Di Tangan Rakyat atau Di Tangan Pemerintah?

    324

    Sebentar lagi rakyat Indonesia akan kembali merayakan pesta lima tahunan, yaitu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk lima tahun ke depan di tahun 2019. Banyak orang percaya bahwa Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019 akan membuat negara kita mengalami perubahan, bukan hanya negara tetapi nasib rakyat kita.

    Walaupun mustinya kita harus menunggu setahun lagi untuk memilih Presiden-Wakil Presiden dan wakil rakyat, tetapi suasana Pilpres 2019 sudah terasa dari tahun 2017 dan mulai tegang pada tahun ini (2018). Anggota  partai, para simpatisan, rakyat bawah, telah meramaikan media sosial dan warung-warung kopi dengan obrolan-obrolan politik.

    Para buzzer dan surveyor mulai mendapatkan rezeki nomplok karena bisnis mereka mulai dibutuhkan, sedangkan parpol pengusung mulai membuat tim sukses. Sementara, para simpatisan sudah siap menggoreng isu-isu panas untuk menjatuhkan lawan. Sedangkan  rakyat kecil tidak bisa berbuat lain, kecuali berharap semoga di tahun 2019 nasib mereka bisa berubah drastis dari kehidupan sekarang.

    Momentum Pilpres telah berhasil menghipnotis rakyat Indonesia, segala harapan, impian, kekecewaan, bahkan makian dapat kita saksikan di media sosial. Semua itu tak lain dan tak bukan untuk menyambut Pilpres tahun 2019 mendatang dan mendukung pasangan calon yang menjadi jagoan mereka.

    Pemilihan Presiden dan Mitosnya

    Kita tidak perlu kaget dengan euforia Pilpres 2019 seperti seruan “ganti presiden” dan lain sebagainya. Keriuhan dan sorak gempita yang sedang melanda bangsa kita saat ini muncul dari hasrat dan harapan seluruh warga negara agar muncul pemimpin yang bisa membawa mereka dan negara keluar dari kesulitan dan menuju kesejahteraan. Rakyat menunggu sang Ratu adil atau presiden yang mampu menjadi messias bagi rakyat Indonesia.

    Masyarakat kita yakin (dan telah diyakinkan) bahwa kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bertumpu pada suatu institusi umum yang bernama negara. Seluruh permasalahan baik dari hilir-mudiknya, semua tergantung bagaimana pengelolaan negara. Tak heran jika pemimpin negara, yaitu presiden, dianggap oleh rakyat sebagai tokoh yang vital dan menentukan masa depan mereka.

    Tak heran, jika muncul persoalan dalam suatu negara, misalnya bencana lingkungan, kelaparan, wabah penyakit, atau menurunnya tingkat prestasi siswa, semua dilihat bersumber dari ketidakberesan pemimpin atau aparatur negara. Bahkan banyak pula orang mempercayai keyakinan mistik zaman dahulu, yang mengatakan bahwa bencana alam bahkan wabah penyakit disebabkan karena aura negatif dari sang Pemimpin.

    Begitulah realita yang kita hadapi saat ini, efek dari harapan yang berlebihan pada sang pemimpin dan institusi negara, justru akan menanamkan sikap fatalistik alias kebergantungan pada sesuatu di luar diri kita sendiri sehingga hilang kemandirian rakyat. Tidak heran jika orang banyak berkata: “ Jangan menjadi golongan putih (tidak memilih) demi masa depan Indonesia maju”, “Nasib kita 5 tahun kedepan ditentukan oleh pemilu”, “Kalau pemerintahnya benar pasti kita hidup enak”

    Tentu saja peran Presiden dan negara dibutuhkan oleh rakyat kita, tetapi yang harus kita camkan, bahwa kita sebagai rakyat sangat menentukan maju dan mundurnya suatu negara. Ibu pertiwi justru berharap pada rakyat, sebab peran dari rakyat (sekecil apapun) sangat penting bagi negara.

