“Negara ini negara demokrasi, tapi bukan negara bebas”, “Negara ini negara demokrasi, jadi kamu harus taat pada pemerintah yang dipilih rakyat”, “Negara kita negara demokrasi rakyat, jangan semau diri sendiri“, “Negara kita demokrasi, tetapi jangan kebablasan”, “Demokrasi menjamin kebebasan sipil, tapi saat ini malah kebebasannya bablas” …bla..bla..bla…
Sudah terlalu sering telinga kita mendengar bahwa negara kita berasas pada demokrasi. Hampir setiap warga Republik Indonesia paham bahwa negara kita adalah negara yang meyakini sistem demokrasi, tetapi pada praktik dan konsepsinya, banyak orang yang salah paham terhadap demokrasi bahkan mendistorsi makna demokrasi tersebut.
Di paragraf pembuka, penulis secara ringkas menggambarkan miskonsepsi dan kesalahpahaman masyarakat terhadap sistem demokrasi dan kebebasan sipil. Walaupun dari zaman bangsa kita dipimpin Bung Karno hingga dipimpin oleh Joko Widodo, kita sudah akrab dengan yang namanya “demokrasi”. Namun pada faktanya, penyelenggaraan demokrasi tersebut (jujur saja) tidak secara konsekuen dan menyeluruh ditegakkan.
Orang masih beranggapan bahwa demokrasi adalah pemilihan umum lima tahun sekali, bebas melakukan demonstrasi, memiliki parlemen, dan yang lebih gawat lagi, tolak ukur demokrasi adalah pemerataan pembangunan. Anggapan terakhir adalah perkataan dari seorang tokoh publik, Ansy Lema (pada acara Dua Arah di Kompas TV senin 14/10/19)
Makna demokrasi sendiri telah terkaburkan oleh kebijakan dan ideologi politik para diktator. Dan setiap diktator selalu mencuci otak rakyatnya, bahwa sistem yang dianutnya adalah demokrasi. Sebut saja Mao Tse Tung yang menyebut negara mereka sebagai negara yang berpegang pada sistem demokrasi rakyat. Begitu juga dengan Iran yang menganut Demokrasi Islam, Korea Utara, Mesir, Jerman Timur dan Uni Soviet (dua terakhir ini sudah almarhum), yang mengklaim bahwa negara mereka berasaskan pada demokrasi.
Tapi bisa kita lihat bahwa di negara-negara (yang mengaku demokratis) tersebut, kebebasan sipil makin mengetat, pers dibatasi, rakyat dibungkam, aktivis dan demonstran ditangkap. Bahkan angka kekerasan terhadap oposisi dan pengkritik cukup tinggi. Tentu saja tingginya angka kekerasan dan pembatasan pada kebebasan berekspresi bukanlah ciri demokrasi sejati.
Di Indonesia sendiri, terjadi pula sistem demokrasi dengan label tertentu, yaitu “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Demokrasi Terpimpin adalah istilah yang digunakan oleh Bung Karno untuk konsepsi sistem politiknya pada tahun 1959-1965. Saat itu Indonesia masih dalam keadaan revolusi, sehingga Bung Karno beranggapan bahwa sistem demokrasi liberal tidak cocok dan ia merumuskan konsep sistem demokrasi dengan komando oleh seorang pemimpin tertinggi.
Demokrasi Terpimpin membuat pemerintah eksekutif berperan amat besar sehingga trias politica sama sekali tidak berjalan. DPR berubah menjadi DPR GR yang anggotanya ditunjuk Presiden, MPR menjadi MPRS, dan pemilihan umum diundur. Demokrasi Terpimpin setidaknya merupakan kontrol pikiran. Rakyat bebas melakukan apa saja asal tidak melawan dan berseberangan dengan politik pemerintah. Walhasil, banyak tokoh oposisi di penjara dan koran dibredel.
