Rasanya, hampir semua bangsa saat ini memandang sistem demokrasi sebagai sistem terbaik dan paling sesuai untuk diterapkan di zaman modern seperti sekarang ini. Demokrasi adalah sistem yang diciptakan untuk menjamin kebebasan orang lain. Anda bisa bebas bermain biola di pekarangan rumah, Anda bisa bebas memborong belanjaan tanpa harus ada voucher, Anda bisa bebas menulis di media massa tanpa takut disensor atau ditangkap oleh polisi, serta Anda bisa bebas pulang malam hingga bergadang tanpa takut ada jam malam. Semuanya bebas melakukan aktivitas yang diinginkan tanpa dibatasi atau diintervensi oleh siapapun.
Pada zaman Yunani kuno, demokrasi diciptakan sebagai opsi terbaik agar setiap suku dan kelompok tidak memperbudak kelompok atau suku yang lain. Karena, bangsa Yunani mayoritas adalah pedagang yang sangat memegang prinsip egaliter, mereka menyepakati demokrasi sebagai sistem yang paling adil, dimana satu kelompok suku tidak akan lebih tinggi kedudukannya dengan suku lain. Para petani juga 100% memiliki hak tanahnya bukan raja atau feodal, sebagaimana yang terjadi dalam sistem monarki.
Demokrasi yang diterapkan di Yunani berhasil dengan baik. Demokrasi telah menciptakan masyarakat yang melek pada urusan politik, sehingga mereka merasa bertanggung jawab dan berpartisipasi sebagai warga negara. Namun, sistem ini kemudian tidak bertahan lama. Demokrasi lenyap bersama dengan penyerangan kekaisaran Macedonia di bawah Alexander yang Agung, dan kemudian sirna bersamaan dengan munculnya dominasi Persia dan Romawi yang menegakkan sistem tirani absolut.
Dalam sistem tirani monarki, raja menjadi pusat segala-galanya. Rakyat berfungsi hanya sebagai hamba dari raja dan seluruh kepemilikan rakyat pada dasarnya adalah milik raja. Kapanpun raja mau, ia bisa merebutnya tanpa siapapun bisa memprotes.
Sistem tirani monarki bukan hanya memberi otoritas mutlak raja untuk berkuasa dan mengontrol hidup rakyat. Dalam sistem tersebut, raja juga merupakan perwujudan seorang dewa yang harus dihormati dan disembah oleh segenap rakyatnya, sebagaimana yang terjadi di zaman Pharaoh pada masa Mesir Kuno.
Setelah berabad-abad lamanya, tirani monarki yang berdiri dengan kokoh akhirnya lenyap juga di beberapa tempat di dunia. Pada tahun 1215, lahir kesepakatan Magna Charta yang membatasi kekuasaan raja di Britania Raya. Revolusi Prancis pada tahun 1789-1799, yang menjatuhkan Kaisar Loius XVI, juga menghancurkan tirani monarki absolut. Pekikan liberte (kebebasan), egalite (kesetaraan), dan Fraternite (persaudaraan) menjadi salah satu semboyan yang kemudian menjadi semangat dari sistem demokrasi modern.
Ketika orang meninggalkan sistem tirani absolut dan memilih demokrasi, mereka meyakini bahwa demokrasi akan mengizinkan rakyat bertindak bebas mengikuti hati nurani dan mewujudkan cita-citanya. Banyak orang meyakini bahwa pemerintahan yang dihasilkan dari suatu pemilihan yang demokratis pasti memberikan jaminan hukum dan menghormati hak asasi orang lain.
Negara Demokratis Tapi Totaliter
Banyak negara yang masuk ke dalam kelompok negara-negara demokratis memilki cita-cita menciptakan hukum yang adil, kebebasan politik, dan melindung hak asasi. Namun, yang terjadi justru hal tersebut ditekan dan dirusak oleh pemerintah yang terpilih secara demokratis.
