Perdebatan mengenai hak warga negara memang merupakan salah satu perdebatan yang kerap muncul dalam diskursus politik maupun filsafat politik. Isu mengenai hak, merupakan salah satu isu yang paling sentral untuk menjadi dasar justifikasi pilihan sistem politik dan kebijakan publik seperti apa yang akan kita ambil.
Apakah sebuah negara akan mengadopsi sistem demokrasi atau autoritarian, merupakan diskursus yang tidak bisa dipisahkan dari konsep mengenai hak warga negara. Begitu pula bila kita membahas mengenai kebijakan publik, seperti apakah negara perlu menyediakan sarana kesehatan atau tidak, atau apakah negara perlu memiliki wewenang untuk mengintai warganya dengan mengatasnamakan keamanan, atau hal tersebut adalah bentuk pelanggaran privasi.
Seorang yang memiliki ideologi liberal klasik atau libertarian, akan cenderung meletakkan hak sipil dan politik sebagai sesuatu yang sangat fundamental dalam perdebatan mengenai sistem kenegaraan dan kebijakan publik. Hak sipil dan politik merupakan sesuatu yang terberi dan melekat pada diri setiap individu. Oleh karena itu, kita harus dapat membangun sistem politik yang menjaga hak sipil dan politik, dan mengambil kebijakan publik yang tidak mencederai hak-hak tersebut.
Hak sipil dan politik atas kebebasan berbicara, kebebasan beragama, kebebasan pers, kebebasan untuk bepergian, hak hidup, hak privasi, hak atas kepemilikan, dan hak untuk membela diri di hadapan pengadilan meruapakan beberapa hak fundamental yang wajib dilindungi dan tidak boleh dirampas oleh negara. Kebijakan pengintaian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warganya misalnya, merupakan kebijakan yang tidak bisa diterima, karena hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak privasi.
Sementara itu, mereka yang memiliki ideologi progresif atau sosialis akan cenderung menganggap bahwa hak sipil dan politik saja tidak cukup. Selain hak sipil dan politik, kita juga memiliki hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara.
Hak ekonomi, sosial, dan budaya ini mencakup diantaranya hak untuk mendapat pendidikan, sarana kesehatan, dan tempat tinggal. Untuk itu, negara wajib menyediakan sarana tersebut, demi menjaga hak ekonomi, sosial, dan budaya warganya. Salah satu kandidat calon Presiden Amerika Serikat tahun 2020 lalu dari Partai Demokrat, Senator Bernie Sanders, yang mendeskripsikan dirinya sebagai Demokrat-Sosialis, mengatakan bahwa hak untuk mendapatkan sarana kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia (NYTimes, 9/9/2019).
Lantas, pertanyaan yang lebih mendasar dari perdebatan tersebut, dari manakah hak-hak ini berasal? Siapa yang memberikan hak-hak tersebut sehingga wajib dilindungi oleh negara?
*****
Salah satu teori mengenai asal usul hak yang paling dasar adalah teori mengenai hak alamiah (natural rights theory). Teori mengenai hak alamiah merupakan salah satu fondasi dari gagasan liberalisme klasik dan libertarianisme, dan sudah dirumuskan oleh berbagai pemikir dan filsuf hingga berabad-abad yang lalu.
Filsuf kenamaan asal Inggris, yang sering dianggap bapak liberalisme, John Locke, misalnya, memiliki pandangan bahwa hak adalah sesuatu yang dimiliki oleh setiap manusia secara alamiah dan oleh karena itu tidak dapat dicabut. Hak-hak natural tersebut diantaranya adalah hak untuk hidup, hak mendapatkan kebebasan, dan hak atas kepemilikan (life, liberty, and property) (FEE.org, 1/8/1996).
Karena hak-hak tersebut merupakan hak natural dan tidak dapat dicabut, maka negara wajib melindunginya. Tidak ada pihak yang dapat mencabut hak seseorang atas kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan, sekalipun melalui kontrak sosial.
Filsafat Locke ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pendirian negara Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat ke-3, Thomas Jefferson, dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, menulis bahwa Tuhan memberikan hak untuk hidup, memiliki kebebasan, dan mencari kebahagiaan kepada manusia (latimes.com, 1/7/2018).
Namun, konsepsi hak yang dilhat sebagai sesuatu yang natural dan alamiah ini bukan tanpa kritik. Bagi beberapa pihak, konsepsi hak tersebut tidak bisa dipisahkan dari kredo pemikiran dan filsafat Barat, dan juga kultur Judeo-Kristen yang berkembang di negara-negara Eropa dan Amerika. Oleh karena itu, tidak cocok untuk diterapkan di negara-negara yang memiliki sejarah dan budaya yang berbeda.
Ilmuwan politik asal China, Eric Li, misalnya, dalam dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh lembaga think tank asal Amerika Serikat, Aspen Institute, menyatakan bahwa, bila bagi pemikir-pemikir Barat, hak-hak fundamental tersebut adalah sesuatu yang universal, lantas, dari manakah hak-hak ini berasal? Dari mana seseorang mendapatkan hak, seperti kebebasan berbicara dan kebebasan pers? (Eric Li, 2011).
