Eksploitasi Hak Kebebasan yang Menghajar Industri K-Pop

    878

    Sejak saya mencari tahu tentang illuminati saat masih ingusan, saat itu juga saya kenal dengan Girl’s Generation karena kontroversi Yoona dengan one eye-nya di MV I Got A Boy. Mendengarkan dan menonton musik-musik khas Korea dengan tampilan dance mereka yang menyala-nyala menjadi rutinitas sehari-hari yang membuat saya lupa dunia sekitar.

    Pukul 1 siang hari, hari Jumat pada pertengahan bulan Oktober 2019, saya menyenderkan punggung di tembok kamar tidur sambil sesekali bergumam sendiri mengikuti alunan lagu yang didengar. Beberapa menit kemudian, saya sontak terkejut melihat kabar idola favorit saya sudah meninggal dunia.

    Dunia K-pop baru-baru ini kembali dirundung duka oleh kasus Sulli, ex member f(x), yang ditemukan meninggal di apartemennya karena bunuh diri. Berbagai spekulasi penyebab meninggalnya Sulli pun muncul. Namun, dugaan terkuat saat itu adalah depresi. Dan, benar saja, depresi yang membuat Sulli memutuskan untuk merenggang nyawanya.

    Banyak publik yang menyayangkan tindakan Sulli tersebut karena usianya masih sangat muda. Ada yang prihatin, bahkan sampai ada yang menyalahkan agensi yang menaungi artis tersebut, SM Entertainment. Pemakamannya dilaksanakan tertutup, hanya dihadiri rekan-rekan terdekat, agensi, dan keluarga.

    Choi Jin-ri, nama asli Sulli, adalah yang paling menonjol dari girl group f(x) selain Krystal Jung. Usai hengkang dari f(x) tahun 2015, Sulli merintis karir solo. Ia baru sungguh-sungguh kembali ke dunia tarik suara pada tahun ini dengan single barunya yang bertajuk “Goblin”.

    Selama beberapa tahun terakhir, nama Sulli kerap dikenal sebagai perempuan yang vokal dalam hal kesehatan jiwa, hak-hak perempuan, dan perundungan siber sehingga menjadi sasaran bullying di kalangan netizen Korea. Alasan dibalik itu semua sebenarnya tidak lepas dari pandangan feminisnya yang tegas, kehidupan pribadi (terutama saat berpacaran dengan Choiza), hingga kariernya.

    Masalah pertama adalah status pacaran dengan Choiza saat itu, namun mereka sudah lama putus. Artis K-pop sebenarnya dituntut untuk selalu menjaga citra bersih di depan fans-nya agar penjualan album, lagu baru, dan konsernya tetap memiliki nilai pasar di industri Korea Selatan. Agensi-agensi artis di sana beranggapan kalau artisnya tersandung suatu kasus, pastilah penurunan pemasukan terjadi dan tentu merugikan.

    Kedua, Sulli juga dikenal karena pandangan feminisnya yang sangat transparan ditunjukkan kepada masyarakat. Mulai dari ia kerap tampil depan umum tanpa memakai bra dan mendukung pemerintah mencabut larangan aborsi. Topik ini memiliki tingkat sensitif yang tinggi karena masyarakat di Negeri Ginseng yang masih sangat kental dengan konservatifnya.

    Tak heran, statement-statement-nya ditentang habis-habisan karena dianggap aneh, dan sangat erat dengan budaya Barat. Alhasil, komentar-komentar jahat mulai bertebaran di laman medsos Sulli sendiri. Ia pernah beberapa kali mengungkapkan kesedihannya dan sempat mengaku takut dan depresi.

    Trolling merupakan istilah untuk menyebut komentar-komentar jahat yang dilontarkan pada selebriti. Psikolog menyebut trolling di Internet terjadi karena online disinhibition effect, dimana faktor seperti anonimitas, minimnya otoritas, dan tak harus bertemu seseorang melahirkan budaya kebencian. Seseorang bisa saja berkomentar semaunya, memaki, menghina, dan tidak punya adab (tirto.id, 15/10/2019).

    Kepuasan karena komentar kasar di Internet ini sesederhana karena ia ingin merasa superior atau mendapati orang yang dihina takut. Tidak dipungkiri lagi kalau memang itu manjur. Lihat saja, sebelum Sulli, ada Ahn Sojin dari Baby Kara, dan Jonghyun Shinee yang juga bunuh diri karena depresi. Seharusnya, masyarakat belajar dari kasus Jonghyun. Sayangnya, mereka malah menghasilkan kasus baru yang serupa.