Memang, cita-cita awal dari sistem demokrasi adalah agar rakyat bisa mengontrol pemerintahan dan memilih aparatur pemerintahan sebagaimana kehendak rakyat. Dengan sistem pemilu, rakyat bisa berpartisipasi memilih pemimpin sesuai dengan kebebasan politiknya.
Ya, memang pemilihan umum telah terjadi dimana-mana. Tetapi celakanya, demokrasi yang sebenarnya adalah sistem yang menghendaki kebebasan rakyat, justru malah “dikorupsi” menjadi kebebasan rakyat ketika berada di bilik pemungutan suara. Banyak orang menganggap bahwa dengan adanya pemilihan umum selama lima tahun sekali, dan juga adanya lembaga legislatif di pusat dan daerah, maka demokrasi dianggap sudah terlaksana secara sempurna.
Akhirnya, demokrasi hanya dianggap sebagai sistem seremonial saja. Ada pemilu, ada parlemen, maka itu adalah demokrasi. Sehingga, jika pemerintahan hasil pemilu menciptakan hukum yang mengekang kebebasan dan juga mengabaikan hak asasi, dianggap benar karena mereka dipilih secara demokrtis justru orang yang menentang malah dianggap tidak demokratis.
Ini yang kemudian memancing filsuf kontemporer seperti Giorgio Agamben. Agamben adalah seorang filsuf kontinental yang hingga hari ini masih produktif dalam menulis dan menelurkan buah pikiran. Tesis awal yang umumnya diketahui oleh masyarakat, demokrasi adalah antitesis dari sistem kediktatoran tirani, namun pada faktanya demokrasi justru memunculkan “tiran-tiran baru” yang justru malah menindas kebebasan sipil.
Agamben mengkritik keyakinan bahwa negara demokrasi sudah pasti menjunjung tinggi kebebasan dan juga hak asasi manusia. Tetapi faktanya, beberapa negara yang mengklaim diri mereka sebagai negara demokrasi, justru tidak menciptakan “kedaulatan umum.” Yang diciptakan justru “daulat pemerintah”, yang telah melakukan tindakan tidak demokratis dalam memaksakan kebijakannya yang bertentangan dengan kepentingan umum.
Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat. Tidak sedikit yang menganggap Amerika Serikat adalah negara demokrasi, termasuk bangsa Amerika itu sendiri. Akan tetapi, di sisi lain, Amerika dalam sejarahnya sering melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kebebasan dan juga demokrasi itu sendiri. Misalnya, Amerika melakukan invasi terhadap rakyat Panama dan juga menginvasi Vietnam dan membunuh jutaan manusia yang juga memiliki hak asasi dan kedaulatan atas dirinya.
Invasi Amerika terhadap Iraq dan negara-negara lain telah membuat ratusan ribu orang menderita. Dan contoh lainnya, Amerika juga membuat penjara Guantanamo yang sangat tidak manusiawi. Disini Agamben bertanya, apakah rakyat Amerika lebih memiliki hak kemanusiaan yang lebih tinggi dibanding dengan rakyat di Iraq, Panama, dan Vietnam?
Negara demokratis justru melakukan tidakan paradoks dengan memberikan cap pengecualian terhadap suatu komunitas yang tak sejalan dengan kebijakan “negara demokratis”. Contoh yang lebih realistis adalah nasib yang menimpa komunitas Ahmadiyah dan minoritas.
Dalam konstitusi UUD 45, negara jelas memberikan kebebasan dan perlindungan hukum kepada setiap warganya dalam memeluk dan melaksanakan agama. Akan tetapi kenyataanya, konstitusi itu seolah tidak berlaku bagi Ahmadiyah dan komunitas lain, yang dianggap sesat oleh kelompok mayoritas menyuarakan penolakan.
Orang Ahmadiyah di Indonesia dan juga orang yang dipenjara di Penjara Guantanamo, disebut Oleh Giorgio Agamben sebagai “Homo Sacer.“ Dalam bahasa sederhananya, mereka adalah kelompok yang dikucilkan dan tak mendapat keadilan hukum oleh negara-negara yang (hingga detik ini) mengaku menjunjung tinggi sistem demokrasi.
