Kapitalisme merupakan istilah yang kerap memiliki konotasi negatif bagi publik Indonesia. Istilah tersebut sering diasosiasikan dengan kerakusan, keserakahan, dan ketimpangan sosial. Kapitalisme dianggap sebagai biang keladi dari seluruh permasalahan yang melanda umat manusia seperti kemiskinan dan kelaparan.
Anggapan demikian tentu merupakan akibat dari pemahaman terhadap kapitalisme yang keliru dan tidak tepat. Untuk itu, tanggal 3 Desember 2019 lalu, Suara Kebebasan bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (UNILA), atas undangan dari Ketua Jurusan Sosiologi dan dosen Sosiologi FISIP UNILA Pak Ikram Baadilla, menyelenggarakan diskusi buku Kapitalisme yang ditulis oleh ekonom Inggris, Eamonn Butler, di Universitas Lampung.
Saya sendiri sebagai kontibutor Suara Kebebasan berperan sebagai narasumber di diskusi buku kali ini. Pada bagian awal diskusi, saya berupaya bertanya kepada teman-teman mahasiswa FISIP UNILA sebagai peserta diskusi mengenai apa yang terlintas di pikiran mereka ketika mendengar kata kapitalisme.
Ada beberapa dari mahasiswa yang mengasosiasikan kapitalisme dengan hal positif seperti sejahtera, kerja, dan kekayaan. Namun begitu, tak sedikit pula yang menganggap kapitalisme sebagai sesuatu yang sangat negatif dengan mengkaitkan gagasan tersebut pada kemiskinan, eksploitasi, dan kemelaratan.
Memasuki materi awal, saya memaparkan asal usul kapitalisme yang ditulis Eamonn Butler bahwa kata kapitalisme sendiri memiliki akar hingga pada abad ke-12 masehi di Eropa dari kata capitale dalam bahasa latin yang berarti “kepala”, yang digunakan untuk mendeskripsikan jumlah hewan ternak yang dimiliki oleh seseorang.
Pada abad ke-17, kata tersebut digunakan untuk memberi deskripsi terhadap barang dan uang, dan lahirlah terminologi ‘kapitalis’ sebagai seseorang yang memiliki modal. Butler sendiri memberi definisi atas kapitalisme sebagai sebagai “sebuah cara kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia untuk menciptakan atau menggunakan modal untuk memproduksi barang serta jasa yang diinginkan oleh orang lain dengan cara yang seproduktif mungkin.”
Butler menulis bahwa ada tiga elemen yang harus hadir agar kapitalisme dapat berjalan dengan baik, diantaranya adalah hak kepemilikan, institusi pasar, serta pertukaran sukarela antar sesama pelaku ekonomi.
Di dalam diskusi ini, saya juga memaparkan beberapa kesalahpahaman umum yang sering muncul di benak masyarakat ketika mendiskusikan kapitalisme. Saya merangkum kesalahpahaman tersebut, yang juga dibahas oleh Butler di dalam bukunya, menjadi empat hal.
Kesalahpahaman pertama adalah mengaitkan kapitalisme dengan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Dalam hal ini, saya memaparkan data statistik bahwa negara-negara yang bebas ekonominya, menurut data dari lembaga The Heritage Foundation, memiliki pendapatan per kapita yang tinggi. Hal ini berbanding terbalik dengan negara-negara yang ekonominya dikontrol oleh negara.
Terkait dengan ketimpangan sosial, saya menyampaikan bahwa saya mengakui kalau kapitalisme berpotensi menimbulkan ketimpangan yang semakin besar. Akan tetapi, yang sangat penting untuk dicatat adalah, meskipun ketimpangan meningkat, namun kalangan yang berada di bawah secara ekonomi juga ikut meningkat ke atas, meskipun kalangan yang di atas peningkatannya lebih cepat.
Hal ini lah yang terjadi di negara-negara yang sebelumnya menganut ekonomi komando total seperti China, dan lantas mereformasi ekonomi mereka menjadi ekonomi pasar. Ketimpangan sosial memang meningkat, namun bukan karena yang miskin semakin miskin dan kayak semakin kaya. Hal tersebut dikarenakan kalangan yang di atas mengalami kenaikan yang jauh lebih cepat daripada mereka yang di bawah, meskipun yang berada di bawah juga ikut meningkat.
Menjadikan kesetaraan sebagai tujuan akhir merupakan sesuatu yang berbahaya, karena kalau demikian, mengapa tidak kita membuat miskin seluruh penduduk di suatu negara? Dengan demikian seluruh anggota masyarakat menjadi setara, namun semua menderita. Tentu akan lebih baik jika kita tinggal di negara yang memiliki ketimpangan sosial namun masyarakat yang berada di bawah juga relatif dapat menikmati kehidupan yang layak.
Kritik kedua terkait dengan kerakusan, saya menjelaskan bahwa kerakusan merupakan sesuatu yag inheren pada manusia dan bukan disebabkan oleh kapitalisme. Kita tidak akan bisa menghilangkan kerakusan, dan yang harus kita lakukan adalah membangun sistem sosial yang dapat meminimalisir dampak kerakusan seminim mungkin dan sedapat mungkin memberi channel kepada seseorang untuk dapat menuangkan hasrat “kerakusan” mereka untuk sesuatu yang bermanfaat, dan kapitalisme menyediakan hal tersebut.
