Toleransi beragama kembali berduka di bumi nusantara. Pada bulan Desember lalu, beberapa daerah di Sumatera Barat mengeluarkan larangan perayaan Natal di daerahnya. Daerah yang mengeluarkan larangan tersebut diantaranya adalah Kabupaten Dharmasraya dan Nagari Lunang Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan.
Dikutip dari CNN Indonesia (21/12/2019), padahal di daerah tersebut terdapat beberapa penduduk yang menganut agama Kristen. Di Kabupaten Dharmasraya tercatat ada 22 keluarga, serta di Nagari Lunang Silaut terhadap 15 keluarga.
Pemerintah Kabupaten Dharmasraya misalnya, berdalih bahwa sesungguhnya tidak ada larangan perayaan Natal. Pemerintah kabupaten menyatakan bahwa yang ada adalah himbauan kepada penganut agama Kristen untuk merayakan Natal di rumah ibadah yang ditunjuk oleh pemerintah, dan bukan di rumah-rumah penduduk atau tempat-tempat lainnya.
Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah bahwa di daerah tersebut tidak terdapat gereja yang dapat digunakan untuk merayakan Natal. Gereja terdekat dari Kabupaten Dharmasraya berada di daerah Sawahlunto yang jaraknya 135 KM.
Alasan dari adanya aturan tersebut adalah dikarenakan untuk mencegah konflik horizontal yang nanti akan terjadi apabila ada umat Kristen yang merayakan Natal di rumah penduduk. Celakanya, putusan tersebut juga diamini oleh Menteri Agama, Fachrul Razi.
Menteri Agama, dikutip dari Jawa Pos (21/12/2019) menyatakan bahwa perayaan Natal di Sawahlunto merupakan bagian dari kesepakatan bersama, karena tidak ada gereja di Kabupaten Dharmasraya. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat mengecewakan mengingat Fachrul Razi pernah menyatakan bahwa ia siap melawan radikalisme dan esktrimisme agama.
Padahal menurut amanat Undang-Undang Dasar tahun 1945, hak beragama merupakan bagian dari hak fundamental yang tidak boleh dikurangi apalagi dicabut. Dalam Pasal 28 I Ayat (1), dinyatakan dengan jelas bahwa: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Tidak hanya melalui UUD 1945, Indonesia sendiri pada tahun 2005 sudah meratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights / ICCPR). Dalam Pasal 17 Ayat (1) ICCPR ditulis bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.”
Kejadian mengenaskan yang menimpa umat Kristen di Provinsi Sumatera Barat tersebut tentu bukan satu-satunya kasus pelanggaran atas kebebasan beragama di Indonesia. Pelanggaran kebebasan beragama, baik dalam bentuk kekerasan secara langsung yang dilakukan oleh aparat, atau dalam bentuk pengabaian oleh pemerintah atas tindakan kekerasan dari masyarakat terhadap kelompok keagamaan tertentu merupakan salah satu permasalahan besar di Indonesia.
Tidak sedikit kasus dimana pengikut agama minoritas di berbagai tempat di Indonesia menjadi korban pengusiran, penggusuran, pembubaran kegiatan ibadah, hingga pelarangan organisasi. Mulai dari kelompok Syiah di Sampang, umat Ahmadiyah di berbagai daerah, hingga umat Kristen yang dilarang mendirikan gereja di berbagai wilayah di Indonesia.
Kebebasan beragama merupakan hak fundamental setiap warga negara, dan pemerintah wajib memberi jaminan penuh atas hak tersebut. Tidak boleh ada satu warga pun yang harus menghadapi diskriminasi hingga tindakan kekerasan hanya karena keyakinan dan kepercayaan yang ia anut.
Konflik horizontal tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu resiko yang harus mampu diatasi di dalam masyarakat yang majemuk. Hampir setiap wilayah di dunia yang memiliki keanekaragaman identitas di tengah masyarakatnya, baik suku, ras, ataupun agama, konfilk horizontal akan selalu muncul dan tidak bisa dihilangkan sepenuhnya.
Namun, langkah yang harus dilakukan pemerintah sebagai pihak yang menjadi penjamin dan pelindung kebebasan beragama bukanlah tunduk pada sekelompok kalangan yang kerap ingin memaksakan keyakinannya kepada orang lain yang berbeda.
Bila ada sekelompok kalangan yang ingin melarang umat beragama lain untuk beribadah, atau bahkan mengeluarkan ancaman, maka pemerintah harus menindak kelompok yang memberi ancaman tersebut. Pemerintah tidak boleh justru menjadi pihak yang membantu kelompok-kelompok ekstrimis tertentu untuk memaksakan kehendaknya melalui cara mengebiri kebebasan beragama kelompok minoritas.
Apabila pemerintah dan aparat-aparatnya justru tunduk pada kelompok-kelompok ekstrimis, maka pemerintah tidak lagi memiliki manfaat. Karena pada situasi tersebut, pemerintah telah gagal memenuhi salah satu kewajiban utamanya serta menjalankan fungsinya yang paling dasar, yakni melindungi hak fundamental waga negara dan memastikan adanya rasa aman untuk seluruh anggota masyarakat dari tindakan-tindakan kekerasan.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.