Beberapa minggu terakhir ini, kasus mengenai kartun Nabi Muhammad yang dimuat di harian Prancis, Charlie Hebdo, kembali diperbincangkan. Hal ini bermula dari dipenggalnya seorang guru karena menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di hadapan murid-muridnya. Kabar tersebut menyebar ke seluruh dunia, dan kemudian berubah menjadi lautan amarah bagi umat Muslim di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Kasus tersebut juga berujung dengan pembunuhan kembali tiga warga Prancis.
Berbagai macam kecaman dan juga caci maki diarahkan pada Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang dianggap telah melecehkan Islam dalam pidatonya yang membela hak warga Prancis untuk menggambar karikatur tersebut. Meski sebenarnya yang menjadi sasaran Macron dalam pidatonya bukan Islam secara keseluruhan, tapi Islam ekstrimis.
Kecaman dan caci maki ini datang bukan cuma dari kalangan umat Islam biasa saja, namun juga dari pemimpin-pemimpin negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Tulisan saya ini bukanlah sebuah pembelaan atau penentangan terhadap Charlie Hebdo. Saya tidak memiliki tendensi untuk menyatakan apakah saya menentang atau tidak, dan memang bukan itu poin yang mau saya bicarakan dalam tulisan ini.
Tulisan saya ini hanya mencoba membahas tentang bagaimana seorang libertarian melihat kasus ini. Tidak lebih dan tidak kurang. Saya juga mau mengatakan, bahwa membela hak tidak sama dengan menyetujui perbuatan atau perkataan tertentu.
Sebagai contoh, saya membela kebebasan berbicara Anda karena kebebasan berbicara adalah bagian dari hak setiap manusia. Namun, bukan berarti saya akan setuju dengan pendapat yang Anda sampaikan. Dalam diskusi kebebasan, hal ini dirumuskan dalam kata-kata yang cukup bagus, yakni “Saya tidak setuju dengan perkataan Anda, tapi saya akan memperjuangkan hak Anda untuk berkata demikian”.
Ulasan lain yang lebih panjang terkait ini bisa dibaca dalam tulisan Haikal Kurniawan berjudul “Membela Hak Bukan Berarti Menyetujui” yang bisa dibaca di portal Suara Kebebasan. Saya menyarankan pembaca terlebih dahulu membaca tulisan tersebut sebelum melanjutkan membaca tulisan saya ini (SuaraKebebasan.id, 14/07/2020).
Bagi saya, konflik utama dari kasus Charlie Hebdo adalah terkait batasan kebebasan itu sendiri. Apakah kebebasan memiliki batasan? Jawaban tentu ya, kebebasan memiliki batasan. Lantas, apa batasan kebebasan? Di sini polemiknya. Bagi kalangan konservatif religius maupun libertarian sama-sama sepakat bahwa kebebasan jelas ada batasnya.
Namun masalahnya, orang lain pun memiliki kebebasan yang sama seperti saya termasuk kebebasan untuk mengganggu hidup saya. Sedangkan saya tidak mau diganggu hidupnya oleh siapapun. Orang lain juga demikian, tidak mau diganggu hidupnya, maunya mengganggu hidup orang lain.
Maka, sebagai gantinya saya dan orang lain, masing-masing bebas melakukan apapun yang mereka inginkan selama tidak saling mengganggu hidup satu sama lain. Saya bebas atas apa yang mau saya lakukan selama saya tidak mengganggu hidup Anda. Anda bebas untuk melakukan apa yang Anda mau lakukan selama tidak mengganggu hidup saya.
Lantas, apa batasanya? Jika kita melihat deskripsi singkat di atas terkait mengapa seorang libertarian memandang bahwa kebebasan jelas ada batasnya, maka bisa diambil kesimpulan bahwa seseorang bebas selama tidak mengganggu hidup orang lain. Namun, sebenarnya ini juga masih tidak menjawab pertanyaan. Apa standar suatu perkataan atau perbuataan dikatakan “mengganggu” ini?
Libertarian memberikan jawaban yang sederhana. Batasan atas kebebasan adalah diri (tubuh dan kehidupan di dalamnya) dan properti (harta benda pribadi). Jadi, Anda bebas selama dalam diri dan properti Anda atau Anda bebas selama tidak mengganggu diri dan properti orang lain. Implikasinya, Anda bebas selama tidak melukai fisik orang lain atau memberikan kerugian material pada orang lain. Jika Anda melakukan sebuah perbuatan yang kemudian melukai diri Anda sendiri atau menimbulkan kerugian material bagi Anda sendiri, tidak masalah, asal orang lain tidak ikut mengalami kerugikan dari perbuatan yang Anda lakukan.