    Kita harus garis bawahi, bahwa dalam suatu negara yang berperan besar tidak lain bersumber dari rakyatnya. Dalam suatu negara yang berdaulat adalah rakyat, bukan parpol atau paslon capres-cawapres. Marilah kita berpikir sejenak, negara membutuhkan pajak dari rakyat, negara membutuhkan orang-orang kreatif, negara membutuhkan produktivitas kerja rakyatnya, dan pangan suatu negara juga bertumpu pada hasil kerja para petaninya.

    Intinya  untuk  menggerakkan dan menstabilkan ekonomi suatu negara yang menjadi aktor dan tulang punggungnya adalah rakyat. Karyawan, petani, seniman, guru, wartawan, bahkan tukang koran sekalipun mempunyai arti penting dalam suatu negara.  Yang kita harapkan saat ini adalah munculnya kesadaran dari masyarakat, bahwa nasib mereka dan negara ada ditangan mereka. Tak perlu terlalu berharap pada janji manis politisi atau capres mendatang.

    Negara yang baik dan ideal bukanlah negara yang pemimpinnya mengatur keseluruhan tingkah laku rakyat, bahkan sampai sibuk mengatur pikiran dan agama rakyatnya. Negara yang baik, dimana pemimpinnya memberi fasilitas dan kebebasan kepada rakyatnya untuk berkreasi dan berinovasi. kedewasaan masyarakat, serta  meningkatkan kualitas SDM itulah yang membuat suatu negara menjadi kokoh dan maju.

    Di negara kita, umumnya masyarakat masih bergantung dan melihat pada aktor yang akan memimpin, bukan melihat kemampuan diri sendiri.  Mereka percaya dengan naiknya si A maka Indonesia akan maju, beres dan damai.  Mereka merasa yakin jika si B nanti jadi presiden, maka bencana alam, wabah penyakit, kemiskinan, dan kesusahan akan hilang selamanya

    Pola pikir seperti inilah yang melahirkan mentalitas ndoroisme, yaitu rakyat merasa diri mereka hanya sebagai kawulo atau wong cilik yang tertunduk sujud sembari menunggu  sabda dan titah ”Sang Ndoro” yang bisa seenaknya memperlakukan mereka. Hampir setiap 5 tahun sekali kita selalu ribut, berharap, dan akhirnya kecewa. Bahkan sampai saat ini rakyat selalu menunggu-nunggu momen kehadiran sosok sang “Ratu Adil” yang akan memakmurkan negaranya.

    Padahal apa yang ditunggu hanyalah sesosok bayangan hampa alias tahayul yang lahir dari sikap nerimo wong cilik yang sudah tidak mampu berbuat apa apa lagi. Mitos Ratu Adil tersebut harus dilenyapkan, dan mentalitas ndoroisme yang menjangkit rakyat kita harus dihancurkan.

    Rakyat harus disadarkan bahwa kemakmuran negara sebagian besarnya  berada di tangan mereka bukan hanya di tangan pemimpin atau para politisi. Untuk menjadi negara maju dan makmur, tidak cukup hanya sekedar 5 tahun atau menunggu kinerja si presiden terpilih. Menjadikan  Indonesia maju dan makmur adalah proses yang panjang dan penuh kerja keras antara rakyat dan pemimpinnya.

    Di abad global ini yang terpenting adalah meningkatnya keterampilan masyarakat. Kemampuan, wawasan,  kreativitas dan kualitas rakyatlah yang menentukan gerak kemajuan dari negara. Rakyat yang bisa berpikir secara bebas akan melahirkan kreasi dan inovasi. Peran negara hanyalah sebagai penunjang rakyatnya, negara hadir untuk mengembangkan kualitas masyarakat.

    Negara bukanlah suatu institusi militer yang memerintahkan rakyat bak prajurit yang hormat dan patuh saja. Diharapkan di alam demokrasi saat ini, setiap gagasan dan proses pengembangan diri dijamin oleh negara. Dengan demikian, dari kebebasan tersebut muncul insan-insan kreatif yang mandiri, berkualitas, setara sehingga dapat memajukan Indonesia.