Demonstrasi dan Kebebasan Berbicara

443

Pada awal bulan lalu, dunia memperingati Hari Buruh Internasional, yang jatuh pada tanggal 1 Mei setiap tahunnya. Hari Buruh ini umumnya diperingati dengan berbagai aksi massa dan demonstrasi untuk mengangkat berbagai isu yang dihadapi oleh para pekerja, dan agar para pekerja bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

Hari Buruh Internasional sendiri memiliki sejarah yang panjang, dan bisa ditarik hingga ke abad 19. Pada 4 Mei 1886, terjadi demonstrasi di kota Chicago, Amerika Serikat, yang dilakukan oleh para pekerja untuk menuntut waktu 8 jam kerja per hari. Demonstrasi tersebut direspon dengan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan hingga menimbulkan kerusuhan dan demonstran yang kehilangan nyawa. Tanggal 1 Mei sendiri dipilih oleh berbagai organisasi buruh pada tahun 1889 untuk memperingati demonstrasi di kota Chicago tersebut (britannica.com, 27/4/2021).

Di Indonesia sendiri, demonstrasi dan aksi massa untuk memperingati Hari Buruh Internasional yang jatuh setiap tanggal 1 Mei juga merupakan hal yang umum terjadi. Aksi ini umunya tidak hanya diikuti oleh organisasi buruh, namun juga oleh berbagai organisasi kemasyarakatan dan juga organisasi mahasiswa.

Tidak terkecuali tahun ini, Hari Buruh Internasional 2021 di Indonesia juga diperingati melalui dengan berbagai aksi massa yang diikuti oleh berbagai elemen masyarakat, seperti organisasi buruh dan para mahasiswa. Di Jakarta misalnya, demonstrasi berpusat di beberapa wilayah di kawasan Jakarta Pusat, seperti Monas dan sekitar Istana Negara (metro.tempo.co, 2/5/2021).

Namun, yang cukup berbeda dari tahun-tahun sebelumnya adalah, hanya organisasi buruh yang diberikan izin untuk melakukan aksi untuk memperingati Hari Buruh tahun ini. Berbagai elemen lain, seperti organisasi mahasiswa misalnya, yang mengikuti aksi tersebut, dicegat dan diamankan oleh aparat keamanan. Berdasarkan laporan dari CNN Indonesia per 3 Mei 2021, penangkapan tersebut juga diikuti beberapa tindakan kekerasan, seperti pemukulan (cnnindonesia, 3/5/2021).

Setidaknya, ada sekitar 300 peserta aksi massa untuk memperingati Hari Buruh 2021 di Jakarta yang diamankan oleh aparat keamanan. Sebagian besar dari mereka yang diamankan tersebut adalah mahasiswa (tempo.co, 2/5/2021).

Salah satu penjelasan dari aparat keamanan mengenai langkah untuk memisahkan organisasi buruh dan mahasiswa, dan mengamankan mahasiswa yang mengikuti aksi massa, adalah karena tanggal 1 Mei adalah Hari Buruh Internasional, dan mahasiswa bukanlah pekerja. Selain itu, aparat keamanan juga menjelaskan bahwa ada permintaan dari organisasi buruh untuk memisahkan organisasi buruh dan mahasiswa untuk mencegah terjadinya provokasi (cnnindonesia, 2/5/2021).

Hal ini tentu merupakan hal yang patut disayangkan. Di negara demokratis seperti Indonesia, aksi massa sebagai bagian dari hak kebebasan berbicara dan berekspresi tentu merupakan hal yang patut dilindungi, tentu selama aksi tersebut berjalan dengan damai dan tidak diikuti berbagai tindakan kekerasan, seperti pemukulan atau pengerusakan properti pribadi atau fasilitas umum.

Hak kebebasan berbicara dan mengutarakan pendapat sendiri merupakan hak yang tercantum dan dilindungi dalam konstitusi kita. Dalam Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 misalnya, dinyatakan dengan eksplisit bahwa, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” (aji.or.id, 10/5/2017).

Selain itu, penjelasan bahwa mahasiswa tidak bisa mengeskpresikan pandangan dan opini mereka dalam bentuk aksi massa di Hari Buruh tentu merupakan sesuatu yang agak ganjil. Bila demikian, bagaimana dengan hari-hari besar lain? Apakah berarti hanya kaum perempuan saja misalnya, yang boleh mengadakan aksi untuk memperingati Hari Perempuan Internasional, dan laki-laki tidak boleh mengikuti aksi tersebut?

Belum lagi, belum tentu semua mahasiswa yang mengikuti aksi tersebut adalah bukan pekerja. TIdak sedikit para mahasiswa yang juga bekerja di badan usaha atau lembaga tertentu, baik untuk membiayai kuliahnya sendiri, atau untuk mendapatkan uang tambahan untuk kehidupannya sehari-hari.

Terkait dengan provokasi, tindakan untuk memprovokasi massa untuk melakukan perusakan dan kekerasan tentu merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan. Tentu aparat keamanan memiliki kewajiban untuk melindungi keselamatan publik dan hak properti warga negara agar tidak dirusak oleh orang lain. Namun, bukan berarti lantas aksi damai bisa dibubarkan dengan mengatasnamakan pencegahan tindakan provokasi. Bila memang ada oknum yang melakukan provokasi, maka oknum tersebut yang harus ditangkap dan diadili sesuai dengan ketentuan hukum.

Bila dari organisasi buruh yang tidak menginginkan aksi mereka diikuti oleh mahasiswa, maka tentu aparat keamanan bisa memindahkan para mahasiswa untuk beraksi di tempat lain yang berbeda. Dengan demikian, hak kebebasan berbicara dan mengutarakan opini para mahasiswa juga dapat terlindungi.

Sebagai penutup, demokrasi dan perlindungan hak-hak dasar warga negara, termasuk tentunya hak kebebasan berekspresi dan mengutarakan pendapat, merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Bila hak-hak dasar warga negara tidak dilindungi, tentu demokrasi yang ideal akan sulit untuk diterapkan dan dijalaknkan.