Dekriminalisasi Prostitusi: Solusi Pendekatan Liberal dan Praktek Lokalisasi

    314
    Sumber gambar: https://www.libertarianism.org/topics/sex-work

    Linimasa Twitter seolah menjadi keran informasi terkini di kehidupan masyarakatnya. Baru-baru ini, poster visual yang bertajuk ‘Bungkus Night Vol.2’ diviralkan oleh sebuah akun Twitter dengan username @sstellajeruk. Iklan yang diduga sebagai promosi prostitusi ilegal tersebut diunggah di kanal media sosial milik Urbanica. Atas dasar laporan masyarakat Twitter ini, polisi pun telah menetapkan lima tersangka yang dijerat dengan UU Pornografi dan UU ITE (bbc.com/20/06/2022). Polisi pun sudah menyegel lokasi acara ‘Bungkus Night’, yakni tempat spa dan pijat yang berlokasi di Jakarta Selatan tersebut.

    Sebenarnya isu tentang prostitusi telah ada jauh sejak masa perbudakan. Bahkan, prostitusi sebagai sebuah profesi seringkali disebut sebagai salah satu jenis pekerjaan tertua di dunia. Beberapa kelompok feminis sebelum tahun 1980-an meyakini bahwa prostitusi adalah pertanda dan contoh subordinasi perempuan yang tidak akan ada lagi saat wanita mendapatkan persamaan (Jeffeys, 2009). Bahkan, dikatakan bahwa toleransi ‘kebebasan seksual’ telah digabungkan dengan ideologi pasar bebas untuk merekonstruksi prostitusi sebagai ‘pekerjaan’ yang sah yang bisa menjadi dasar industri seks nasional dan internasional.

    Pernyataan ini diterapkan oleh beberapa negara melalui kebijakan legalisasi prostitusi. Dalam makalah yang diajukan badan nasional untuk legalisasi bisnis prostitusi di Nigeria, disebutkan kesuksesan bisnis rumah bordil di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat, Denmark, Finlandia, Argentina, Kanada, Jerman, Italia, Belgia, sampai Swiss (jawapos.com/06/01/2019). Indonesia sendiri masih menentang adanya praktek prostitusi ini. Seperti yang dilansir oleh sejumlah media cetak saat Anies Baswedan masih berstatus sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Ia menjanjikan penutupan tempat-tempat prostitusi di DKI Jakarta, seperti Alexis dan sebagainya.

    Beberapa alasan yang disertakan oleh orang-orang yang menyatakan kontra terhadap prostitusi adalah penyakit menular seksual (seperti HIV/AIDS), eksploitasi seksual, kekerasan seksual, human trafficking yang angkanya dianggap menanjak drastis karena adanya prostitusi. Lebih umumnya lagi, karena dalih agama. Intinya, prostitusi masih dianggap tabu dan amoral oleh beberapa lapisan masyarakat di Indonesia, walau sebagian besarnya lebih bertendensi ke hipokrit. Buktinya, walau banyak orang yang menentang prostitusi karena satu dan lainnya, tetap saja bisnis prostitusi masih banyak peminatnya.

    Sebagai profesi tertua yang diketahui dalam sejarah manusia, prostitusi tidak akan hilang dan malah akan terus bertumbuh. Ilegalisasi prostitusi tidak akan menyelesaikan masalah pemerkosaan, penyakit menular seksual, persebaran brothel-brothel, dan sebagainya. Sebaliknya, kebijakan legalisasi prostitusi justru memberi manfaat lebih yang sebelumnya mungkin tidak terpikirkan. Mulanya, kebijakan legalisasi prostitusi dilandaskan berdasarkan pendekatan liberal yang menerima kegiatan prostitusi sebagai bagian dari kehidupan yang sah dan menekankan hak perempuan yang memilih untuk bekerja di bidang ini. Pendekatan liberal berpendapat bahwa legalisasi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan alamiah pria yang memang harus dipenuhi (asalkan hal ini terjadi tanpa paksaan), kebutuhan akan pekerja seks itu sendiri, dan mencegah eksploitasi anak maupun perdagangan manusia (Abas, 2017: 22).

