Disinformasi dan Konspirasi di Masa Pandemi

    486

    Akhir-akhir ini, linimasa media sosial saya penuh dengan kritik terhadap pemerintah Indonesia dari berbagai kalangan masyarakat. Kritik tersebut umumnya diarahkan pada penanganan pandemi COVID-19 oleh pemerintah yang dianggap sangat tidak memuaskan.

    Sebelum diumumkannya kasus Covid-19 pertama kali di Indonesia, banyak permainan kata dan “guyonan” dari pejabat-pejabat pemerintah. Contohnya, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi yang mengatakan, “[Ini] guyonan sama Pak Presiden ya. Insya Allah [virus] Covid-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal.Ujaran tersebut disampaikan saat Beliau menghadiri peringatan Hari Pendidikan Tinggi Teknik ke-74 di Graha Sabha Pramana, UGM, Yogyakarta, pada 17 Februari 2020 lalu (Vice.com, 24/02/2020).

    Selain itu, Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, juga mengatakan, “secara medis doa, semua karena doa, saya yakin doalah yang membuat kita semua [bebas virus corona]” ujar Menkes saat menemui awak media di Bandara Halim Perdanakusuma pada 15 Februari 2020 lalu. Ucapan tersebut dilontarkan Menkes saat merespons keheranan WHO melihat belum ada satupun kasus penularan COVID-19 di Indonesia (Vice.com, 24/02/2020).

    Ketidakseriusan pemerintah untuk mempersiapkan negara dalam menghadapi pandemi ini berbuah dengan memudarnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dan menumbuhkan rasa malas mendengar imbauan. Kemudian, masalah ini berujung hingga munculnya skeptisme terhadap pemerintah berupa spekulasi dan opini karena masyarakat menganggap pemerintah tidak berdaya untuk melakukan kontrol terhadap pandemi COVID-19.

    *****

    Tidak sedikit orang-orang yang menunjukkan sikap skeptis terhadap penjelasan COVID-19 dari pemerintah dan media mainstream. Ketidakpuasan terhadap penjelasan pemerintah mendorong masyarakat untuk mengisi kekurangan informasi yang mereka rasa atas penjelasan dari berbagai sumber lain. Saat dunia tampak membingungkan, ruwet, dan kacau, masyarakat akan memiliki keinginan untuk memahami apa yang terjadi dan terdorong untuk menjelaskan kejadian-kejadian tersebut dengan menggunakan teori konspirasi sebagai jalan tengah.

    Teori konspirasi ini selalu mencari kambing hitam dan over-simplifikasi masalah. Akar masalahnya? Bebankan saja pada elit global, Freemason, Illuminati, vaksin, dan CIA. Mereka yang percaya teori konspirasi memangkas proses rasional, pemahaman, dan kerangka pemikiran dengan mencari kambing hitam. Hal inilah yang merestriksi kebebasan pikiran dan bernalar orang-orang.

    Teori konspirasi semakin mudah lagi menyasar masyarakat yang functional literacy atau pendidikannya rendah. Lebih mudah memberikan jawaban singkat sepadat “Oh, ini salah Yahudi” dibanding memberikan pemaparan lengkap dan ceramah sains atau geopolitik.

    Sapiens (manusia) memang spesies yang selalu recognizing pattern. Kita memang suka menghubungkan pola-pola seperti kenapa air laut surut, migrasi burung, dan lainnya. Pertanyaannya, apakah dengan masyarakat mengemukakan skeptisme maupun teori konspirasi mereka tersebut produktivitas pemerintah akan dapat meningkat, atau justru situasi akan menjadi kontra-produktif? Padahal, semakin banyak tindakan-tindakan yang memicu kebingungan di masyarakat akan menciptakan sikap antipati atau tidak percaya kepada pemerintah.

    Eryn Newman dari University of Southern California menyebut bahwa reaksi dan persepsi seseorang terhadap sesuatu, didasarkan pada lima pernyataan dasar. Pertama berupa bentuk konsensus sosial, di mana seseorang akan mempertanyakan pernyataan yang disampaikan oleh seseorang tidak hanya dipercayai oleh dirinya seorang. Kedua, upaya untuk mencari dukungan fakta yang dapat memperkuat pernyataan tersebut, “Apakah terdapat cukup bukti untuk menyokongnya?” (Schwarz, Newman, & W. D Leach, 2016).

    Selanjutnya, memperjelas konsistensi dari apa yang dipercayai oleh orang tersebut berkesinambungan dengan pernyatan yang dia dapatkan. Koherensi menjadi poin keempat untuk melihat reaksi dan persepsi terhadap sebuah pernyataan dengan bentuk pertanyaan yang menilai kelayakan secara logis dan gramatikal yang berkaitan antara satu sama lain untuk mendukung gagasan utama. Terakhir merupakan upaya untuk mempertanyakan kredibilitas dari pemberi pernyataan dan sumbernya (Schwarz, Newman, & W. D Leach, 2016).

    Lalu muncullah pengecualian yang terjadi terhadap pola reaksi dan persepsi di atas, yaitu dengan dipengaruhi oleh detail-detail “tidak penting” yang sama sekali tidak berhubungan dengan fakta nyata. Salah satu implikasi dari ilusi tersebut adalah seseorang cenderung untuk mempercayai orang yang dikenal atau yang menurut pandangan subjektifnya memiliki kredibilitas.

    Perkembangan teknologi yang sangat cepat tentu akan menyebabkan penyebaran arus informasi yang semakin pesat pula. Arus informasi yang semakin deras ini dapat menjadi permasalahan di masyarakat karena dapat menimbulkan kebingungan dan sebagian masyarakat tidak mampu memilah, menyeleksi, serta memanfaatkan informasi yang sudah mereka peroleh.

    Hal ini kian diperparah dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh beberapa pejabat pemerintah yang menggunakan guyon dan seakan tidak menunjukkan keseriusan dalam menangani pandemi ini. Belum lagi, ada beberapa kalangan yang memanfaatkan situasi tersebut dengan menebar berbagai teori konspirasi yang tidak berdasar. Hal tersebut tentu akan membuat usaha untuk meyakinkan masyarakat mengikuti berbagai protokol pencegahan penyebaran COVID-19 menjadi semakin sulit.

    Namun, bukan berarti lantas tidak ada lagi usaha yang bisa dilakukan. Pemerintah dalam hal ini harus menunjukkan keseriusan dan menghindari berbagai kecerobohan dan pernyataan-pernyataan guyon yang terkesan meremehkan dampak dari pandemi ini, agar penanganan pandemi ini bisa semakin efektif dan menyelamatkan semakin banyak nyawa.

     

    Referensi

    https://www.vice.com/id_id/article/pkeqag/guyonan-pejabat-indonesia-soal-virus-corona Diakses pada 4 Agustus 2020, pukul 20.00 WIB.

    Schwarz, N; E. J Newman, and W. D Leach. 2016 “Making The Truth Stick and The Myths Fade: Lessons from Cognitive Psychology,” ResearchGate. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/295478583_Making_The_Truth_Stick_and_The_Myths_Fade_Lessons_from_Cognitive_Psychology Diakses pada 4 Agustus 2020, pukul 13.30 WIB.