Demokrasi VS Populisme

    472

    Indonesia merdeka pada tahun 1945 di bawah pimpinan Soekarno dengan ide nasionalisme nya yang kental. Walau kerap diagungkan sebagai bapak proklamator, era Soekarno tidak lebih baik dibanding masa sebelumnya. Demonstasi Soe Hok Gie masih menggemakan masalah harga bahan pokok dan kinerja menteri. Masih ingat nyanyian “Ganyang Menteri Goblok”?

    Kemudian, ada masa Soeharto. Rezim si “The Smiling General” ini sering dianggap titik kelam pemerintahan Indonesia. Demokrasi benar-benar dibungkam, perkara pelanggaran hak asasi manusia mulai dari Pulau Buru terkait kader PKI, operasi militer Aceh dan Papua, Tanjung Priok, sampai kerusuhan 1998.

    Baru setelah tahun 1998, era Reformasi muncul di tengah keterpurukan. Dipandang sebagai penyelamat Hak Asasi Manusia (HAM), masa ini juga dianggap pencerahan Indonesia. Pencerahan atas demokrasi, HAM, dan sebagainya yang dulu sempat tidak menemui jalan keluar.

    Janji-janji kampanye pemerintah sejak itu selalu mirip. Atas nama rakyat, HAM nomor satu, demokrasi diterapkan di segala urusan. Hal-hal itulah yang jadi jargon politikus Indonesia selama ini, sampai terkadang kita sulit membedakan visi misi kandidat yang maju.

    Seperti zaman-zaman sebelumnya, presiden juga melontarkan kata-kata anti penindasan HAM dan pembungkaman demokrasi. Seperti apa perkembangannya sampai sekarang? Masalah HAM dan demokrasi di Indonesia membaik atau malah merosot?

    Sehubungan dengan Pilkada DKI Jakarta lalu, orang asing mempunyai miskonsepsi bahwa muslim di Indonesia cenderung radikal, fundamental, dan anarkis. Saya merasa itu masih sehat, masih ada muslim moderat yang berkembang di luar sana dan sekitaran saya. Namun, saya dapat melihat probabilitas kemungkinan ideologi radikal seperti itu muncul di Indonesia.

    Asalkan semua masih terkontrol, sehat, dan tidak bersikap agresif dalam bentuk menyerang fisik atau tubuh lawan, saya masih menganggap itu sah dalam berdemokrasi. Demokrasi memang sudah seharusnya tonjok-tonjokan ide. Bertengkar sedikit, boleh. Ini namanya pertarungan ide, hal yang sehat, dan itu proses politik suatu negara.

    Saya menyebutnya dengan istilah a noisy democracy is a working democracy. Demokrasi memang sepatutnya bising. Dalam berdemokrasi, kita seringkali tidak terbiasa menerima perbedaan pendapat. Kita menganggap kalau berbeda pendapat akan berujung pada chaos. Orang menganggap demokrasi adalah suatu problematik, yang entah bagaimana harus diselesaikan.

    Karena awam masalah beda pendapat inilah yang mengakibatkan masyarakat hanya merasa aman dalam kungkungan satu imaji kolektif yang sama dan tidak beragam.

    Negara kita ini memang menganut paham demokrasi, namun lama-kelamaan ide yang lebih bekerja di masyarakat adalah populisme yang dominan. Hampir sebagian orang tidak bisa menemukan apa yang salah dari populisme, bahkan ada juga yang mungkin benar-benar tidak bisa membedakan mana populisme dan demokrasi.

    Populisme adalah ideologi “tipis” yang tidak akan bekerja tanpa bantuan dari ide lain yang akan menstimulasi imajinasi kolektif masyarakat, bahwa mereka bersatu, memiliki rasa kolektivisme yang kuat dan dengan bangga mereka tunjukkan, entah ras, etnis, agama, ekspresi gender, apapun itu untuk menentang musuh dinamisnya untuk teman yang sama.

    Masyarakat populis akan menganggap kelompoknya paling superior. Karena terlalu banyak memakai dalih moralitas, mereka bertindak sebagai polisi moral. Hanya standar moral yang dilegitimasi merekalah yang mereka anggap benar dan boleh.

    Dampaknya? Kondisi sosial masyarakat akan timpang. Demokrasi memang berjalan, namun berjalan dalam alur yang salah. Kenapa salah? Karena masyarakat populis kebanyakan memaksa kehendak mereka dalam hal melihat, berpendapat, dan beraksi mengenai suatu isu.

    Bila konteks populisme tidak beraturan dalam perihal demokrasi, lantas mengapa politikus naturalnya lebih condong pada populisme? Kenapa demokrasi lebih tidak efisien di mata politikus? Jawabannya adalah karena populisme lebih menjual dan perkembangannya terasa.

    Komunikasi politik bernada populis lebih cepat dipahami masyarakat. Mereka tidak perlu mengerti apa yang sedang krusial, permasalahan pajak atau dana, alokasi sumber daya, dan lain-lain untuk memahami substansi dari politikus.

    Dalam pikiran mereka hanya terlintas bagaimana caranya mendapat rasa nyaman dan damai tanpa gangguan dari kelompok-kelompok yang berada di luar kotak mereka. Nah, populisme identik dengan narasi pro rakyat yang nampak lezat di telinga masyarakat. Insting mereka akan langsung terstimulasi untuk mengikuti “pangeran” mereka.

    Eksistensi kita sebagai homo sapiens yang sudah sedemikian rupa diciptakan sesuai kodratnya memang tak mudah lepas dari ide populisme. Masing-masing orang dapat menyampaikan ideologi yang mereka setujui atau yang akan mereka pegang dalam prinsip.

    Menurut saya, pasar ide demokrasi ialah yang paling ideal. Pasar paling bebas tanpa limit. Siapapun bisa masuk dan keluar, berbasis sukarelawan, bukan dipaksa ikut. Di pasar ini, semua orang dituntut untuk berhak memilih, bahkan menciptakan gagasan yang ia yakini.

    Ide dapat kita analogikan sebagai keyakinan dan kita dapat berperan sebagai penggerak. Jadi, bagaimana? Sudahkah kalian menerapkan marketplace of ideas ini?

    ===================================

    Samuella Christy adalah kontributor tetap Suara Kebebasan yang saat ini masih duduk di bangku kelas 11 SMA, Ia juga aktif menulis di berbagai media mengenai isu-isu politik dan sosial. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.