Di negara-negara sosialis misalnya, apakah kerakusan menjadi hilang? Tentu tidak. Kerakusan justru menjadi jauh lebih berbahaya karena hal tersebut terpusat di satu orang saja. Stalin, Mao, Pol Pot, merupakan contoh orang-orang yang rakus akan kejayaan dan kekuasaan dan mereka rela membunuh jutaan rakyat mereka sendiri demi memenuhi hasrat yang mereka miliki.
Kapitalisme secara jujur memberi izin bagi seseorang untuk menjadi “rakus” dalam koridor-koridor tertentu. Bila seseorang ingin memiliki 1.000 rumah, 10.000 mobil, uang puluhan atau bahkan ratusan trilyun, kapitalisme mengizinkan hal tersebut. Akan tetapi, untuk mendapatkan hal itu orang tersebut harus mampu menyediakan sesuatu yang dapat dibeli dan mampu untuk bermanfaat bagi orang lain. Ia tidak bisa membunuh, merampok, atau memaksa orang lain demi memenuhi rasa ke”rakusan”nya.
Kritik ketiga adalah terkait dengan konsumerisme. Kapitalisme sering dianggap sebagai sistem yang mendorong seseorang menjadi konsumtif dan materialistis yang hanya memikirkan materi belaka.
Saya memberi pemaparan bahawa kapitalisme tidak memaksa seseorang untuk menjadi konsumtif. Yang kapitalisme berikan adalah opsi kepada masyarakat untuk memilih. Apabila ia ingin menjadi konsumtif silahkan, namun bila seseorang memilih hidup hemat juga tidak ada yang melarang.
Hal ini berbanding terbalik dengan sistem sosialisme yang tidak memberi pilihan sama sekali. Masyarakat yang tinggal di negara sosialis seperti Kuba misalnya, tidak memiliki kebebasan memilih karena semuanya sudah diatur oleh negara. Mulai dari rumah tempat mereka tinggal, makanan yang dapat mereka makan, hingga sarana hiburan seperti acara televisi semua berada di bawah kontrol negara dan masyarakat hanya dapat menerima dengan pasrah.
Kritik keempat dan bagi saya merupakan salah satu yang paling umum adalah, kapitalisme memberikan kekuasaan yang terlampau besar kepada korporasi, dimana korporasi dapat mengatur negara dan membajak sistem demokrasi. Hal ini merupakan bentuk kesalahpahaman yang sangat penting untuk diluruskan karena ada perbedaan yang sangat jelas antara korporatisme dan kapitalisme.
Kapitalisme merupakan gagasan yang menghendaki adanya persaingan bebas antar pelaku usaha untuk berinovasi dan menarik konsumen. Satu-satunya cara agar suatu perusahaan dapat terus berjalan adalah apabila mereka bisa terus memberikan produk yang bermanfaat bagi konsumen
Sementara itu, korporatisme dan kronisme merupakan sistem dimana para pelaku usaha tertentu berkolusi dengan pemerintah agar mereka mendapat keistimewaan dan terbebas dari persaingan. Cara agar perusahaan bisa terus berjalan dalam sistem kronisme adalah apabila mereka memiliki kedekatan dengan penguasa, bukan melalui inovasi dan persaingan.
Bila sebuah perusahaan misalnya meminta negara untuk membantu mereka merampas tanah milik orang lain, atau mencabut izin usaha saingannya, atau memberi keistimewaan tertentu seperti keringanan pajak yang tidak dapat dinikmati oleh perusahaan lain, maka hal tersebut merupakan bentuk kronisme yang ditentang keras oleh kapitalisme.
Setelah itu, diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Sejauh perhatian saya, pertanyaan yang muncul adalah terkait dengan hubungan antara kapitalisme dan negara. Tidak sedikit mahasiswa yang memberi contoh tentang perilaku perusahaan yang merampas tanah milik petani, atau mengasosiasikan kapitalisme dengan imperialisme.
Saya sendiri memaparkan bahwa kapitalisme dan imperialisme merupakan sesuatu yang sangat bertolak belakang. Kapitalisme menghendaki adanya transaksi ekonomi secara sukarela sementara imperialisme dalam praktiknya melakukan perampasan tanah dan properti yang dimiliki oleh masyarakat tertentu untuk negara imperialis yang lebih kuat. Selain itu, praktik perampasan lahan oleh perusahaan sekali lagi juga merupakan bentuk dari kronisme dan bukan kapitalisme.
Diskusi ini sendiri berlangsung sebanyak dua sesi dengan tema yang sama. Sesi pertama dilangsungkan pada jam 10.00 pagi – 12.00 siang untuk mahasiswa sosiologi UNILA semester 3. Setelah itu, diskusi selanjutnya dilangsungkan pada pukul 1.00 siang – 3.00 sore untuk mahasiswa sosiologi UNILA semester 5.
Saya sendiri, dan tim Suara Kebebasan, mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Pak Ikram Baadilla selaku ketua jurusan sosiologi UNILA beserta seluruh civitas academica sosiologi UNILA yang sudah memungkinkan kami menyelenggarakan diskusi ini. Semoga kami dapat terus bekerja sama dan mengadakan diskusi-diskusi lain di waktu yang akan datang untuk memperkenalkan dan menyebarkan gagasan kebebasan.
Salam kebebasan!

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.