Pelarangan Indomaret dan Alfamart di Padang. Pembubaran paksa diskusi Irshad Manji di Komunitas Salihara. Adanya pembatasan impor daging dalam bentuk kuota di Indonesia. Pemberedelan buku yang dianggap kiri yang terjadi di berbagai daerah.
Bagi sebagian pembaca, mungkin keempat kasus yang saya angkat diatas tersebut tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Kasus-kasus tersebut merupakan sesuatu yang berbeda dan tidak bisa disamakan. Bagaimana kita bisa mensejajarkan pelarangan Indomaret dan Alfamart dengan pemberedelan buku kiri? Atau pembubaran paksa diskusi dengan pembatasan impor daging?
Namun, pada dasarnya, ada kemiripan yang sangat kuat dari kasus-kasus yang saya cantumkan di atas, yakni bahwa hal tersebut merupakan perwujudan nyata dari banyaknya warga Indonesia yang sangat takut terhadap kebebasan.
Kebebasan merupakan suatu kata yang memiliki stigma sangat negatif bagi sebagian masyarakat di tanah air. Ia dimaknai oleh kalangan tertentu sebagai jargon yang memberi legitimasi terhadap sikap ketidakpedulian akan aturan hingga perilaku semena-mena tanpa batasan apapun.
Oleh karena itu, bagi kalangan ini, kebebasan harus dijinakkan. Hal tersebut dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari hukum positif, hingga melalui “norma sosial” yang dipaksakan oleh masyarakat.
Kebebasan seorang pengusaha untuk menjalankan usahanya harus dijinakkan melalui berbagai regulasi, seperti dimana mereka dapat berjualan, barang apa yang boleh ditawarkan kepada konsumen, hingga harga yang boleh mereka cantumkan untuk produk yang dijualnya. Pelaku usaha yang tidak mengikuti regulasi tersebut akan terancam dicabut izin usahanya, denda yang sangat tinggi, hingga dikurung dibalik jeruji besi
Kebebasan seorang penulis buku untuk menuangkan pikirannya harus dijinakkan melalui batasan “norma sosial” yang dipaksa oleh sebagian anggota masyarakat, seperti topik apa yang dapat mereka tulis, hingga dimana mereka dapat mengadakan acara untuk mendiskusikan karya yang mereka buat. Penulis yang menolak pemaksaan norma tersebut akan menghadapi ancaman pemberedelan, kekerasan fisik, hingga kehilangan nyawa.
Sangat banyak contoh kasus perampasan kebebasan seseorang yang terjadi di Indonesia, jauh lebih banyak dari kejadian yang saya tulis di paragraf pertama. Ada yang dilakukan secara langsung oleh negara, namun tak sedikit pula yang dilakukan oleh kelompok sipil.
Bila kita melihat kejadian tersebut, seringkali pada saat yang sama kita juga dihadapkan dengan sikap tak acuh yang ditunjukkan oleh sebagian besar anggota masyarakat. Memang, kita dengan mudah dapat menemukan sikap keberatan hingga protes, baik di media massa ataupun media sosial yang dilakukan oleh berbagai pihak dari berbagai latar belakang, seperti aktivis sosial, akademisi, dan jurnalis, dalam merespon kejadian tersebut. Namun, ada jauh lebih banyak orang-orang yang memilih sikap diam tak bersuara ketika dihadapkan dengan fenomena tersebut.
Lagipula, mengapa orang-orang tersebut harus menunjukkan sikap keberatan atas kasus-kasus seperti pemberedelan buku hingga larangan usaha terhadap pihak tertentu? Bukankah dalam kasus tersebut hanya para penulis dan pelaku usaha yang kebebasannya dirampas? Bukankah kasus tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebebasan anggota masyarakat lainnya?
*****
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, izinkan saya menuliskan ilustrasi sederhana. Bayangkan bila di dekat rumah Anda ada sebuah toko, yang bernama Toko Dian. Di toko tersebut, Anda dengan mudah dapat menemukan kebutuhan Anda, seperti bahan makanan, peralatan rumah tangga, dan sebagainya. Sudah bertahun-tahun Anda terbiasa untuk berbelanja di toko tersebut, dan menganggap itu merupakan pilihan yang terbaik mengingat jarak toko tersebut yang tidak jauh dari rumah Anda, serta harga yang Anda pikir masih masuk akal.
Akan tetapi, suatu hari berdiri sebuat toko baru tepat di sebelah Toko Dian bernama Toko Ani, yang menjual jenis barang-barang yang sama dengan Toko Dian, seperti bahan makanan dan peralatan rumah tangga. Namun Toko Ani menjual barang-barang tersebut dengan lebih murah, variasi yang lebih beragam, serta suasana toko yang lebih membuat Anda nyaman untuk berbelanja.
Lantas tentu saja Anda dan konsumen lain yang sebelumnya terbiasa berbelanja di Toko Dian beralih ke Toko Ani. Anda pun akhirnya mampu mendapatkan barang-barang yang lebih banyak dengan jumlah uang yang lebih sedikit, dan Anda mendapat kesempatan untuk lebih banyak menabungkan uang Anda. Karena variasi yang beragam, Anda dan konsumen lain juga mendapat kesempatan untuk mencoba berbagai produk baru yang selama ini tidak bisa didapatkan di Toko Ani.
