Cerita Webinar Forum Kebebasan tentang Polemik Kebijakan Minyak Goreng

314

Minyak goreng merupakan komoditas penting bagi rumah tangga di Indonesia. Hampir seluruh resep masakan dan pangan ringan apapun membutuhkan minyak goreng. Ketika harga minyak goreng melonjak tajam pada bulan Februari hingga Maret 2022, masyarakat sontak mengalami kepanikan, khususnya ibu rumah tangga dan para pedagang.

Pemerintah sendiri menanggapi kepanikan masyarakat dengan melakukan kebijakan kontrol harga. Salah satunya adalah dengan menetapkan harga minyak goreng dari yang di pasar mulai menyentuh angka 18-20 ribu rupiah per liter menjadi 14 ribu rupiah per liter.

Alih-alih situasi menjadi normal karena pemerintah telah mengontrol harga pasar minyak goreng, justru keberadaan minyak goreng di pasar malah menghilang alias langka. Beberapa toko kecil dan ritel mengaku bahwa minyak goreng yang distok habis dalam hitungan jam.

Kelangkaan ini kemudian memicu asumsi bahwa ada pihak-pihak yang sengaja melakukan konspirasi untuk mendapatkan keuntungan. Banyak warganet menuduh bahwa pemerintah sengaja membuat minyak goreng langka, sebagian lagi mengatakan ini urah para distributor yang menimbun minyak goreng untuk keuntungan pribadi.

Asumsi-asumsi liar ini berkembang di masyarakat. Masyarakat yang panik, karena tak kebagian stok minyak goreng, memaksa agar pemerintah melakukan tindakan tegas untuk mengembalikan minyak ke pasar.

Sebenarnya, apa yang menyebabkan pasokan minyak goreng langka di Indonesia? Berbagai data menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara pengekspor sawit terbesar di dunia dan memiliki kebun sawit yang luas. Masalah inilah yang kemudian mendorong Suara Kebebasan menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan (25/3) dengan tema “Polemik Kebijakan Minyak Goreng”. Forum Kebebasan ini dipandu oleh Editor Pelaksana Suara Kebebasan, Galang Taufani, dengan narasumber Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Amanta.

Dalam pemaparannya, Felippa menjelaskan berbagai soal mengapa minyak goreng menjadi naik hingga 29% ketimbang tahun lalu. Hal ini tidak lepas dari pengaruh produksi kelapa sawit yang merupakan bahan baku utama untuk membuat minyak goreng. Dan jika ditilik lebih mendalam, harga crude palm oil (CPO) internasional saat ini juga mulai mengalami kenaikan hinga 36%, sehingga membuat harga minyak sawit kita juga menjadi tinggi.

Felippa juga mengatakan ada beberapa sebab rill mengapa harga minyak sawit menjadi naik. Pertama, adalah penurunan pasokan minyak sawit. Belakangan, produktivitas kelapa sawit baik milik BUMN dan swasta mengalami penurunan. Penurunan pasokan kelapa sawit ini disebabkan pula karena adanya karantina wilayah di beberapa daerah akibat pandemi COVID-19, pengurangan jumlah tenaga kerja yang menggarap kebun sawit, dan cuaca buruk di akhir tahun yang menyebabkan beberapa ladang sawit mengalami kebanjiran.

Selain itu ada faktor lain, yaitu menurunnya pasokan minyak nabati lain seperti minyak kedelai sehingga orang-orang di seluruh dunia beralih ke minyak sawit. Ini yang menyebabkan permintaan minyak sawit begitu tinggi sehingga menyebabkan harganya naik.

Pemerintah sendiri sudah menetapkan beberapa kebijakan untuk mencegah kelangkaan minyak goreng seperti melepaskan tarif harga eceren terendah (HET) minyak goreng premium dan menaikkan harga minyak goreng curah, serta menaikkan tarif ekspor kelapa sawit, sehingga pasokan sawit akan tetap berputar di domestik. Pemerintah juga mewajibkan para produsen untuk menyediakan stok minyak untuk pasar domestik dan menyediakan stok untuk masyarakat.

Namun hal ini tidak begitu membantu banyak, terjadi panic buying atau kepanikan warga sehingga warga serentak memburu dan memborong minyak goreng untuk menjaga stok mereka. Ada juga yang menjual stok pribadinya untuk dijual dengan harga tinggi melebihi harga pasar. Hal-hal inilah yang membuat harga minyak goreng naik.

Beberapa industri non minyak goreng, yang menggunakan sawit sebagai bahan baku utama juga terdampak oleh kebijakan pemerintah ini, khususnya mengenai  domestic price obligation (DPO) dan  domestic market obligation (DMO). Karena tidak mampu memproduksi dan mengekspor barang, akhirnya beberapa perusahaan terpaksa merumahkan para pekerjanya.

