Isu mengenai kemandirian ekonomi dan kedaulatan pangan hingga saat ini masih menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Baik presiden dan para menterinya, selalu menegaskan berdikari ekonomi sebagai cermin kedaulatan dalam negeri.
Contohnya Menteri BUMN, Erick Thohir, sangat pro terhadap gagasan kedaulatan ekonomi dalam negeri, sebagaimana yang diberitakan oleh berbagai media. “Sekarang ini kesempatan Indonesia mulai berdikari, kita harus menjaga supply chain yang sehat untuk negara kita,” terangnya (jawapos.com, 29/5/2021).
Di akhir bulan Maret yang lalu, Presiden Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri, meluncurkan sebuah buku yang berisi tentang pikiran dan pandangannya dalam bernegara. Buku ini berjudul Merawat Pertiwi, Jalan Megawati Soekarnoputri Melestarikan Alam.
Menurut Sekjen partai PDIP Hasto Kristiyanto, buku ini berisi tentang konsepsi Megawati yang bertujuan agar Bangsa Indonesia bisa merawat kekayaan alam Indonesia secara mandiri atau berdikari.
“Kami harus kembangkan sebagai suatu bentuk semangat untuk berdikari. Kalau kami melihat dari apa yang disampaikan Bu Mega, rasanya kami harus terus membangun semangat juang itu agar Indonesia yang gemah ripah loh jinawi ini, mampu berdaulat di bidang pangan sehingga kita tidak perlu lagi impor. Karena tinggal kemauan dari kita,” tutur Hasto (Sindonews.com, 24/3/2021).
Hasto pun menambahkan bahwa Partai PDIP mengutuk tindakan Menteri Perdagangan, Muhammad Luthfi yang membuka keran impor beras. Karena menurut Hasto, Indonesia bisa secara berdikari mengembangkan potensinya sendiri tanpa campur tangan asing.
“Tindakan impor beras yang dilakukan sepihak oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi lahir dari kalkulasi pragmatis. Seorang menteri harus memahami keanekaragaman pangan, dan berpikir bagaimana Indonesia bisa mengekspor pangan, bukan sebaliknya,” ujar Politisi asal Yogyakarta itu.
Sejak dahulu, Partai PDIP adalah partai yang getol menyuarakan konsep berdikari yang digagas Bung Karno. Pada masa kepemimpinan Presiden SBY, PDIP adalah oposisi yang konsisten menyerukan berbagai macam kebijakan populis seperti tolak kenaikan subsidi BBM, kontrol harga sembako, dan anti impor pangan.
Tapi dalam pandangan penulis, gagasan berdikari dan populistik lainnya, tidak hanya dianut oleh partai berlogo banteng tersebut. Hampir semua politisi dan juga pandangan sebagian besar masyarakat, mereka berasumsi bahwa impor dan investasi asing adalah aib dan kemandirian ekonomi adalah cermin ekonomi maju.
Roeslan Abdul Gani alias Cak Ruslan, mantan menteri era Orde Lama sekaligus anggota PDIP, juga mengkritik masuknya modal asing di Indonesia. Beliau bercerita “di mana gedung-gedung yang ada di jalan Thamrin bukan main, tapi kalau saya tanya ke walikota, itu (gedung) 90% bukan milik indonesia (dikuasai asing)” katanya (Gani, 2004).
*****
Banyak orang yang berkata bahwa, Indonesia belum merdeka sepenuhnya. Pemerintah selama ini dianggap gagal dalam mewujudkan cita-cita founding fathers kita, yaitu memakmurkan rakyat. Bagi sebagian orang, kemakmuran rakyat dan kesejahteraan rakyat hingga saat ini belum terpenuhi, karena bangsa Indonesia dianggap belum memiliki kemandirian ekonomi, sebab banyak barang dan produk asing yang menguasai pasar di negeri ini.
Seolah-olah, selama barang dan perusahaan asing masih mendominasi dan bercokol, niscaya Indonesia belum merdeka secara ekonomi. Begitulah pandangan sebagian masyarakat bahkan masyoritas orang-orang di sekitar kita.
Kemajuan ekonomi dan kemerdekaan ekonomi dianggap sudah tercapai jika modal-modal asing diusir, perusahaan asing disita, dan juga produk-produk buatan asing, baik sabun, furniture, barang elektronik, dan kendaraan diproduksi dalam negeri. Secara sederhana, mereka ingin barang-barang yang tersebar di pasar Indonesia adalah made in Indonesia.
