Jika kita menilik aliran-aliran atau mazhab dalam Islam, sangat banyak sekte-sekte ‘pinggiran’ atau yang dipinggirkan dengan konsep yang modern, liberal, dan unik. Salah satunya adalah keyakinan yang dianut oleh komunitas Muslim Ahmadiyah.
Belakangan, komunitas Muslim Ahmadiyah kembali mencuat dalam pemberitaan nasional. Pemerintah Kabupaten Garut, pada 6 Mei 2021, melakukan penutupan secara sepihak masjid yang dikelola oleh komunitas Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Petugas Satuan Polisi Pamong Praja yang dipimpin oleh Kepala Satpol PP Kabupaten Garut, Bambang Hapidz, bersama unsur FORKOPIMCAM Cilawu, menutup Masjid dengan memasang garis batas yang menandakan bahwa bangunan tersebut disegel. Penyegelan itu dilakukan dengan dalih adanya Surat Edaran Bupati mengenai pelarangan aktivitas dan pembangunan Masjid Jemaat Ahmadiyah di Kampung Nyalindung, Garut.
Pihak Bupati Garut sendiri menggunakan dalih SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah, dan Pergub Jawa Barat No 12 tahun 2011 untuk melakukan penyegelan dan pelarangan aktivitas ibadah para pemeluk Ahmadiyah. Hal ini tentu saja mengundang berbagai protes, salah satunya dari Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid. Alissa mengecam dan menyayangkan penyegelan yang dilakukan Pemkab Garut ketika komunitas Muslim Ahmadiyah tengah khusyuk menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
“Di tengah khusyuknya sebagian besar masyarakat Indonesia menjalani ibadah puasa di tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, terjadi peristiwa memilukan. Pemerintah Kabupaten Garut melakukan tindakan inkonstitusional dengan menutup masjid di Kampung Nyalindung, Desa Ngamplang, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut pada 6 Mei 2021.” terang Alissa Wahid dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 7 Mei 2021 (SeputarTangsel.com, 10/5/2021).
“Ini tentu mencederai semangat kebangsaan dan keberagaman yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ironisnya, penutupan masjid dilakukan saat umat muslim (Ahmadiyah) tengah melaksanakan salah satu rukun Islam, yaitu berpuasa di bulan Ramadhan” sambungnya.
Diskriminasi yang dialami oleh komunitas Muslim Ahmadiyah bukan hanya terjadi sekali ini saja. Mereka juga mendapatkan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan secara sepihak oleh ormas radikal. Beberapa peristiwa tersebut diantaranya adalah peristiwa Cikeusik pada tahun 2008, pengusiran warga Ahmadiyah di Lombok Timur tahun 2018 lalu, dan terakhir terjadi di Garut 6 Mei lalu.
*****
Yang menjadi pertanyaan, mengapa komunitas Ahmadiyah selalu dipinggirkan? Kenapa mereka didiskriminasi? Dan apa alasannya mereka seolah mendapat pembiaran hukum sehingga kasus kekerasan terhadap komunitas mereka selalu terjadi?
Secara ringkas, kekerasan yang dialami oleh Muslim Ahmadiyah disebabkan oleh adanya perbedaan teologi atau keyakinan. Perbedaan keyakinan dalam masalah teologi ini jelas memiliki dampak besar dan berpengaruh secara sosial, sebab ranah keyakinan adalah ranah yang sensitif. Apalagi, sebagian masyarakat kita masih menganut pola teologi yang eksklusif sehingga mereka cenderung kontra jika terdapat pemahaman keagamaan yang cenderung berbeda.
Secara garis besar, komunitas Muslim Ahmadiyah memiliki keyakinan teologi yang unik dari teologi yang umumnya dianut oleh Muslim Indonesia. Mereka meyakini bahwa wahyu Tuhan tidak terputus dan masih tersambung hingga sekarang.
Istilah Ahmadiyah sendiri merujuk kepada identitas sebuah jemaah yang meyakini dan mempercayai ajaran seorang yang mendapatkan wahyu ilahi bernama Mirza Ghulam Ahmad. Kaum Ahmadiyah meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang al-Masih (Yesus Kristus) dan al-Mahdi (Imam penolong umat Islam).
Keyakinan komunitas Ahmadiyah ini membuat mayoritas umat Muslim, khususnya Sunni, marah dan menjustifikasi mereka sebagai aliran sesat. Dalam pandangan mainstream, wahyu ilahi sudah terputus dan berhenti dengan wafatnya Nabi Muhammad yang menjadi Nabi penutup, sehingga tidak ada lagi wahyu yang turun kepada manusia.