Alih-alih negara demokratis menjunjung tinggi kebebasan sipil dan juga menjunjung hak asasi manusia yang universal, namun disisi lain banyak kebijakan politik negara demokratis tersebut yang justru “memenggal” kedaulatan umum dan hak asasi. Ini berarti demokrasi pada dasarnya bukan merupakan perubahan tirani ke kedaulatan rakyat, tetapi justru membuat tirani dengan wajah baru yang bernama pemerintahan demokratis konstitusional.
Dalam salah satu bukunya yang populer, Democracy in What State, Agamben menjelaskan “In a recent book, I tried to show that the central mystery of politics is not sovereignty but government; not God but his angels; not the king but his minister; not the law but the police.” Pada akhirnya, setiap teori mengenai negara demokrasi, kebebasan sipil, dan juga mengenai negara yang menjunjung kedaulatan rakyat, bagi Agamben ujung-ujungnya adalah hanya menjadi obrolan semata (Agamben, 2010).
Apa Yang Harus Dilakukan?
Skeptisisme Giorgio Agamben terhadap negara-negara demokratis juga dimiliki oleh ekonom mahzab Austria asal Amerika Serikat, Murray Rothbard. Yang membedakan, jika Agamben lebih condong pada pemikiran Marxis, Rothbard merupakan seorang libertarian. Rothbard menyadari bahwa demokrasi itu sendiri dilematik karena dalam praktiknya. Demokrasi bukan saja bisa menghasilkan mayoritarianisme yang menyudutkan minoritas, tetapi bahkan ia bisa menjadi transisi kepada diktatorisme seandainya mayoritas secara bulat memilih pemimpin anti kebebasan sebagai pemimpin melalui sistem demokratis (Rothbard, 1970).
Negara yang menggunakan label demokrasi juga tidak bisa menjamin bahwa mereka sudah pasti menjunjung tinggi demokrasi. Contohnya, Republik Demokratik Rakyat Korea (Korea Utara) dan Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur). Istilah-istilah seperti Demokrasi Terpimpin yang dijalankan oleh Presiden Soekarno dan juga Demokrasi Pancasila yang dicanangkan oleh Presiden Soeharto, dalam praktiknya juga sangat bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan.
Semua label demokrasi tersebut tidak mencerminkan tujuan awal demokrasi, yaitu kedaulatan sipil sebagaimana yang dicita-citakan masyarakat Yunani Kuno, atau prinsip liberte, egalite, fraternite, yang disuarakan rakyat Prancis. Lalu, mengapa demokrasi tidak bisa mewujudkan ide kebebasan. Saya teringat pernyataan dari Will Durant, penulis The Story Civilization, yang mengatakan bahwa apapun bentuk dan sistemnya, politik akan bersifat pragmatik dan juga kompromis. Ini berlaku juga dalam negara yang demokratis.
Para aktivis kebebasan sudah sepatutnya memandang pemerintah dengan pandangan penuh kecurigaan, apapun sistem yang diusungnya. Ingat, kelahiran demokrasi dan liberalisme bersandar pada kecurigaan rakyat terhadap raja dan para birokrat yang tidak transparan dalam mengelola negara. Semangat awal demokrasi yang ditegakkan di Yunani atau Prancis, yang menjadi pengawas kebijakan dan pengelolaan negara bukan parlemen atau wakil rakyat, tetapi seluruh rakyat yang memilih pejabat publik.
Karena itu, orang jangan telalu tertipu dan terbuai oleh istilah-istilah “republik yang demokratis” atau “pemilihan umum.” Sebab, letak demokrasi bukan pada pemilihan umum atau label negara, tetapi pada semangat kedaulatan umum, keterbukaan, kontrol pemerintahan, serta amanat menjaga kebebasan rakyat tanpa terkecuali.
Referensi:
Agamben, Giorgio. 2010. Democracy in What State. Columbia University Press: New York City, New York.
Rothbard, Murray. 1970. Power & Market: Government and the Economy. Institute for Humane Studies: Menlo Park, California.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com