Demokrasi di Tangan Jokowi

    550

    Menjelang periode kedua menjabat sebagai Presiden, komitmen Joko Widodo (Jokowi) untuk mengawal demokrasi dan reformasi kembali diuji. Banyak orang berpendapat pada masa pemilihan presiden/Pilpres (baik di tahun 2014 dan 2019), Jokowi adalah tipe pemimpin yang sangat proposional dan sangat ideal. Ditinjau dari sisi penampilan, ia memiliki postur yang sederhana dan wajah yang sayu, ditambah lagi ia adalah seorang warga sipil biasa. Bagi pengamat demokrasi, Jokowi adalah salah satu pilihan yang rasional dalam memimpin negeri ini.

    Indonesia baru 21 tahun memasuki era yang benar-benar demokratis, sebelumnya, selama lebih dari  50 tahun Indonesia berada dalam bayang-bayang otoritarinisme yang berjubah demokrasi, seperti Demokrasi Terpimpin ala Orde Lama dan Demokrasi Pancasila ala Orde Baru. Meskipun membawa embel-embel demokrasi, kebijakan pemerintah terhadap kebebasan pers, aktivitas politik, dan kebebasan berekspresi justru malah menginjak-injak nilai-nilai demokrasi.

    Oleh sebab itu, pasca lepas dari pemerintah otoriter, Indonesia memerlukan pemimpin yang tegas dan berkomitmen terhadap demokrasi. Sistem kepemimpinan terpusat yang mirip feodalisme Nusantara purba harus dihapus dengan otonomi sipil. Dalam negara demokrasi, peran sipil harus diperkuat ketimbang peran birokrat dan elit pemerintah. Karena itulah tahun 2014 menjadi tahun yang penting bagi jalannya demokrasi Indonesia, sebab tahun 2014 menjadi era baru, dimana bangsa kita mendapatkan pemimpin yang benar-benar baru. Di thaun 2014, politisi senior (yang ikut kontestasi pemilu tahun 1999 dan 2004, yang juga duduk bekerja sama dengan rezim Orde baru) sudah tidak memiliki nilai jual lagi di mata pemilih.

    Pada Pemilu 2014 lalu, rakyat memerlukan pemimpin yang segar, energik, santun, serta “merakyat”. Dan dapat ditebak, semua kriteria tersebut ada pada Jokowi. Jokowi adalah orang baru dalam panggung politik Indonesia. Dirinya mendapat popularitas dari memimpin Kota Solo dan Jakarta, sehingga publik menaruh harapan pada Jokowi debagai “citra wong cilik” dan bagi aktivis demokrasi, Jokowi adalah harapan baru bagi Indonesia.

    Namun beda impian beda kenyataan, harapan bahwa Jokowi menjadi superhero yang membawa arah baru reformasi Indonesia menuju kepada demokrasi dan kebebasan yang lebih baik, tidak semudah yang dibayangkan. Sebaliknya, dan seperti yang bisa diduga, Jokowi justru juga melakukan tindakan-tindakan kompromis dengan lawan-lawan politiknya.

    Ditambah lagi pegiat HAM turut kecewa dengan pemerintahan Jokowi yang nampak retoris ketimbang action dalam menyelesaikan kasus-kasus HAM di masa lalu. Sebut saja kasus Munir, korban Tragedi 1965, kasus pembunuhan Salim Kancil, dan juga kekerasan yang menimpa saudara kita di Papua, yang belum diselesaikan secara pasti dan pelakunya masih melenggang bebas.

    Belakangan ini, pengamat politik asal Ausralia National University di Canberra, Australia, yaitu  Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, memberikan hasil laporan yang tidak nyaman di telinga. Mereka mengatakan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia saat ini tengah berada di titik terendah (ajjn.com, 7/10/2019).  Presiden Jokowi yang memegang tampuk kepemimpinan diduga menjadi penyebab dari kemunduran reformasi dan demokrasi di Indonesia.

    Walaupun Presiden Jokowi tetap tegas menyatakan bahwa dirinya siap untuk menjaga demokrasi, namun pernyataan itu hanya bersifat retoris belaka. Kenyataannya, sikap dan kebijakannya justru malah mencerminkan hal yang sebaliknya. Jokowi cenderung melakukan yang kontroversial yang dianggap oleh pendukung fanatiknya, sebagai bentuk “melindungi wibawa negara”. Namun, di sisi lain, kebijakan Jokowi tersebut sangat merugikan demokrasi.

