Dua Jam di Dunia Perempuan dengan Ruth Ginsburg

250
Sumber gambar: https://www.imdb.com/video/vi3231758873/

Di suatu malam, saya memutuskan untuk mendekam di kamar dengan setengah lebih badan tertutup selimut. Phew. Lega saya waktu itu saat ujian tengah semester sudah rampung. Dengan pikiran setengah kalut, saya berjanji menunaikan euforia kebanggaan ini melalui penuntasan satu film. Sambil memilih dengan seksama, “Hmmm… Nonton film apa ya buat hibernasi setelah uts ini?”, hingga akhirnya suatu poster perempuan bergaya Amerika klasik dengan gincu merah menyalanya pada judul On The Basis of Sex menarik hasrat saya untuk mengeklik judul tersebut.

Menit pertama, percikan citra pertama.“Ini adalah tahun keenam bagi Harvard mengizinkan kaum perempuan untuk menuntut ilmu. Mengapa Anda memilih menimba ilmu di Harvard yang lazimnya untuk laki-laki?,” menjadi pertanyaan esensial dari sang dekan kepada keenam mahasiswi hukum Harvard, yang kemudian sukses merefleksikan sistem hukum diskriminatif di Amerika saat itu, terutama pada perempuan.

Realitas di mana seorang perempuan hanya bisa mendapat akses terhadap kartu kredit dengan persyaratan menikah dan mendapat izin dari sang suami, atau ketika perempuan tidak bebas mengonsumsi pil KB karena dianggap sebagai perbuatan tidak bermoral, merupakan akibat dari konstitusi Amerika yang menggariskan pada perbedaan gender. Kemudian, budaya patriarki dalam hukum Amerika kembali ditegaskan pada Commission on the Status of Women in 1961 yang dibentuk oleh Presiden John F. Kennedy pada tahun 1961 (Lewis, 2020). Dalam diskusi perdananya, Kennedy mengatakan tujuan dibentuknya Commission on the Status of Women adalah untuk memastikan bahwa wanita digunakan seefektif mungkin untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi rakyat, sambil memenuhi tanggung jawab utama mereka, yaitu di rumah (McLaughlin, 2014).

Pertanyaan menarik yang dimaksud Kennedy tersebut bukanlah apa cara efektif yang “dimaksud” untuk menangguhkan status perempuan, melainkan bagaimana negara masih melihat ketidaksetaraan yang dihadapi perempuan di Amerika sambil mengakui peran gender wanita secara tradisional yang seharusnya memprioritaskan anak dan kebutuhan suami di atas kebutuhan wanita itu sendiri.

Fakta selanjutnya adalah pada akhirnya kaum perempuan di Amerika Serikat selalu termarginalisasi dari dunia sosial maupun politik (Evans, 1994: 71). Beberapa tempat publik, seperti kedai minuman, konferensi pendidikan, pertemuan militer, sidang peradilan, dan ruang politik seolah menjadi tempat tabu bagi perempuan. Begitupun dengan kesempatan perempuan untuk hadir di muka umum, untuk mengenyam pendidikan yang setara, untuk berpartisipasi dalam bidang politik, untuk mendapat kesetaraan dalam pekerjaan tidak diakui oleh negara dan masyarakat.

Bayangkan, dengan standar moral dan hukum tahun 2022, apakah hal-hal tersebut dilegalkan secara hukum atau dibenarkan secara moral (morally right) oleh masyarakat saat ini?

Sayangnya, kenyataan pahit mengenai sejarah ketidakadilan tersebut harus dirasakan oleh perempuan di Amerika pada saat itu dan inilah yang digambarkan dalam film On The Basis of Sex. Berlatar belakang tahun 1960-an, Ruth Bader Ginsburg, seorang perempuan dengan cita-citanya untuk bergulat di bidang hukum sebagai pengacara harus menghadapi ketidaksetaraan gender selama perjuangannya. Sesuai dengan judulnya, hukum di Amerika yang masih berdasarkan pada jenis kelamin (basis of sex) menyebabkan Ruth mengalami berbagai perilaku diskriminatif yang ditujukan pada dirinya, hanya karena dirinya adalah seorang perempuan.

Diawali dengan sebuah scene yang menampilkan sosok Ruth Ginsburg yang dibaluti dress biru dan heels sekitar 5 cm nya di antara berbagai sepatu pantofel kokoh serta jas berwarna pekat, jatuh-bangun perjuangan Ruth berkecamuk di dunia hukum dimulai. Tidak hanya sulitnya penerimaan mahasiswi di universitas berbasis Ivy League saja, seperti yang telah saya singgung di atas, mereka juga mendapat penyambutan yang tidak menyenangkan oleh dekan mereka dengan pertanyaan bernada seksisme. Selain itu, dosen-dosen yang mengajar pun kerap mengabaikan Ruth dan tidak memberinya kesempatan untuk aktif berpartisipasi dalam diskusi di kelas.