Keberhasilan strategi bisnis Toko Ani ternyata membuahkan hasil, dan toko tersebut membuka berbagai cabang di kota Anda. Keberhasilan Toko Ani merambah pasar tentu merupakan kabar buruk bagi Toko Dian dan toko-toko lainnya yang sebelumnya dapat dengan mudah mendapat penghasilan yang tinggi. Pemilik Toko Dian dan toko-toko lain di kota Anda akhirnya melakukan protes dan menntut pemerintah kota untuk melarang Toko Ani beroperasi.
Singkat cerita, pemerintah kota tempat Anda tinggal pun akhirnya menyetujui tuntutan dari para pemilik toko yang pendapatannya berkurang drastis dengan hadirnya Toko Ani, dan mengambil langkah melarang Toko Ani untuk beroperasi serta menutup semua cabangnya.
Dari ilustrasi di atas, kebebasan siapakah yang tercederai? Sudah tentu kebebasan pemilik Toko Ani untuk melakukan usaha dan turut terlibat dalam kegiatan ekonomi telah dirampas oleh pemerintah kota, akan tetapi, bukankah kebebasan memilih Anda dan ribuan konsumen lain untuk memilih produk yang mereka inginkan juga telah direnggut?
Inilah sudut pandang yang seringkali luput dari sebagian besar kita ketika melihat kasus-kasus pelanggaran kebebasan terhadap pihak-pihak tertentu, baik kebebasan melakukan usaha ataupun kebebasan berbicara. Kita merasa bahwa hal tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan diri kita, sehingga sikap tak acuh seakan merupakan respon yang tepat dan masuk akal.
Kita jarang melihat bahwa kebebasan orang lain merupakan hal yang melekat erat dengan kebebasan diri kita sendiri. Ibarat dua sisi koin, kebebasan kita dan individu lain merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Ketika seseorang merampas kebebasan seorang individu, maka secara langsung ia juga telah merampas kebebasan ribuan, atau bahkan jutaan orang lain, untuk mengambil manfaat yang bisa mereka dapatkan dari yang individu tersebut.
Kebebasan berbicara, akan selalu melekat dengan kebebasan untuk mendengar. Apabila seseorang dilarang untuk mengutarakan opini atau pandangannya kepada orang lain, maka bukan hanya kebebasan orang tersebut yang dirampas, akan tetapi juga kebebasan ribuan orang lainnya, termasuk diri Anda sendiri, untuk mendengarkan pikiran dari orang tersebut.
Kebebasan pelaku usaha untuk menjalankan usaha selalu berkaitan erat dengan kebebasan konsumen untuk memilih barang dan jasa. Ketika ada pelaku usaha, baik individu maupun perusahaan, yang dilarang untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi, atau dikekang dengan berbagai regulasi ketat, maka bukan hanya kebebasan pelaku usaha tersebut yang dilanggar. Kebebasan jutaan orang konsumen, termasuk Anda sendiri, untuk memilih produk yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka dengan harga yang terjangkau, juga telah direnggut.
Kebebasan pers tidak akan bisa dipisahkan dengan kebebasan untuk mendapatkan informasi. Ketika ada media yang diberedel dan ditutup paksa, maka bukan hanya kebebasan pers media tersebut yang tercerabut, namun juga kebebasan ribuan orang lainnya, sekali lagi termasuk Anda sendiri, untuk mencari dan mendapatkan informasi dari sumber yang kita inginkan menjadi hilang.
Pembubaran paksa diskusi Irshad Manji atau pemberedelan buku yang dianggap kiri, bukan hanya mengambil kebebasan berbicara Irshad Manji serta para penulis buku tersebut. Kebebasan kita untuk membaca dan belajar gagasan baru, serta mendengar opini seseorang terhadap suatu hal juga telah dirampas.
Pelarangan Indomaret dan Alfamart serta pembatasan impor terhadap berbagai barang seperti produk pangan, bukan hanya telah mencederai kebebasan pelaku usaha yang terlibat dalam kegiatan ekonomi tersebut. Kebebasan kita sebagai konsumen untuk memilih berbelanja di tempat yang kita inginkan, serta unutk mendapatkan produk dengan kualitas yang lebih baik dan dengan harga yang lebih murah dari berbagai tempat di belahan dunia, juga telah diambil.
Oleh karena itulah, sudah seharusnya kita bersikap sangat kritis serta menentang keras apabila ada pihak-pihak tertentu, baik dari aktor negara maupun dari kelompok masyarakat, yang ingin merenggut kebebasan individu lain, baik itu kebebasan sipil seperti kebebasan berbicara dan kebebasan pers, ataupun kebebasan ekonomi seperti kebebasan untuk menjalankan usaha. Ketika kebebasan seorang indivdiu direnggut, maka pada saat yang sama kita sendiri juga akan menjadi korban, karena hal tersebut telah menghilangkan kebebasan kita untuk memilih dan mendapatkan manfaat dari individu yang bersangkutan.
Karena, kebebasan ibarat dua sisi koin yang saling melekat dan tidak dapat dipisahkan.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.