Semangat kemandirian ekonomi yang dipahami sebagai ketidakbutuhan pada modal asing dan perusahaan asing ini, menjadi salah satu dasar mengapa UU Ciptaker atau UU Omnibus Law ditolak secara mentah-mentah oleh mereka. Sebab bagi mereka, jalannya ekonomi Indonesia harus bertumpu pada spirit nasionalisme, investasi dan bantuan asing bagi mereka adalah bentuk imperialisme gaya baru sehingga harus dilawan.
Dengan masuknya investasi atau penanaman modal asing ke Indonesia, UU Ciptaker dianggap telah merontokkan falsafah ekonomi bangsa kita yang menjunjung asas berdikari dan trisakti. UU Ciptaker (yang mereka juluki UU Cilaka) hanya mendorong agenda deregulasi neoliberal guna memfasilitas liberalisasi investasi, dengan menghilangkan semua regulasi yang merintangi kebebasan berinvestasi, sehingga RUU ini harus ditolak segencar mungkin.
*****
Kebencian terhadap pasar bebas sebenarnya bukan fenomena baru. Teriakan anti asing dan aseng yang bergema belakangan ini bukan hal baru. Dalam risalahnya mengenai pasar bebas, Karl Marx berujar bahwa jantung dari perdagangan bebas adalah dengan cara mengorbankan bangsa lain (Marx, 2002).
Gambaran Marx ini yang kemudian membuat Sukarno menulis bahwa kapitalisme atau pasar bebas seperti “Siluman Nyi Blorong”. Kepalanya menyedot harta di tanah jajahan, tapi perutnya berada di negeri asing (Sukarno, 1964). Ini yang membuat Bung Karno begitu membatasi modal asing yang masuk dan melakukan nasionalisasi pada perusahaan asing (Al-Rahab, 2014).
Kehadiran negara dalam ekonomi serta memeratakan pendapatan, sangat sentral bagi mereka. Pemerintah Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba) sendiri akhirnya secara gencar membangun Perusahaan Negara atau BUMN di berbagai sektor untuk menjalankan roda perekonomian. Sementara, fungsi swasta bagi mereka hanya sebagai pelengkap jika ada bidang yang tak dapat ditangani oleh negara.
Memahami Pasar Bebas dan Globalisasi Dengan Benar
Menurut penulis, kerancuan dan kekeliruan memahami pasar bebas sangat berbahaya sekali. Masyarakat harus disadarkan bahwa di era global seperti sekarang ini amat sangat mustahil kemakmuran bisa dicapai tanpa terintegrasi dengan negara-negara lain.
Mengapa? Karena pada dasarnya masing-masing negara memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kemakmuran, hanya bisa terjadi dengan saling bertukar komoditas. Pandangan ini sudah disadari oleh David Ricardo yang hidup di abad ke-19 mengenai keunggulan komparatif.
Misalnya, Indonesia tidak memiliki tumbuhan kapas sedangkan Amerika tidak memiliki tumbuhan karet, maka terjadilah pertukaran barang untuk saling melengkapi kebutuhan masing-masing. Lalu, mengapa Indonesia masih mengimpor beras?
Jawabannya, selain karena kekurangan produksi dalam negeri, produksi dengan biaya rendah di negara lain (Vietnam) misalnya, tentu harganya akan jauh lebih murah ketimbang harga beras dalam negeri yang biaya produksi dan distribusinya lebih mahal. Karena itu impor beras dilakukan.
Harga beras yang murah bukan hanya untuk orang kecil, tapi juga para petani, sebab selain sebagai produsen, petani Indonesia juga konsumen. Kerumitan ini tidak akan selesai kalau bertumpu pada retorika manis mengenai kemandirian.
Sikap protektif juga membahayakan produk-produk ekspor nasional. Bayangkan jika Indonesia menutup diri terhadap beberapa komoditas di satu negara, maka negara tersebut juga akan melakukan pembatasan terhadap produk-produk Indonesia.
Sebab, proses ekspor dan impor bisa dilakukan jika terjadi kerjasama antar negara dan masing-masing negara tidak saling menutup diri. Kita bisa lihat pembatasan sawit di Eropa yang akhirnya merusak harga sawit dalam negeri. Hal ini diakibatkan sikap proteksionis yang bertentangan dengan spirit pasar bebas.