Diskriminasi berbasis gender yang dialami Ruth tersebut tidak berhenti di aspek pendidikan. Ketika Ruth telah lulus dan berniat mencari pekerjaan di firma hukum, ia selalu dilecehkan dengan pertanyaan-pertanyaan interview yang tidak berkaitan dengan kemampuan akademiknya, seperti kapan mempunyai anak kedua, mengapa seseorang yang memakai boots bisa membuka pintu ruangan firma, sampai mengapa perempuan Yahudi berani melamar kerja di sana.

Pengalaman-pengalamannya tersebut membuat Ruth menyadari bahwa diskriminasi hukum berdasarkan jenis kelamin adalah legal di masyarakat dan diakui oleh pemerintah Amerika Serikat saat itu. Inilah yang kemudian membuat Ruth Ginsburg semakin antusias untuk memperjuangkan hak sipil wanita dan menghapus sistem hukum yang diskriminatif berdasarkan jenis kelamin di Amerika Serikat. Hooray for Mommy! Salah satu dukungan paling membekas bagi saya ketika suami dan anak Ruth melepas kepergian Ruth sebagai pengacara untuk pertama kalinya.

Dua jam bersama Ruth Ginsburg membawa penulis menyusuri lebih dalam mengenai dunia perempuan. Sebelumnya, dunia perempuan dibatasi hanya sekedar dunia rumah tangga. Ruth (1988) menggambarkan dunia perempuan ini merupakan hasil dari konstitusi di Amerika Serikat yang ditulis berdasarkan perspektif pria kulit putih sehingga hukum menempatkan perempuan di posisi subordinat, melakoni pekerjaan domestiknya, dan dipaksa mengubur mimpi-mimpinya. Proses yang dialami Ruth berderap keluar, membuka knop jendela, dan berhasil mengubah persepsi masyarakat tentang betapa bahayanya diskriminasi antar jenis kelamin. Dukungan kesetaraan terhadap perempuan semakin melebar, gerakan feminisme pun kian memenuhi agenda-agenda masyarakat yang menuntut untuk segera digubris.

Feminisme liberal merupakan dua kata yang paling pas untuk menggambarkan perjuangan kaum perempuan di Amerika dalam menuntut kesetaraan di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Berlandaskan pada Declaration of Independence, kaum feminisme liberal percaya bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan sama (Meiliana, 2019: 247). Menurut mereka, penyebab penindasan perempuan yang selama ini terjadi dikarenakan kurangnya kesempatan dan pendidikan, keterbatasan lapangan pekerjaan, minimnya penjaminan atas hak kepemilikan harta benda, atau undang-undang perkawinan yang memberatkan pihak perempuan.

Argumen paling umum berkaitan dengan feminisme adalah bagaimana gagasan tersebut merupakan sebuah ide perempuan-sentris yang dikandung dalam setiap gerakan perjuangannya dan diinternalisasikan nilainya oleh perempuan-perempuan untuk membalaskan dendamnya pada laki-laki. Membela hak perempuan dan kesetaraan gender di depan hukum tidak menyiratkan adanya instrumen untuk melemahkan laki-laki. Sebaliknya, feminisme justru menitikberatkan pada kesetaraan semua gender, dimana tidak ada satu pihak yang mengalami diskriminasi.

Kembali pada kisah Ruth Ginsburg dalam film On the Basis of Sex, hal representasi feminisme secara denotatif maupun konotatif itu terlihat dalam progresi karakter dan naratif Ruth yang berawal dari korban diskriminasi menjadi inisiator emansipasi perempuan, yang kemudian membawa rekonstruksi ulang mengenai kebebasan dan pengakuan akan hak-hak sipil bagi setiap manusia, khususnya perempuan. Semangat feminisme dicontohkan oleh Ruth dalam dirinya mengenai profil seorang perempuan yang dapat menjalani peran ibu rumah tangga, istri, sekaligus wanita karier dengan baik. On the Basis of Sex menunjukkan bagaimana keberhasilan seorang Ruth Ginsburg  merupakan pencapaian yang sangat bermakna untuk gerakan feminisme dan emansipasi perempuan.

 

Referensi

Evans, S. (1994). Lahir untuk kebebasan Sejarah Perempuan Amerika Jilid I. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ginsburg, R. (1998). “Remarks on Women Becoming Part of the Constitution”. Minnesota Journal of Law & Inequality, Vol. 6 (1). Diakses melalui https://scholarship.law.umn.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=https://www.google.com/&httpsredir=1&article=1559&context=lawineq

Lewis, J. (05 April 2020).  “The President’s Commission on the Status of Women”. Diakses melalui https://www.thoughtco.com/presidents-commission-on-the-status-of-women-3529479

McLaughlin, K. ( 25 Agustus 2014).  “5 things women couldn’t do in the 1960s.” Diakses melalui https://edition.cnn.com/2014/08/07/living/sixties-women-5-things/index.html

Meiliana, S. (2019). “Perdebatan Mengenai Perempuan di Amerika Serikat.” Sawo Manila, Jurnal Ilmu Humaniora, Vol. 2 (1). Diakses melalui http://repository.unas.ac.id/375/1/PERDEBATAN_MENGENAI_PEREMPUAN_DI_AMERIKA.pdf