Ahok adalah nama yang seringkali terucap pada detik dan waktu ini. Perbincangan atas Ahok tak henti-hentinya mengisi jagat lini masa yang beredar. Melubernya simpati atas Ahok tak lain dipicu oleh vonis Hakim atas kasus penodaan agama pada selasa (9/5) lalu. Dalam vonis yang dibacakan Hakim Dwiarso Budi Santiarto, yang baru-baru ini mendapatkan promosi jabatan menjadi Hakim Tinggi pengadilan Tinggi Denpasar, Ahok di vonis 2 tahun penjara.
Ketuk palu ini sekaligus menandai berakhirnya babakan panjang dari skenario peradilan Ahok. Ada kegundahan membuncah diiringi luapan emosi tak tertahan. Entah mendengarkan aba-aba dari siapa, yang pasti segera setelah itu, muncul aksi-aksi simpatik dengan menyalakan lilin serentak di beberapa kota besar Indonesia.
Ahok mungkin sendiri, namun gemuruh suara dukungan atasnya bergelora hingga ke sela-sela kolong jagat. Membangkitkan kemuraman bagi mereka yang sudah merasa patah arang dan enggan lagi melangkah. Mereka yang sebenarnya sadar, namun terkesan mendiamkan. Tapi apa yang diperlihatkan dalam beberapa hari terakhir adalah wajah dari akumulasi massa diam yang melonjak ketika tekanan semakin besar. Sehingga, mau tidak mau menghasilkan gaya dorong keluar teramat besar dan tak terduga sebelumnya. Kelompok inilah yang disebut sebagai mayoritas diam (silent majority).
Saya enggan menghubung-hubungkan aksi simpatik dengan mengasosiasikan pada satu golongan atau kelompok agama tertentu. Namun jelas terlihat melalui penelaahan di media massa, asa yang dibawa oleh mereka yang turut aksi bukanlah hanya asa sebatang lilin. Lebih dari itu, lilin yang dibawa adalah manifestasi dari pengorbanan seseorang yang rela dirinya habis asalkan orang di sekitarnya dapat diterangi.
Sebenarnya, merasa jengah untuk mengulang-ulang kembali cerita lama perihal Al-Maidah ayat 51 dan pro kontra yang membayangi. Tapi tak apa, highlight singkat atas peristiwa yang menjadi awal dari cerita kelam Ahok yang superior dan tiada hambat untuk melangkahkan kaki menuju periode kedua jabatan Gubernur DKI. Ujaran itu adalah kekhilafan yang berkonteks waktu dan tidak berdiri sendiri. Bila saja Ahok mengucapkannya jauh-jauh hari dan bukan dalam kondisi persaingan menuju kursi gubernur, tentu, riaknya tidak akan sebesar ini.
Ahok sudah sering mengucapkan itu bahkan sewaktu ia masih di Bangka Belitung. Namun, bagaimana lagi, bola panas sudah terlanjur bergulir, api sudah terlanjur membara, angin pun tak luput membadai. Ahok mesti gigit jari dan terjungkal atas nama kezaliman politik yang tak kenal moral dan etika.
Tidak ada langkah kongkret yang bisa diambil sebagai upaya meringankan hukuman Ahok, selain bukan praktisi di bidang hukum juga akses menuju Ibu kota yang teramat jauh. Cukuplah, dedahan tulisan ini menjadi pengobat dan jeritan dari anak bangsa yang masih menginginkan keadilan dengan tidak menjual jabatan, agama, idelaisme apalagi bangsa dan negaranya sendiri.
Paling tidak, sekarang mata masyarakat telah terbuka lebar melihat begitu kerasnya perpolitikan menjerumuskan bahkan orang baik sekalipun. Di era post-truth, di mana kebenaran dapat dikomodifikasi, semua hal dapat dipermak tergantung siapa yang memesan. Bukan hal mustahil dewasa ini, untuk memasangkan jubah suci pada kebusukan, dan menutup bau busuk dengan mengganti keelokan. Tidak ada yang benar-benar salah dan tidak salah, semua relatif dalam bingkai perspektif yang dibalut egoisme kelompok dan golongan. Benar menurut mereka belum tentu benar di mata yang lain. Begitulah dunia relativisme menemukan bentuknya.
Dibalik itu, hanya para pejuang di ranah para petarunglah yang akan memenangkan pergulatan di medan besar. Mereka teguh dengan prinsip dan keyakinan yang dipegangnya, enggan mengasongkan diri pada kepentingan-kepentingan cukong politik berperut buncit sembari menyeringai di atas penderitaan rakyat.
Tak banyak yang mampu bertahan dan Ahok adalah satu dari petarung yang rela gugur bertempur. Kekalahan bukanlah konotasi bahwasanya ia berada di pihak yang kalah. Kekalahan yang didapatkan melalui cara-cara kotor yang dilakukakan pihak pemenang, sejatinya merupakan kemenangan sejati atas jiwa kesatria.
Seketika, saya teringat akan cerita Socrates yang rela meminum racun cemara hanya untuk mempertahankan keyakinan yang dipegangnya. Tidak peduli bagaimanapun tawaran yang diberikan. Baginya seseorang yang telah menggadaikan idealisme bukan lagi manusia. Mereka tunduk pada kemunafikan. Dan sekarang lihatlah, mengutip Tan Malaka, “Ingatlah! dari dalam kubur suaraku akan terdengar lebih keras”, siapa yang tidak mengenal filsuf besar sepanjang sejarah manusia ini.
Ahok, bukan bermaksud melebih-lebihkan, telah dekat pada jalan hidup filsuf tersebut. Sejauh pengamatan saya dari ranah minang, Ahok tidak menggebu-gebu untuk mendapatkan satu jabatan. Dengan bersikeras dan menempuh jalan apapun untuk meraihnya. Ahok pun tak pernah gentar hadir di setiap persidangan yang dijalani, meskipun diluar riuh suara mereka yang menolak bahkan menghardiknya. Pada akhirnya, Ahok telah menuliskan namanya dalam sejarah. Sejarah yang dia buat dengan tinta emas atas namanya sendiri.
Nah.. Sudah saatnya kita berhenti dan berfokus pada hal-hal besar untuk kemajuan bangsa. Energi bangsa sudah terkuras habis. Toh, seperti kutipan bernas dari Ali bin Abi Thalib, “jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun. Karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan yang membencimu tidak percaya itu.” Percayalah, kezoliman akan dikalahkan selagi kita di pihak yang benar.
Akan ada hal besar yang menanti bagi mereka yang tetap bertahan meskipun terasingkan, begitulah ungkapan takzim yang terlontarkan dari sosok Soe Hok Gie. Kalaupun penjara dikatakan pengekang bagimu, namun ribuan lilin yang telah menyala tak akan luput menerangi jalan bagi mereka yang mengabdi dan berdedikasi.