Bagi saya, batasan dalam libertarian itu adalah sesuatu yang masuk di akal atau rasional. Mengapa? Karena batasan semacam itu adalah satu-satunya batasan yang bisa diukur, empiris, dan memiliki wujud kerugian yang jelas. Ketika Anda melukai tubuh saya misalnya, saya bisa menunjukkan luka fisik tersebut. Dokter bisa memeriksa apakah itu betul-betul luka atau buatan, dan polisi bisa mencari bukti-bukti empiris apakah saya melukai diri saya sendiri atau memang Anda melukai saya. Sama juga dengan bila saya merusak properti Anda, saya bisa menunjukkan harta benda saya yang mana yang dirusak. Bisa juga dihitung juga berapa kerugian yang saya alami akibat pengrusakan tersebut.
Sederhananya, batasan diri dan properti adalah batasan yang terukur, bisa diamati, dan memiliki wujud yang konkret. Singkatnya, batasan ini tidak sama seperti perasaan. Sebagian orang sering menggunakan dalih ketersinggungan untuk membatasi kebebasan orang lain.
Tetapi, bagaimana cara mengukur perasaan itu? Bukankah perasaan itu sesuatu yang sangat subjektif dan juga abstrak? Kita tidak pernah betul-betul tahu perasaan orang. Tulisan saya yang tidak ada kata ofensif dan ad hominem ini saja bisa jadi menyinggung pihak-pihak tertentu. Apa berarti saya perlu dibatasi kebebasannya dalam menulis tulisan seperti ini?
Sebagaian orang menyatakan bahwa batasan atas kebebasan adalah iman seseorang. Bagi saya, ini juga bukan batasan yang jelas. Thomas Paine sendiri memaparkan argumen yang bagus untuk ini. Agama-agama itu sendiri pada hakikatnya memiliki nilai “kritik atau hinaan satu sama lain” (Paine, 2000).
Misalnya, bila seseorang menganggap Tuhan agama lain sebagai palsu atau berhala bukankah itu juga bisa dikategorikan sebagai penghinaan? Atau ada standar ganda yang dimainkan di mana jika menyasar agama A, maka itu penistaan, tapi jika tidak menyasar agama A, maka itu bukan penistaan?
Pada akhirnya, saya masih melihat batasan kebebasan yang diberikan oleh libertarian adalah satu-satunya batasan masuk akal, terukur, objektif, dan bisa diamati. Implikasi dari batasan kebebasan ini adalah bahwa seseorang bebas melakukan apapun selama dalam diri atau propertinya sendiri. Termasuk tentunya bebas membuat karikatur tertentu, yang menyasar kalangan tertentu, selama dia tidak menimbulkan luka fisik dan kerugian material pada orang lain. Karikatur jelas tidak menimbulkan luka fisik dan kerugian material. Jadi silakan-silakan saja.
Tapi bagaimana jika tidak setuju? Apakah salah jika ada orang yang tidak setuju dengan karikatur Charlie Hebdo atau karikatur yang lain?
Bagi saya tentu tidak masalah. Setuju tidak setuju itu juga bagian dari kebebasan Anda. Termasuk juga Anda bebas untuk memboikot barang-barang Prancis, karena toh itu uang Anda dan harta benda Anda, bukan milik orang lain. Jadi, terserah Anda mau digunakan sesuai dengan yang Anda inginkan. Juga kebebasan Anda juga kalau ingin membuang barang-barang tertentu yang bermerek perusahaan dari Prancis, karena toh itu barang milik Anda.
Jika ada orang lain yang mengungkapkan setuju dengan Charlie Hebdo, itu juga merupakan hak mereka. Anda mau berdebat dengan mereka, membantah mereka, mencaci maki mereka, sah-sah saja. Tentu selama Anda tidak menggunakan kekerasan untuk menimbulkan luka fisik atau mengambil nyawa orang tersebut atau merusak harta bendanya.
Dari sudut pandang ini, saya jelas mengutuk kasus pembunuhan dan pemenggalan yang terjadi di Prancis. Bagi saya, itu sudah bukan kebebasan lagi, karena ada fisik yang dilukai atau hidup yang diambil. Salah besar jika dikatakan bahwa tindakan semacam itu juga bagian dari kebebasan. Karena hakikatnya, batasan atas kebebasan adalah selama Anda tidak melakukan penyerangan yang melukai fisik atau merusak properti orang lain.
Referensi
Paine, T. 2000. Daulat Manusia: Jawaban atas Serangan Burke terhadap Revolusi Prancis. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
https://suarakebebasan.id/membela-hak-bukan-berarti-menyetujui/ diakses pada 1 November 2020, pukul 19.38 WIB.

Sekedar manusia biasa. Tidak suka kopi dan rokok. Pro dengan gagasan-gagasan pencerahan. Hidup lebih baik dari pada yang kita duga.