    Walaupun Survei SMRC mengatakan bahwa Jokowi dinilai paling demokratis dibandingkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (cnnindonesia.com, 16/9/2019), namun fakta-fakta di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya. Di era Jokowi, banyak pengkritik dan penghina dirinya masuk ke dalam penjara. Hal yang tidak terjadi di zaman SBY. Begitu pula tindakan aparat yang represif terhadap massa demonstran dan jurnalis justru merupakan nilai buruk bagi rezim Jokowi.

    Kekerasan aparat pada sore hari tanggal 24 September 2019, yang menyebabkan jatuh korban dan beberapa demonstran hilang, membuat para aktivis dan masyarakat kecewa. Pegiat HAM jelas yang paling kecewa, sebab sudah 21 tahun reformasi, namun ada sikap penguasa yang masih belum berubah: anti terhadap demonstrasi dan kritik rakyat.

    Demo para mahasiswa kemarin menjadi catatan penutup di akhir periode pertama Jokowi. Ini merupakan rambu bahwa rakyat mempunyai kekuatan besar dan siap melawan jika kebebasan dan hak mereka diusik.

    Periode Kedua: Antara Pesimis dan Kritis

    Menanggapi aksi demonstrasi mahasiswa dan juga kerusuhan di Papua, pemerintah menyatakan bahwa demonstrasi dan kerusuhan tersebut ditunggangi dan merupakan rekayasa untuk menjatuhkan pemerintahan Jokowi.  Pernyataan tersebut sangat serius dan membuat orang bertanya-tanya siapa pelakunya?

    Walau pemerintah belum menetapkan siapa pelaku utama dibalik kerusuhan, lucunya para pendukung fanatik, relawan, dan buzzer menuduh secara buta si anu dan anu (yang merupakan lawan politik Jokowi) sebagai pelakunya.

    Entah benar atau tidak, namun yang perlu digarisbawahi bukan penunggangannya, tapi tindakan pemerintah yang over protektif  menghadapi arus demonstrasi dan kritikan massa. Hingga saat ini, penunggang dan dalang dibalik kerusuhan tidak juga ditangkap. Bahkan tidak diketahui siapa orangnya, sehingga muncul opini bahwa pemerintah sengaja playing victim dan menciptakan sosok fiktif untuk dijadikan kambing hitam.

    Entah siapa yang menjadi dalang dibalik kerusuhan, namun yang harus dijaga oleh pemerintah dan aparat keamanan adalah keselamatan demonstran. Nilai lebih dari Gus Dur dan SBY adalah tidak memenjarakan para penghujatnya dan mempersilahkan orang yang ingin mengkritiknya. Sikap presiden sebelumnya dalam mengawal reformasi dan demokrasi ini harus dicontoh oleh Jokowi.

    Wajar saja jika banyak pihak dalam dan luar negeri yang memandang pesimis perjalanan demokrasi di Indonesia selama pemerintahan Jokowi. Sikapnya terhadap oposisi dan penangkapan beberapa aktivis menjadi catatan hitam yang disesalkan setiap orang. Namun ditengah arus kritikan dan rasa pesimis, banyak rakyat yang meyakini bahwa  demokrasi di Indonesia masih memiliki titik cerah.

    Para aktivis masih melihat Jokowi memiliki nilai lebih dibanding lawan politiknya di Pilpres 2014-2019. Jokowi tidak menjadikan isu SARA dan identitas agama sebagai “gorengan politik”. Dalam kampanye lalu, Jokowi menyimbolkan dirinya sebagai wakil setiap golongan dan agama, sehingga banyak etnis minoritas yang masih menaruh harapan kepada Jokowi.

    Ditengah gejolak dan kekhawatiran kita terhadap reformasi dan demokrasi di Indonesia, sikap yang terbaik adalah tetap mengkritik secara sehat dengan kritik yang membangun. Jokowi bukan presiden yang SARA dan rasis seperti Trump, juga bukan otoriter seperti rivalnya di Pilpres. Harapan bagi demokrasi kita masih ada. Tugas kita adalah mengawal dan menjaga negara ini tetap demokratis sesuai cita-cita perjuangan Reformasi. Ini bukan hanya tugas Jokowi, tetapi adalah kewajiban kita bersama.

    Referensi 

    https://www.ajnn.net/news/peneliti-demokrasi-indonesia-sedang-berada-di-titik-terendah/index.html.

    https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190616181849-32-403725/survei-smrc-era-jokowi-dinilai-lebih-demokratis-dari-sby