Efek Teori Konspirasi Pada Pola Pikir Manusia

    1277

    Rasanya, tak ada habis-habisnya topik bila membahas mengenai virus Covid-19 yang sedang mewabah ini. Belakangan ini, saya sedikit tertarik membaca konspirasi tentang virus Corona ini, baik yang ditampilkan di Youtube ataupun artikel-artikel yang menggunakan judul clickbait.

    Jika mengacu kepada Oxford English Dictionary, teori konspirasi dideskripsikan sebagai “suatu teori, bahwa kejadian atau gejala timbul sebagai hasil konspirasi antara pihak-pihak yang berkepentingan, dan adanya suatu lembaga yang bertanggung jawab atas kejadian yang tak bisa dijelaskan.”

    Adapun berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata konspirasi memiliki arti persekongkolan atau komplotan orang dalam merencanakan sebuah kejahatan yang dilakukan dengan rapi dan sangat dirahasiakan. Pelaku konspirasi disebut dengan konspirator. Sebab sifat pengerjaannya yang mulus dan rahasia, maka sulit untuk membuktikan konspirasi dan hanya berujung desas-desus. Ketidakmampuan menjawab inilah yang disebut sebagai teori konspirasi.

    Di Indonesia, teori konspirasi semacam itu sangat diminati oleh banyak orang. Membaca hal-hal yang terkesan “misterius” seperti itu, tak ayal membuat diri kita tertantang untuk berlomba-lomba mengetahui fakta dibaliknya.

    Beberapa teori konspirasi yang terkenal, diantaranya adalah Neil Amstrong dan Buzz Aldrin tak pernah mendarat di bulan, Michael Jackson memalsukan kematiannya, dan bumi itu sebenarnya datar. Teori-teori konspirasi tersebut tidak sedikit yang cukup menggemparkan dunia, dan membuat rumor-rumor yang efeknya menjalar kemana-mana.

    Tidak perlu menengok ke belakang terlalu jauh, mari kita lihat pada kasus yang kali ini terjadi. Teori konspirasi seperti virus Corona berasal dari Amerika Serikat dan virus Corona merupakan senjata biologis yang dibuat para elit untuk mengurangi populasi bumi merupakan teori-teori konspirasi yang akhir-akhir ini banyak bermunculan, seiring merebaknya virus Corona.

    Semua hal tersebut dijelaskan begitu rinci, dengan gaya hiperbolis dan ekspresi persuasif, yang tentunya dilakukan dengan begitu ekspresif. Teori konspirasi tersebut sukses membuat saya tergerak untuk menelusurinya lebih lanjut. Mulai dari membaca artikel ilmiah mengenai virus Corona sampai mendengar penjelasan pakar-pakar yang ahli di bidang tersebut.

    Saya sendiri memiliki sikap skeptis terhadap beberapa teori konspirasi yang terdengar sangat tidak masuk akal. Di tengah-tengah rasa penasaran saya, saya pun bertanya-tanya, kenapa kemudian banyak orang percaya pada teori konspirasi?

    Teori konspirasi ini mungkin terdengar meyakinkan karena banyak hal. Bisa jadi, karena fakta yang terpapar ke publik terombang-ambing dan tidak disampaikan dengan jelas. Bisa juga karena ada sebagian anggota masyarakat yang tidak mampu bernalar dengan baik, sehingga mereka menggunakan jalan pintas untuk mengambil kesimpulan.

    Tan Malaka sendiri pernah membahas hal ini di bukunya yang berjudul “Madilog”. Beliau mengatakan cara pandang bangsa Indonesia dulu yang telah menyebabkan negara ini sempat tertinggal dibanding negara-negara di Asia lainnya. Cara pandang ini, disebut-sebut oleh Tan Malaka sebagai logika mistika. Logika ini melumpuhkan karena ketimbang menangani sendiri permasalahan yang dihadapi, rakyat lebih mengharapkan kekuatan narasi gaib dan mistik yang lebih mudah dicerna pikiran.

    JIka diteruskan, hal ini tentu akan berdampak pada kemampuan berpikir manusia Indonesia kedepannya. Teori konspirasi, logika mistik, dan sebagainya memiliki efek yang besar pada pola pikir manusia.

    Seperti biasa, saya ingin menutup tulisan dengan kutipan menarik dari sejarawan ternama Yuval Noah Harari: “Hari-hari mendatang, kita masing-masing harus memilih mempercayai data ilmiah dan ahli kesehatan, ketimbang teori konspirasi yang tidak berdasar dan politisi yang mementingkan diri sendiri.”