Demonstrasi Sebagai Bentuk Kebebasan Berekspresi

    733

    Mendengar ada demonstrasi sedang dilaksanakan, rasa ingin tahu membuat saya sengaja melewati gedung MPR dan DPR saat pulang sekolah, untuk melihat aksi demo terkait RUU Omnibus Law oleh para buruh. Berbagai pamflet yang dibagikan untuk sekedar mendukung aksi, spanduk-spanduk tulisan yang menyerukan poin demonstrasi memenuhi jalanan depan gedung DPR.

    Tak hanya teriakan dan gerakan para buruh saja, beberapa polisi yang berjejer lengkap dengan pakaian anti peluru mereka juga tak luput dari penghilatan saya. Terkadang, mereka melakukan kekerasan terhadap para pendemo. Karena inilah, polisi sempat dituduh melakukan pelanggaran karena melarang hak rakyat untuk mengutarakan aspirasi. Jika polisi mengatakan itu bentuk self defense (pembelaan diri) dari mereka, apa secara tak langsung mereka melakukan penyempitan ruang kebebasan sipil?

    Berbicara tentang demokrasi, maka tentu tidak dapat dilepaskan dari hak-hak dan kebebasan sipil. Meski nyatanya tidak semua negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokratis menjamin kebebasan, namun secara umum, demokrasi dan kebebasan sering diasumsikan sebagai dua hal dalam satu paket. Dalam sistem demokrasi seperti di negara Indonesia, adanya kebebasan tentu bagi rakyat merupakan persyaratan mutlak berjalannya sistem demokrasi tersebut.

    Kebebasan sipil merupakan jaminan dimana pemerintah maupun institusi negara lain tidak dapat ikut campur, tanpa alasan tertentu. Meskipun cakupannya berbeda-beda antar negara, kebebasan sipil yang paling utama selalu melindungi kebebasan berpendapat dan mengutarakan opini.

    Baru-baru ini, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkapkan demokrasi Indonesia di era pemerintahan Presiden Joko Widodo semakin terancam, terutama karena peningkatan kasus pelanggaran hak sipil. Berdasar dari data yang mereka dapat, ternyata jumlah kasus penyempitan ruang kebebasan sipil tersebut jumlahnya bisa dikatakan cukup tinggi (Asumsi.co, 11/02/2020).

    Ruang kebebasan sipil yang semakin sempit itu terutama karena masih banyaknya pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dan berkumpul. Misalnya adanya sederet larangan untuk berkumpul, penghalangan informasi, pembubaran paksa, dan pembatasan organisasi.

    Selain itu, angka kriminalisasi kebebasan bereskpresi juga tak kalah tinggi, yang umumnya terjadi saat masyarakar menyampaikan suara dalam rangka mempertahankan hak nya. Salah satunya adalah ketika ada tanah rakyat yang dirampas negara atas nama pembangunan, maka akan di kriminalisasi. Lalu, saat aksi penolakan tambang, aksi buruh, dan aksi reformasi dikorupsi yang dilakukan pada 2019 lalu.

    Tindakan-tindakan ini kemudian menjadikan Presiden Jokowi sebagai sasaran habis-habisan oleh kelompok-kelompok masyarakat. Menurut mereka, Presiden Jokowi tidak menepati janjinya saat kampanye ketika ia mengatakan akan berusaha untuk menjamin kebebasan sipil dan demokrasi Indonesia meningkat.

    Kebebasan, bahasan rancu yang menghasilkan banyak perspektif yang beragam dari para pakar, masyarakat, maupun tokoh penting di Indonesia. Mengenai kebebasan sipil, Indonesia juga memiliki sejarah besar yang dapat dikatakan termasuk sangat berpengaruh ke dalam pondasi pemerintahan. Sebut saja demonstrasi mahasiswa tahun 1965 dan 1998 yang berhasil menggulingkan presiden yang memerintah saat itu.

    Terkait dengan kebebasan sipil, di artikel ini saya ingin membahas pada ruang lingkup yang lebih kecil, yaitu kebebasan saat melakukan demonstrasi. Saat terjadi kekerasan ketika aksi berlangsung, banyak pihak, terutama para pegiat kebebasan sipil, yang menyalahkan polisi. Mengapa? Karena kekerasan yang dilakukan oleh aparat akan menghasilkan dampak yang sangat buruk terhadap penegakan hak asasi dan perlindungan kebebasan sipil di Indonesia.

    Sebenarnya, saya kira masalah ini tergantung dari kacamata mana yang kita pakai. Ketika rakyat mulai brutal dan menyerang aparat, mereka yang diserang mempunyai hak untuk melakukan pembelaan diri. Sebaliknya, apabila pendemo tidak melakukan kesalahan dan mereka diserang paksa, baru termasuk pelanggaran terhadap kebebasan sipil.

    Manusia secara individu memang bisa membuat perlawanan dalam bentuk tulisan atau orasi yang menggebu-gebu. Akan tetapi, ketika individu berkumpul dalam jumlah besar dan bercampur dalam gelora yang sama, mereka dapat membelokkan arus sejarah. Ini disebut sebagai cara kerja paling efisien dalam bentuk besar sapiens.

    Salah seorang teman saya pernah mengatakan, bahwa demonstrasi seperti itu tidak merubah apa-apa. Beliau lebih memilih aksi langsung lewat menggagas ide revolusioner atau masuk jajaran pemerintahan dan mengubah peraturan.

    Bagi saya, semua itu tidak mudah dilakukan apabila kita tidak memiliki posisi khusus. Belum lagi, ketatnya ruang elit akan mempersulit situasi. Tidak semua orang mempunyai akses untuk melakukan hal yang memang terdengar lebih praktis dan tidak perlu sampai turun di jalan.

    Di Indonesia sendiiri, masih banyak yang mengganggap bahwa kebebasan akan berbahaya apabila “kebablasan” alias tidak tahu batasan hukum dan bersifat terlalu egois. Oleh karena paradigma yang satu ini, kebebasan hak privat belum sepenuhnya diterapkan.

    Sebuah negara yang mengaku demokratis sudah seharusnya mempraktikkan dengan konsisten mengenai penghormatan pada hak-hak asasi manusia. Demokrasi tanpa penghormatan terhadap hak-hak asasi setiap anggota masyarakat bukanlah demokrasi, melainkan hanya negara totalitarian yang menindas.

     

    Sumber :

    https://www.asumsi.co/post/ruang-sempit-kebebasan-sipil-di-indonesia diakses pada Sabtu, 15 Februari 2020 Pukul 11.30 WIB.