Li mengatakan bahwa, bila hak tersebut didapatkan oleh kita dari sesama manusia, maka hak-hak tersebut bukanlah sesuatu yang fundamental, dan bisa dikurangi dan dinegosiasikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat di suatu daerah tertentu. Li dalam hal ini membela berbagai kebijakan yang diambil oleh Partai Komunis China di negaranya, yang sering dianggap oleh banyak pemikir Barat sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak fundamental seseorang, sebagai sesuatu yang bisa dijustifikasi (Eric Li, 2011).
Namun, bila kita menganggap bahwa hak-hak fundamental tersebut didapatkan seseorang dari Tuhan dan maka dari itu tidak boleh dicabut atau dikurangi, Li mengatakan bahwa, maka dari itu, hak-hak tersebut tidak bisa dijustifikasi di negara-negara yang memiliki tradisi dan kultur yang berbeda. Li mengatakan bahwa sejarah pemikiran filsafat politik Barat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Judeo-Kristen, dan sementara China memiliki sejarah perkembangan pemikiran filsafat politik yang berbeda dengan negara-negara Barat (Eric Li, 2011).
Saya menganggap bahwa apa yang diungkapkan oleh Li tidak sepenuhnya salah. Deklarasi Amerika Serikat yang ditulis oleh Thomas Jefferson misalnya, yang menyatakan bahwa Sang Pencipta memberikan kepada manusia hak untuk hidup, bebas, dan mencari kebahagiaan, tidak bisa dilepaskan dari kultur Judeo-Kristen di Amerika Serikat.
Namun, mengakui bahwa hak merupakan sesuatu yang akodrati dan inheren terhadap diri setiap manusia, bukan berarti lantas harus diikuti dengan keyakinan bahwa hak-hak tersebut adalah tanpa batas dan tidak boleh dikurangi dalam hal apapun. Bahkan di negara-negara Barat sendiri yang sangat liberal, kebebasan berbicara, beragama, dan hak kepemilikan bukanlah sesuatu yang mutlak, dan bisa dikurangi dan dibatasi pada situasi tertentu.
Di negara-negara Barat misalnya, hak kepemilikan atas rumah merupakan sesuatu yang dilindungi negara, namun bukan berarti lantas seseorang bisa melakukan hal apapun di dalam rumahnya. Seseorang tidak bisa menyalakan musik dengan suara yang keras di malam hari, karena perbuatan tersebut dapat mengganggu orang lain yang sedang beristirahat.
Hak atas kebebasan berbicara misalnya, juga bukan sesuatu yang tanpa batas. Di negara-negara Eropa seperti Jerman misalnya, mengibarkan bendera Nazi adalah sesuatu yang dilarang, karena sejarah kelam Nazi yang menimpa Jerman dan negara-negara Eropa lainnya. Tidak ada negara manapun, dan seliberal apapun, yang menerapkan suatu hak secara mutlak tanpa batas.
Pertanyaan selanjutnya yang sangat penting adalah, siapakah yang berhak menentukan batasan dari hak-hak tersebut? Apakah kita akan memberikan kekuasaan untuk menentukan batasan tersebut mutlak hanya kepada penguasa dan para pejabat tinggi yang tidak kita pilih, atau kita memberikan kepada seluruh anggota masyarakat untuk saling berdiskusi dan berdebat, serta mengutarakan pendapat dan pandangan mereka mengenai batas-batas tersebut?
Hali ini bagi saya merupakan sesuatu yang sangat penting, dan sering diabaikan oleh para opologis sistem-sistem otoritarian seperti Eric Li. Di negara demokrasi, publik memilki kesempatan untuk saling berdebat, berdiskusi, dan menentukan batasan-batasan dari hak-hak tersebut. Setiap warga negara memiliki kesempatan untuk mengutarakan dan menyampaikan pandangannya mengenai batas-batas tersebut.
Hal ini tentu berbanding terbalik dengan yang terjadi di negara-negara otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara otoriter seperti China misalnya, para petinggi partai penguasa secara mutlak menentukan mengenai batas-batas hak yang dimiliki oleh warga negara.
Sebagai penutup, perbedaan kultur juga tidak bisa dijadikan justifikasi bagi sistem otoritarian di negara-negara non-Barat, seperti negara-negara Asia, sebagaimana yang diujarkan oleh Eric Li. Saat ini, kita bisa menyaksikan bahwa perlindungan atas hak-hak individu bukan menjadi halangan bagi negara-negara non-Barat di Asia untuk maju, seperti di Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan. Negara-negara tersebut sukses menjadi negara demokrasi dan mencapai kesejahteraan yang sangat tinggi.
Referensi
Diskusi Publik
https://www.youtube.com/watch?v=u2JUHnrb14U Diakses pada 14 Desember 2020, pukul 02.05 WIB.
Internet
https://www.nytimes.com/2019/09/09/us/politics/bernie-sanders-health-care.html Diakses pada 13 Desember 2020, pukul 21.15 WIB.
https://fee.org/articles/john-locke-natural-rights-to-life-liberty-and-property/ Diakses pada 13 Desember 2020, pukul 22.45 WIB.
https://www.latimes.com/opinion/op-ed/la-oe-ellis-pursuit-of-happiness-20180701-story.html Diakses pada 14 Desember 2020, pukul 00.30 WIB.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.