Selepas era Bung Karno, Soeharto berkuasa selama 32 tahun dan menjalankan politik tangan besi lewat sistem Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah “pemanis” demokrasi, agar seolah-olah label Pancasila akan memberikan nuansa ke-Indonesiaan pada sistem demokrasi. Namun kenyataannya, demokrasi Pancasila tak jauh beda dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Soeharto melarang kritik pada dirinya dan menegaskan bahwa Demokrasi Pancasila tidak mengenal konsep oposisi, sehingga tiap partai harus tunduk pada pemerintah Orde Baru di bawah kendali Soeharto.
Walaupun keduanya menggunakan label “demokrasi”, namun keduanya bukanlah demokrasi. Sebab demokrasi yang mereka terapkan, pada praktiknya, bertentangan dengan semangat dan visi dari sistem demokrasi tersebut. Kedua demokrasi yang di lahirkan dizaman Orde lama dan Orde Baru bisa disebut sebagai pseudo demokrasi alias demokrasi absurd.
Demokrasi Label
Banyaknya interpretasi dan gagasan yang menyatukan gagasan tertentu dengan demokrasi telah membuat demokrasi mempunyai model-model yang banyak, sebagaimana istilah yang digunakan oleh ilmuwan politik terkemuka di Inggris, David Held, bahwa demokrasi memiliki banyak jenis dan rupa yang berbeda-beda.
Namun Lutfhi Assyaukanie melihat demokrasi yang banyak rupa tersebut sebagai “demagog dan ideologi yang sesungguhnya hanya berpura-pura mengusung demokrasi” karena banyak ideologi yang pada awalnya anti demokrasi, namun berubah wajah menjadi pembela sejati demokrasi ketika di seluruh dunia orang menjunjung sikap-sikap demokratis.
Mungkin lewat “demokrasi label” tersebut, para diktator dan politikus berhasil membungkus ideologi totaliter, oligarki, dan monarki seolah-olah sebagai suatu sistem yang demokratis dan berpihak pada rakyat. Namun, ada satu yang gagal ditiru oleh para demokrat palsu, yaitu jaminan atas kebebasan sipil.
Inti demokrasi adalah kebebasan sipil. Demokrasi menghendaki perpindahan kekuasaan dari kalangan tiran dan monarki menjadi beralih ke tangan rakyat. Jika ada suatu sistem yang berlandas pada demokrasi tapi masih tuman menindas rakyat banyak, masih rajim merazia pikiran orang-orang, masih getol menangkap aktivis, maka itu jelas bukan demokrasi.
Demokrasi sejati adalah sebuah tatanan politik dan sosial, yang menjadikan rakyat sipil sebagai titik sentralnya (bukan presiden, tentara atau raja). Ya, memang demokrasi menghendaki dalam pemerintahan diadakan pemilihan umum dan adanya wakil-wakil rakyat di parlemen. Namun, hal itu hanya adalah bentuk demokrasi (aksiden) bukan esensi demokrasi: kebebasan sipil.
Sekarang kita memang menjalankan sistem demokrasi. Rakyat dengan asyik berbondong-bondong datang ke TPS untuk memilih pilihannya, bahkan sekarang ada pendukung fanatik yang siap sehidup semati dengan calon pemimpinnya. Namun, hal ini tentu saja tidak cukup untuk disebut sebagai demokrasi. Korea Utara saja menggunakan sistem pemungutan suara untuk membentuk parlemennya, namun apakah Korea Utara negara yang demokratis?
Memang kita saat ini “katanya” sedang dalam sistem demokrasi, tapi demokrasinya harus begini, begitu, dan begono. Seperti yang diucapkan Dr. Sjahrir (seorang tokoh ekonom ternama), pemerintah gembar gembor mengatakan tentang demokrasi, kebebasan berekspresi, keterbukaan, tapi semua itu dengan banyak TAPI… Boleh begini, tapi tidak boleh mengkritik pemerintah. Boleh begitu, tapi tidak boleh berbeda dengan pemerintah. Boleh begono, tapi harus taat dan patuh pada wejangan pemerintah… Demokrasi dengan banyak TAPI yang kerap mengancam kebebasan sipil sama saja dengan bukan demokrasi!!!

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com