Biasanya harga kepala sawit dunia ditentukan dengan harga lelang yang mengikuti harga sawit dunia. Ketika pemerintah menetapkan DMO yang mengatur harga pasokan sawit untuk stabilitas minyak goreng, para petani sawit menjadi bingung karena tidak tahu berapa harga yang mereka dapatkan jika menjual hasil panen mereka. Hal ini juga berimbas kepada perdagangan global, karena Indonesia sebagai pengekspor kelapa sawit terbesar dunia akan mendapat reputasi buruk jika gagal memenuhi kontrak karena membatasi pasokan kelapa sawit untuk kepentingan dalam negerinya.

Peraturan pemerintah yang menetapkan harga minyak melalui HET, menurut Felippa, tidak efektif untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng di pasaran. Selain karena mendistorsi mekanisme pasar, HET juga tidak memberikan penjual ruang bagi penjual untuk mendapat keuntungan, ini berpotensi terjadinya penimbunan.

Felippa menjelaskan jika dari awal pemerintah tidak terlalu campur tangan dalam masalah harga minyak di pasar, maka hal ini memungkinkan penjual untuk melepas stok di pasar (meski harganya tinggi) dan dengan sendirinya harga minyak akan turun sendiri, karena produksi minyak goreng terus digenjot karena permintaan pasar naik dan menguntungkan buat produsen.

***

Setelah membahas secara singkat, beberapa peserta mulai mengajukan pertanyaan kepada pemateri. Mengenai petani dan produsen minyak goreng. Apakah petani diuntungkan dengan tingginya harga minyak goreng? Dan, bukankah produsen ikut untung dengan kenaikan harga ini?

Pemateri menjawab bahwa petani tidak merasa gembira jika harga minyak goreng atau minyak sawit tinggi. Mereka akan senang jika mereka mendapatkan keuntungan jika hasil jual yang mereka dapat melebihi ongkos produksi mereka. Sementara, saat ini ongkos produksi kelapa sawit cukup tinggi sehingga tidak memberikan harapan kepada petani.

Begitu juga dengan produsen yang mengolah minyak goreng. Mereka juga mendapat dilema. Selain karena harga CPO belakangan tinggi, ongkos produksi juga mahal. Hal ini diperburuk dengan penetapan harga HET minyak goreng  oleh pemerintah, sehingga produsen minyak tidak mendapatkan hasil keuntungan yang mereka inginkan karena ongkos produksi mereka juga tinggi.

Dengan demikian, penetapan HET oleh pemerintah menurut Felippa justru memperburuk keadaan karena si produsen sawit tidak bisa menjual dengan harga yang sehat untuk perusahaan mereka. Keuntungan yang didapat dari penetapan HET tersebut justru mematikan kelangsungan industri minyak goreng karena para produsen tidak bisa menutup biaya produksi yang tinggi.

Peserta selanjutnya bertanya, jika deregulasi dilakukan oleh pemerintah, apa jaminan tidak adanya monopoli di kalangan produsen sawit? Felippa mengatakan bahwa masalah monopoli dan juga kebebasan usaha menjadi bidang dan tugas dari Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) yang menjadi komisi khusus untuk mengawasi persaingan tetap berjalan dengan normal dan akan menindak segala bentuk monopoli pasar.

Selain itu, peserta turut bertanya mengenai sejauh mana peran pemerintah dalam mengintervesi pasar? Felippa menjawab bahwa pemerintah memang memiliki kewajiban untuk membuat kebijakan yang menjamin kemaslahatan bersama. Misalnya terkait dengan industri kelapa sawit, yang memiliki tingkat pencemaran lingkungan yang tinggi, pemerintah membuat regulasi yang mengatur pengolahan sawit agar industri tersebut tidak memiliki dampak negatif atau eksternalitas yang begitu besar.

Namun, intervensi pemerintah ke pasar kadang terlalu jauh. Misalnya, lewat kontrol harga pasar seperti penetapan harga pada minyak goreng yang justru membuat minyak goreng di pasar menjadi langka. Felippa menekankan bahwa dalam membuat regulasi, pemerintah harus bijak dan memberi kemaslahatan kepada dua belah pihak. Jika pemerintah membuat kebijakan hanya demi kemaslahatan satu pihak dan mengabaikan pihak lain (khususnya dalam masalah minyak goreng ini), maka otomatis kebijakan pemerintah tidak akan berjalan baik, tapi justru merusak mekanisme pasar yang berjalan.

 

*****