    Pendekatan liberal ini dimanifestasikan dalam wujud kebijakan lokalisasi. Beberapa tempat yang dikenal sebagai lokalisasi bisnis prostitusi di Indonesia sebenarnya banyak. Ada di Sarkem (Yogyakarta), Saritem (Bandung), Sintai (Batam), Gang Sadar (Banyumas), wilayah Jakarta Utara (Angke dan Kramat Tunggak) (malangtimes.com, 17/12/18). Lokalisasi prostitusi terbukti sukses dengan  pengawasan yang dilakukan pemerintah dengan lebih ketat sehingga transaksi dan prosesnya berjalan lebih aman. Kawasan Red Light District di Amsterdam, Belanda, merupakan salah satu contohnya. Bukan hanya menjadi ikon destinasi wisata dan budaya, tapi juga contoh nyata tempat praktik jual-beli jasa seks yang legal dan aman berlangsung selama puluhan tahun.

    Dengan menjadi favorit tersendiri bagi turis yang datang, lokasi bisnis prostitusi otomatis akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi ekonomi lokal yang berdampak pada devisa negara. Bila prostitusi dilegalkan, Pekerja Seks Komersial (PSK) akan dianggap sebagai pekerjaan yang diatur dalam hukum. Untuk itu, PSK harus bayar pajak karena profesi dan hak-hak kemanusiaannya dilindungi oleh negara. Dengan demikian, pajak checklist, permintaan pariwisata dari turis checklist, dan akhirnya devisa negara bertambah. Secara kasar, dapat diambil kesimpulan prostitusi merupakan lahan basah yang mendatangkan prospek bagus bagi negara.

    Dengan dekriminalisasi prostitusi, pemerintah diharapkan bisa meregulasi para pekerja seks komersial, dengan sosialisasi safe-sex, maupun dengan akses medis secara rutin untuk mencegah adanya penyakit menular seksual. Di Nevada, di mana prostitusi dilegalkan, para pekerja seks komersial melakukan tes darah perbulannya untuk HIV, Syphilis, serta pengecekan secara berkala untuk Gonorrhea dan Chlamydia trachomatis. Penggunaan kondom juga merupakan keharusan untuk para pekerja seks komersial di negara bagian Nevada di Amerika Serikat. STD, HIV, AIDS dapat berkurang angka penderitanya dengan regulasi pemerintah dan partisipasi masyarakat yang baik. Selain karena alasan medis, legalisasi prostitusi juga akan mengurangi angka kekerasan seksual dan pemerkosaan. Orang akan lebih ‘leluasa’ (tanpa takut labelling dari lingkungan sosialnya) ‘menyewa’ seseorang untuk memenuhi hasrat seksualnya, dibandingkan melampiaskannya kepada orang lain secara paksa.

    Setiap kebijakan memang akan menimbulkan pro dan kontra, termasuk lokalisasi prostitusi yang harus menghadapi beberapa tatanan nilai dan norma yang sudah dianut masyarakat Indonesia sejak lama. Namun, inilah kenyataan yang harus dihadapi. Perubahan ini akan terjadi, hanya soal siapa yang memulainya. Akan terjadi pergeseran nilai moral, dan akan terjadi mass-shock pada beberapa lapisan masyarakat dalam masa transisi. Nilai dan norma akan terus berganti seiring berjalannya waktu, akan ada beberapa stigma dan statement konservatif yang tidak lagi relevan.

    Referensi

    Artikel

    https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61821855 Diakses pada 21 Juni 2022, pukul 15.39 WIB.

    https://www.malangtimes.com/baca/34195/20181217/073300/tujuh-lokalisasi-terbesar-di-indonesia-ada-yang-masuknya-lewat-gang-pondok-pesantren Diakses pada 21 Juni 2022, pukul 17.10 WIB.

    Jurnal

    Abas. (2017). “Industrialisasi Vagina: Potret Kebijakan Pelacuran”. Journal of Public Sector Innovations, Vol. 2, No. 1, pp  (17 – 25). Diakses pada 22 Juni 2022, pukul 09.30 WIB melalui https://www.researchgate.net/publication/333315211_INDUSTRIALISASI_VAGINA_POTRET_KEBIJAKAN_PELACURAN

    Jeffreys, S. (1999). “Globalising Sexual Exploitation: Sex Tourism and the Traffic in Women”. Leisure Studies, Vol. 18 (3): 179–96. Diakses pada 22 Juni 2022, pukul 10.11 WIB melalui https://doi.org/10.1080/026143699374916.