Pada tanggal 1 juli lalu, Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk produk-produk dan konten-konten digital yang dapat diakses di Indonesia. Jumlah PPN yang dikenakan tersebut adalah 10%, dan dikenakan kepada berbagai perusahaan digital dari luar negeri. Salah satunya adalah penyedia jasa layanan streaming asal Amerika Serikat, Netfilx.
Dikutip dari Tempo.co, pemerintah mematok target yang akan didapatkan dari PPN produk-produk digital sebesar 10 triliun rupiah. Beberapa kategori yang akan dikenakan pajak diantaranya adalah perangkat lunak, media sosial, hak siaran, aplikasi, penjualan film, video game, video, dan musik (Tempo.co, 11/06/2020).
Kebijakan ini pun juga menimbulkan pro dan kontra. Mereka yang mendukung PPN untuk produk-produk digital, umumnya mengatakan angka 10 triliun rupiah bukan angka yang kecil. Berbagai perusahaan digital dari luar negeri, seperti Netflix, sudah mengambil keuntungan dari banyak pengguna dan konsumen di Indonesia. Untuk itu, mereka yang menyetujui kebijakan tersebut mengatakan bahwa sudah seharusnya produk-produk dari perusahaan-perusahaan besar digital tersebut dikenakan pajak untuk mendukung pembangunan di Indonesia.
Pandangan ini mungkin terlihat agak meyakinkan. Tidak bisa dibantah bahwa perusahaan-perusahaan digital dari luar negeri telah mendapat pemasukan dan pasar yang sangat besar di Indonesia. Namun, apakah berarti kebijakan PPN yang dikenakan kepada perusahaan-perusahaan tersebut adalah sesuatu yang tepat?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita melihat dulu apakah yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN, atau yang juga dikenal dengan value-added tax (VAT), merupakan pajak yang dikenakan dalam bentuk pertambahan nilai dari barang atau jasa yang dikonsumsi oleh konsumen.
PPN sendiri merupakan salah satu jenis pajak yang termasuk dalam kategori pajak konsumsi (consumption tax). Pajak konsumsi sendiri merupakan pajak yang dikenakan terhadap pengeluaran konsumsi barang atau jasa tertentu. Pajak konsumsi lain yang umum diberlakukan selain PPN adalah Pajak Penjualan (sales tax), dan juga Pajak Cukai (excise tax). Untuk pajak cukai umumnya dikenakan terhadap produk-produk tertentu yang dianggap membawa dampak negatif terhadap publik, seperti minuman beralkohol dan produk-produk tembakau.
Kebijakan pajak konsumsi, termasuk PPN, yang dikenakan oleh pemerintah terhadap produk-produk tertentu hampir selalu direspon oleh para produsen dan perusahaan dengan menaikkan harga dari produk yang mereka jual, untuk menutupi pajak yang dibayarkan kepada negara. Hal yang sama juga berlaku bagi PPN untuk produk-produk digital, yang dikenakan pada awal bulan Juli lalu.
PPN yang dikenakan terhadap Netflix misalnya, membuat perusahaan penyedia layanan streaming tersebut harus menaikkan harga layanan yang mereka kenakan untuk konsumen mereka di Indonesia. Berlaku pada bulan September 2020 nanti, paket ponsel yang semula Rp43.000 naik menjadi Rp54.000. Hal yang sama juga berlaku untuk paket-paket lainnya, seperti paket dasar dari Rp109.000 menjadi Rp 120.000, paket standar dari Rp139.000 menjadi Rp153.000, dan paket premium dari Rp169.000 menjadi Rp186.000 (CNN Indonesia, 04/08/2020).
Dalam praktiknya, seluruh pajak konsumen, termasuk PPN, hampir selalu dikenakan dan dibebankan kepada konsumen yang mengkonsumsi produk-produk tersebut. Oleh karena itu, anggapan bahwa melalui PPN negara akan mendapatkan pemasukan dari perusahaan-perusahaan digital tersebut adalah sebuah kesalahpahaman yang sangat besar.
Masyarakat Indonesia-lah yang akan menjadi pihak yang dibebankan dari pemberlakuan kebijakan pajak digital tersebut. Mungkin bagi sebagian kalangan, PPN yang dikenakan untuk layanan Netflix masih tergolong kecil. Namun, yang jangan sampai dilupakan adalah PPN ini juga bukan hanya terbatas dikenakan untuk layanan-layanan streaming. Besar kemungkinan PPN digital juga dikenakan untuk produk-produk lain dengan harga layanan yang sangat tinggi.
Untuk produk-produk efek visual misalnya, layanan seperti produk-produk seperti AutoCAD bisa mengenakan biaya layanan hingga jutaan rupiah per bulan bagi para konsumennya. Belum lagi software-software esensial seperti Microsoft Office yang memiliki harga sangat tinggi hingga jutaan rupiah. Tidak mustahil PPN ini akan berpotensi meningkatkan pembajakan produk-produk digital karena membuat harganya semakin meningkat, dan membebankan konsumen dan para pekerja yang sangat membutuhkan berbagai produk dan layanan tersebut.
Inilah kenapa sangat penting bagi kita untuk selalu menunjukkan sikap kritis terhadap berbagai pajak yang dikenakan terhadap konsumen, apalagi yang dengan dalih pajak perusahaan, seperti PPN. Jangan sampai karena keinginan dan ambisi kita untuk menuntut kontribusi kepada perusahaan-perusahaan besar digital yang telah mengambil banyak pemasukan dari Indonesia dalam bentuk pajak, yang juga sebagian besar berasal dari luar negeri, justru berakhir dengan menambah beban masyarakat Indonesia dengan meningkatkan harga produk-produk yang mereka konsumsi dan gunakan untuk pekerjaan mereka sehari-hari.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.