hak kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi.

    Prancis, berbeda dengan negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim pada umumnya, memang merupakan negara yang menjunjung tinggi kebebasan berbicara dan berekspresi. Hal ini termasuk juga kebebasan untuk mengeluarkan kritik dan satire terhadap ideologi, pemikiran, gagasan, dan agama apapun, tidak hanya agama Islam.

    Kritik dan satire terhadap agama dan kepercayaan memiliki tradisi yang sangat kuat dalam literatur Prancis. Salah satu filsuf dan penulis terbesar asal Prancis, Voltaire, misalnya, yang hidup pada era Pencerahan di abad ke-18, dikenal sebagai salah satu tokoh yang gemar menuliskan kritik dan satire terhadap agama, khususnya Gereja Katolik (freeforall.org, 4/7/2019).

    Mengenai pernyataan Macron bahwa Islam saat ini adalah agama yang sedang mengalami krisis, saya tidak ingin berkomentar banyak mengenai hal tersebut. Saya bukan seorang pakar dan tidak pernah mempelajari mengenai studi agama Islam kontemporer.

    Namun, bila kita melihat penelitian mengenai kebebasan politik dan hak-hak sipil, tidak bisa kita tolak bahwa negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim banyak yang berada di posisi terbawah. Berdasarkan indeks Global Gender Gap yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF) misalnya, dari 153 negara, 17 dari 20 negara di posisi terbawah adalah negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim. Negara-negara tersebut adalah Yaman, Irak, Pakistan, Suriah, Iran, Chad, Arab Saudi, Lebanon, Oman, Maroko, Mauritania, Mali, Yordania, Tajikistan, Qatar, Mesir, dan Bahrain (World Economic Forum, 2020).

    Bila kita ingin menunjukkan bahwa pernyataan yang diungkapkan oleh Macron mengenai Islam adalah agama yang saat ini sedang mengalami krisis tidak tepat, maka cara terbaik yang bisa kita lakukan adalah bukan melalui tindakan demonstrasi, kecaman, hingga boikot. Langkah terbaik untuk menunjukkan Macron salah adalah dengan memastikan bahwa di negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim, demokrasi dapat berjalan dengan baik, perempuan memiliki hak setara, penganut agama minoritas memiliki kebebasan untuk beribadah, serta hak-hak dasar warga negara dilindungi dan dijunjung tinggi oleh pemerintah.

    Pakistan misalnya, merupakan salah satu negara yang selalu berada di posisi terbawah terkait dengan kebebasan politik dan kesetaraan gender. Kelompok-kelompok keagamaan minoritas, seperti umat Hindu dan Sikh misalnya, juga aliran-aliran minoritas seperti penganut Ahmadiyah, kerap mendapat diskriminasi dan tindakan kekerasan dari kelompok ekstrimis. Intoleransi tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun (The Nations, 30/5/2018).

    Kekerasan, baik kekerasan fisik maupun seksual, terhadap perempuan juga terus meningkat dari tahun ke tahun di Pakistan. Berdasarkan indeks Global Gender Gap tahun 2018, Pakistan merupakan negara nomor 6 yang paling berbahaya bagi perempuan (europarl.europa.eu, 12/4/2020).

    Di Indonesia sendiri, meskipun negara kita jauh lebih baik dari Pakistan, namun bukan berarti permasalahan intolerasi dan kekerasan atas nama agama menjadi hilang. Kasus-kasus penolakan pembangunan rumah ibadah bagi kelompok keagamaan minoritas, seperti Gereja, misalnya, merupakan hal yang dapat dengan mudah kita temui di berbagai wilayah di Indonesia.

    Bila para pemimpin negara-negara mayoritas Muslim, seperti Presiden Jokowi atau Perdana Menteri Pakistan Imran Khan, ingin membuktikan bahwa Macron salah misalnya, maka langkah yang dilakukan bukan melalui cara kecam mengecam. Lebih baik, para pemimpin Muslim tersebut menggunakan waktu dan tenaga mereka untuk memperbaiki toleransi dan berupaya untuk menjunjung tinggi hak-hak dasar warganya di negara mereka masing-masing.

    Kalau saja, di negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim, intoleransi dapat berkurang dengan drastis, kelompok keagamaan minoritas dijaga hak-hak dasarnya, nilai-nilai kemanusiaan dijujung tinggi, dan perempuan tidak dijadikan sebagai warga kelas dua, maka kita tidak perlu mengecam hingga mengungkapkan kemarahan untuk membuktikan bahwa apa yang diucapkan Macron itu salah. Kita dengan mudah tinggal menunjukkan kepada Presiden Prancis tersebut, bahwa apa yang ia katakan bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi di negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim.

    Mudah-mudahan, di waktu yang akan datang, kita dapat mencapai hal tersebut.

     

    Referensi

    https://www.bbc.com/news/world-europe-30708237 Diakses pada 2 Desember 2020, pukul 21.10 WIB.

    https://www.euronews.com/2020/11/10/european-leaders-lay-out-fresh-plans-to-fight-religious-extremism Diakses pada 2 Desember 2020, pukul 22.05 WIB.

    https://www.euronews.com/2020/11/02/macron-and-islam-what-has-the-french-president-actually-said-to-outrage-the-muslim-world Diakses pada 2 Desember 2020, pukul 22.40 WIB.

    https://www.dw.com/en/pakistans-imran-khan-slams-french-president-macrons-views-on-islam/a-55394035 Diakses pada 2 Desember 2020, pukul 23.30 WIB.

    https://www.france24.com/en/live-news/20201024-erdogan-tells-macron-to-undergo-mental-checks Diakses pada 2 Desember 2020, pukul 23.55 WIB.

    https://www.freeforall.org/voltaires-criticisms-of-the-roman-catholic-church/#:~:text=Voltaire%20was%20angry%20about%20the,prevalent%20in%20the%20Catholic%20Church.&text=However%2C%20Voltaire%20dismissed%20this%20claim,wealthiest%20religion%20at%20the%20time. Diakses pada 3 Desember 2020, pukul 00.45 WIB.

    http://www3.weforum.org/docs/WEF_GGGR_2020.pdf Diakses pada 3 Desember 2020, pukul 01.35 WIB.

    https://nation.com.pk/30-May-2018/religious-intolerance-towards-minorities-increasing-in-pakistan-uncirf Diakses pada 3 Desember 2020, pukul 02.20 WIB.

    https://www.europarl.europa.eu/doceo/document/E-9-2020-001583_EN.html Diakses pada 3 Desember 2020, pukul 02.55 WIB.