    Dengan adanya intimidasi online ini, dapat dikatakan kalau sebenarnya artis tidak diberikan kebebasan untuk berekspresi dengan sepenuhnya. Dari dalam, mereka ditekan oleh tuntutan agensi, fans, tampil sempurna sesuai yang orang lain mau tanpa memikirkan keinginan mereka sendiri. Berat badan, akses ke dunia luar, penampilan dikendalikan penuh  ketat oleh manajemen.

    Jelas bahwa praktik internal dalam industri musik Korea Selatan memelihara kultur mengerikan ini.  Dapat dilihat dari sistem setiap agensi dari dulu sampai saat ini yang masih sama dengan bootcamp training idol yang bisa memakan waktu 2-10 tahun, pengawasan ketat artis oleh agensi, dan segala aturan yang agensi dengan mudah bisa masuk dalam privatisasi artisnya (cnbcindonesia.com, 19/10/2019).

    Persoalannya terjadi seperti lingkaran setan yang tak ada ujungnya. Dengan begini, bisa dikatakan Korea Selatan melanggengkan lahan basah eksploitasi dan perbudakan terhadap artis-artisnya.

    Hal ini diperparah oleh masalah royalti yang diterima. Pembagian pemasukan oleh agensi kepada artis kadang tidak adil. Mayoritas pendapatan dipaksa untuk dicaplok oleh agensi yang menaungi (merahputih.com, 28/2/2019). Guna mendapat keuntungan banyak, manajemen menjadikan artis mereka sebagai ‘sekrup-sekrup kapitalis’-nya mereka.

    Dalam hal ini, kapitalisme jelas bukan seperti apa yang dijelaskan di atas. Cita-cita kapitalisme menekankan sistem produktivitas modal, kepemilikan hak individu, dan pasar bebas. Tentu, eksploitasi bukan bagian dari nature kapitalisme karena ide ini bersifat pertukaran sukarela dan siapa saja bisa masuk-keluar tanpa paksaan.

    Jika Sulli dibiarkan dengan ide-ide feminisnya untuk Korea yang lebih progresif, gaya pribadinya bebas diekspresikan, kapitalisme baru bekerja di sana. Siapapun yang tidak setuju dengan pandangan Sulli sebenarnya boleh saja mengadu dengan ide lain. Bukan malah menyerang dengan komentar jahat yang membuat siapapun sasarannya menjadi depresi, dan bahkan sampai bunuh diri.

    Kematian Sulli serta beberapa idol lainnya bukanlah insiden terisolir. Mereka dihabisi oleh kultur eksploitasi dan perisakan yang tak mengindahkan kemanusiaan. Dalam industri musik K-pop yang mendorong para penyanyinya untuk bungkam di luar panggung, Sulli adalah seorang pemberotak yang patut dikenang karena berani melanggar tabu yang selama ini tidak disentil siapapun di Korea sana.

    Bahwa ia akhirnya dikalahkan oleh ekses-ekses budaya tersebut adalah tragedi sesungguhnya. Sudah sepatutnya tragedi seperti ini juga menjadi pemantik percakapan serius tentang mental idola-idola di sana, bisnis K-pop yang eksploitatif, serta cyber-bullying yang semakin menjadi-jadi.

    Meski terlanjur dengan konservatifme mereka, harus ada seorang progresif yang berani bertindak. Bila berkelanjutan seperti ini, tidak heran bila seorang demi seorang lagi akan mengalami nasib yang sama.

    Referensi

    CNBC Indonesia. “Sulli F(x) Bunuh Diri, Netizen Julid & Kejamnya Industri Kpop”. 19 Oktober 2019. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20191019172434-4-108342/sulli-f-x–bunuh-diri-netizen-julid-kejamnya-industri-kpop, pada 21 Oktober 2019.

    merahputih.com. “Intip Pembagian Penghasilan antara Selebriti Korea dengan Agensi”.  28 Februari 2019. Diakses dari https://merahputih.com/post/read/intip-pembagian-penghasilan-antara-selebriti-korea-dengan-agensi, pada 21 Oktober 2019.

    tirto.id. “Kematian Sulli eks f(x) & Racun Cyber Bullying di Medsos”. 15 Oktober 2019. https://tirto.id/kematian-sulli-eks-fx-racun-cyber-bullying-di-medsos-ejKS. Diakses pada 21 Oktober 2019.