Meskipun hanya memiliki perbedaan dalam ranah teologi atau penafsiran agama, implikasi yang terjadi sangat besar. Masyarakat menolak kehadiran Ahmadiyah yang dicap sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan kemudian membuat tindakan-tindakan main hakim sendiri seperti menganiaya, mengintimidasi, dan memaksa mereka untuk menghentikan aktivitas ibadahnya.
Love For All Hatred For None
Meskipun komunitas Muslim Ahmadiyah terus mendapat tekanan, diskriminasi, dan juga intimidasi fisik, namun dalam gerakan dakwah mereka ‘haram’ hukumnya untuk membalas berbuat jahat pada musuh-musuh mereka. Ahmadiyah memiliki prinsip bahwa Islam adalah agama pembawa kedamaian, sehingga mereka ingin menjadi pionir dalam penegakkan ajaran damai tersebut.
Sebagaimana ucapan Mirza Ghulam Ahmad dalam kitab Malfuzat, “Menurut saya, cara terbaik penyebaran agama adalah karena adanya faktor keindahan-keindahan dan kebagusannya. Itulah agama yang dengan sendirinya menyusup ke dalam jiwa” (Ahmad, 2006).
Karena itulah , emaat Ahmadiyah menyikapi tekanan dan diskriminasi yang mereka terima dengan prilaku yang baik dan menyebarkan kasih sesuai dengan prinsip mereka “Love for All Hatred for None”. Hingga detik ini, Jemaat Ahmadiyah masih aktif melakukan kontribusi seperti melakukan kegiatan donor darah, sedekah, bantuan bencana alam, dan kegiatan kemanusiaan lainnya (Tirto.id, 13/6/2017).
Sayangnya, slogan cinta yang digaungkan oleh komunitas Muslim Ahmadiyah dan juga kontribusi sosial yang mereka lakukan, tidak dianggap oleh pemerintah. Dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan kekerasan yang dialami oleh komunitas Muslim Ahmadiyah, pemerintah hanya bisa bergeming tanpa memberi solusi tuntas.
*****
Dalam Forum diskusi Webinar Suara Kebebasan pada 21 Agustus 2020 lalu, Tenaga Ahli Kedeputian V Kantor Staf Presiden dan pegiat isu-isu kebebasan beragama, Rumadi Ahmad, menyayangkan sikap negara dan aparat penegak hukum yang seolah melakukan pembiaran terhadap berbagai aksi diskriminasi terhadap Ahmadiyah.
Negara dalam hal ini terlalu lunak terhadap tuntutan-tuntutan ormas dan kelompok masyarakat tertentu, sehingga komunitas keagamaan atau aliran kepercayaan dikorbankan hanya demi menentramkan keadaan. Seperti pembangunan gereja yang terhambat karena desakan ormas, penyegelan paseban komunitas Sunda Wiwitan, dan juga penyegelan Masjid milik Muslim Ahmadiyah adalah contoh buruknya penegakan hukum oleh pemerintah dan aparatur negara (Suara Kebebasan, 20/8/2020).
Kasus Ahmadiyah hanyalah segelintir kasus yang gagal dipecahkan solusinya oleh pemerintah. Pemerintah kita lebih menekankan kerukunan dan harmoni sosial ketimbang kebebasan, sehingga apa yang terjadi di Garut (penyegelan masjid milik komunitas Muslim Ahmdiyah) dilakukan dengan mengatasnamakan kerukunan dan kebaikan bersama.
Sangat disayangkan ketika pemerintah tidak dapat mengelola potensi yang besar dari kebhinnekaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Harusnya, pemerintah mau merangkul dan menjamin kebebasan jemaat Ahmadiyah yang terbukti memiliki peran historis dan sosial di tengah masyarakat. Namun sayangnya, para pejabat dan politisi lebih mendengar suara ormas dan juga citra politik ketimbang menjunjung nilai-nilai kebebasan, toleransi dan kemanusiaan.
Referensi
Buku
Ahmad, Mirza Ghulam. 2006. Malfuzat, jil.2. Jakarta: Neratja.
Internet
https://seputartangsel.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-141895685/jaringan-gusdurian-kecam-penyegelan-masjid-ahmadiyah-oleh-pemkab-garut Diakses pada 11 Mei 2021 pukul 04.32 WIB.
https://suarakebebasan.id/cerita-forum-kebebasan-webinar-kebhinnekaan-dan-kebebasan-beragama-di-indonesia/ Diakses 11 Mei 2021, pukul 06.14 WIB.
https://tirto.id/muslim-ahmadiyah-menebar-kebaikan-sekalipun-dipersulit-cqyV Diakses pada 11 Mei 2021, pukul 05.23 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com