*****
Semua regulasi mengenai berdikari atau kemandirian pangan, justru tidak menghasilkan keadilan bagi pelaku usaha. Misalnya saja seorang pengusaha pembangkit listrik swasta, mereka akan berhadapan dengan raksasa PLN yang sudah memiliki pasar, mengontrol harga dan mendapat fasilitas dari negara. Itu sebabnya perusahaan listrik swasta tak dapat membantu banyak ketika Indonesia kekurangan pasokan listrik.
Hal lain lagi adalah pembatasan wewenang untuk mengekspor barang. Jika kita analogikan bahwa ada petani yang ingin menjual hasil panennya, di pasar dalam negeri harga padi hanya Rp1000. Namun, di luar negeri seperti Jepang, mereka bisa mendapat harga dua kali lipat (misal harga jualnya Rp2000). Tentu akan lebih menguntungkan jika si petani mengekspor hasil panennya ke Jepang.
Tapi sayangnya petani tidak bisa melakukan itu. Regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah terlampau protektif dengan alasan pemerataan dan stabilitas pangan dalam negeri, Pemerintah memberi wewenang pada BUMN dan kroninya untuk menjalankan impor dan ekspor bahan pertanian. Dan ini justru malah tidak menguntungkan petani.
Elisabeth Pisani mengulas dalam buku Indonesia ect. Elisabeth bercerita seorang nelayan yang ingin menjual hasil tangkapannya menghadapi masalah regulasi yang rumit dari pemerintah dan juga kartel yang dilindungi negara.
Sehingga, petani dan nelayan tidak punya pilihan dalam menjual hasil kerjanya. Mereka tak bisa mengekspor barang yang mereka miliki. Jadi, apakah para petani dan nelayan diuntungkan? Sebaliknya, mereka malah dirugikan oleh regulasi pemerintah yang terlampau protektif dan tidak mempercayai pasar bebas.
*****
Gagasan mengenai kedaulatan pangan, kemandirian ekonomi dan berdikari memang sedap untuk didengar. Para politisi atau caleg yang berada di atas podium dengan bersemangat menjunjung prinsip kedaulatan ekonomi dan pemerataan kemakmuran, tapi tetap saja semua itu hanya retorika belaka.
Ketika Presiden Sukarno melakukan nasionalisasi perusahaan asing, bisa dikatakan perusahaan-perusahaan yang dikelola secara nasional tersebut tidak bisa berjalan dengan baik. Kenapa? Sebab pasca nasionalisasi, perusahaan tersebut dijalankan oleh politikus dan tentara yang melakukan rangkap jabatan. Proses produksi tersebut dijalankan hanya untuk kepentingan individu-individu tertentu sehingga tak berjalan secara maksimal.
Pada akhirnya, pemerintah merangkul pengusaha Tionghoa yang ulet dan pandai berdagang. Para pengusaha tersebut diberi kuasa dan fasilitas oleh negara untuk mengurus beberapa sektor ekonomi, hingga akhirnya muncullah istilah konglomerasi atau kroni.
Penyakit oligarki dan monopoli tidak lahir dari rahim kapitalisme atau pasar bebas, tetapi lahir dari konsepsi proteksi ekonomi dan cita-cita berdikari. Dengan dalih ‘kepentingan bersama’, negara dan kroninya mengontrol pasar. Dengan dalih ‘kedaulatan pangan’, para pejabat berkolusi dengan konglomerat untuk mengatur harga pasar. Jadi, semua ini salah siapa?
Referensi
Buku
Al-Rahab, Amiruddin, 2014. Ekonomi Berdikari Sukarno. Jakarta: Komunitas Bambu.
Gani, Ruslan Abdul. 2004. Jangan Kualat Rakyat Harus Bergerak. Jakarta: Barisan Kebangkitan Indonesia Raya.
Marx, Karl. 2002. Tentang Perdagangan Bebas, terj. Sutarji. Yogyakarta: Penerbit Sumbu.
Sukarno, 1964. Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid 1. Jakarta: Balai Pustaka.
Internet
https://www.jawapos.com/ekonomi/29/05/2020/indonesia-bisa-produksi-gula-dan-alkes-erick-minta-impor-dikurangi/ Diakses pada 13 November 2021, pukul 10.43 WIB.
https://nasional.sindonews.com/read/375000/12/hasto-ungkap-politik-megawati-yang-diajarkan-kepada-kader-pdip-1616580238/10 Diakses pada 13 November 2021, pukul 11.02 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com