Dalam penegakan hukum di Indonesia, hukuman mati merupakan salah satu jenis hukuman yang lumrah dan sering dijatuhkan kepada para terdakwa yang melakukan kejahatan berat. Hukuman mati juga kerap dijatuhkan kepada mereka yang melakukan tindakan penyebaran narkoba dan pembunuhan.
Belakangan, terdakwa kasus kekerasan seksual anak di bawah umur yaitu Herry Wirawan, dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat. Hukuman mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan akan dilaksanakan dengan prosedur tembak mati di tempat.
Hal ini kemudian menuai beberapa perbedaan sikap di masyarakat. Sebagian masyarakat setuju jika hukuman mati dijatuhkan kepada Herry Wirawan, dengan alasan bahwa dirinya telah melakukan kejahatan seksual yang luar biasa. Sementara, sebagian orang tidak setuju dengan hukuman mati yang dijatuhkan kepad Herry Wirawan dengan alasan bahwa hal tersebut secara jelas melanggar hak asasi manusia.
Masalah inilah yang kemudian mendorong Suara Kebebasan menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan (14/4) dengan tema “Polemik Hukuman Mati di Indonesia.” Forum Kebebasan ini dipandu oleh Editor Pelaksana Suara Kebebasan, Galang Taufani, dengan narasumber Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati.
Ketika Pemerintah Belanda sendiri sudah menghapus hukuman mati di negerinya, di Indonesia, hukuman mati masih tetap dilanggengkan hingga saat ini. Pada zaman dahulu, hukuman mati diterapkan kepada para pemberontak dan juga para pengacau yang merusak stabilitas pemerintahan.
Hingga akhirnya disadari bahwa sebagian hukuman mati yang dijatuhkan kepada para terdakwa merupakan suatu sarana politik penguasa, sebagaimana yang sebutkan oleh Mattens. Maidina juga mengatakan, bahwa hukuman mati merupakan hukum yang diskriminatif. Ketika pemerintah Belanda menghapus hukuman mati pada tahun 1870 di Hindia Belanda, sebaliknya hukuman mati justru dikukuhkan khususnya untuk menghukum para pemberontak.
Pemateri mengatakan bahwa hukuman mati memberikan dampak buruk bagi masyarakat dan juga teror bagi mereka yang ingin mengkritik sebuah kebijakan politik pemerintah. Hukuman mati juga tidak tepat dijatuhkan, karena itu melanggar hak hidup manusia yang diberikan oleh Tuhan.
Di negara lain, hukuman mati dihapus dengan beberapa alasan. Pertama, pidana mati tidak seimbang dengan kesalahan yang dibuat. Selain itu, hukuman mati menghilangkan kemungkinan untuk memperbaiki diri dari terdakwa. Dan ketiga, ada kemungkinan hakim salah dalam menjatuhkan hukuman sehingga dampaknya sangat fatal bagi terdakwa.
Hal-hal inilah yang membuat hukuman mati tidak lagi relevan untuk masyarakat modern. Di sisi lain, Maidina juga mengatakan bahwa hukuman mati itu sendiri bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu bertertentangan dengan hak untuk bebas dari penyiksaan.
Fenomena deret tunggu yang dialami terdakwa sebelum hukuman mati dilaksanakan juga merupakan salah satu bentuk penyiksaan bagi para terdakwa. Contohnya, tempat penahanan yang tidak memadai, masa tunggu penahanan yang panjang, munculnya gangguan fisik dari narapidana lain, dan masalah lainnya.
Selain itu, pemateri mengatakan bahwa ada salah satu alasan yang kerap dimunculkan tentang mengapa hukuman mati masih diberlakukan di Indonesia, yaitu untuk membuat efek jera bagi para tersangka dan pelajaran untuk masyarakat umum.
Hal ini jelas keliru sama sekali. Maidina mengatakan bahwa efek jera dalam hukuman mati adalah mitos yang tidak terbukti. Pasalnya, bagaimana seorang terpidana mati bisa jera dan kapok, sementara si terdakwa sudah mati atau meninggal.
Maidina juga memaparkan sebuah survei, bahwa hukuman mati yang dijalankan oleh negara tidak berimbas pada penurunan angka kriminalitas. Sebaliknya, di negara-negara yang menghapus hukuman mati, seperti Kanada, justru angka kriminalitas cenderung menurun dan dapat dikendalikan.
***
Setelah Maidina memaparkan materinya, beberapa pertanyaan datang dari para peserta. Salah satunya adalah apakah bisa hukuman mati diterapkan untuk beberapa kasus yang jadi pengecualian, seperti korupsi atau tindak kriminal yang sudah di luar akal sehat.
Menjawab hal ini, Maidina pada pendiriannya mengatakan bahwa hukuman mati tidak pantas diberikan kepada siapapun dengan alasan kejahatan apapun, karena hal ini bertentangan dengan prinsip Pancasila Indonesia yang berporos pada “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Bagi Maidina, hukuman mati bukanlah tindakan beradab, malah hukuman mati merupakan suatu tindakan biadab yang tidak dapat dibenarkan oleh akal sehat mapun oleh hati nurani manusia.
Peserta lain mengajukan sebuah pertanyaan, terkait Pasal 28 huruf J ayat 2 Undang-undang Dasar 1945, yang berbunyi “Setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain.”
Penanya lalu berkata bahwa dalam pasal di atas dijelaskan bahwa negara berhak untuk membatasi hak asasi individu demi menghormati hak asasi orang lain. Jika dalam penerapan hukuman mati, bukankah berarti demi terciptanya keamanan pemeritah bisa mencabut hak asasi orang lain, termasuk dalam hal ini, terdakwa hukuman mati? Menanggapi hal ini, Maidina mengatakan bahwa memang pasal tersebut dijadikan argumen oleh beberapa orang tentang hak asasi manusia yang bisa dicabut oleh negara. Padahal, hak asasi manusia sejatinya tidak bisa dicabut oleh siapapun.
Hak asasi manusia adalah berkah yang diberikan Tuhan kepada manusia sejak lahir, karena itu ia tidak bisa dicabut oleh siapapun, termasuk oleh negara. Meski memang negara dalam beberapa kasus bisa membatasi hak tersebut, seperti dalam kasus ujaran kebencian, anarkisme, dan lain sebagainya. Namun, kehidupan manusia tidak bisa dibatasi karena kehidupan secara langsung diberikan oleh Tuhan dan tidak bisa dibatasi atau diambil oleh siapapun.
Dapat disimpulkan bahwa terkait dengan hukuman mati, Maidina secara tegas menolak pelaksanaan eksekusi mati terhadap terdakwa dengan alasan apapun. Sebagai negara yang beradab, penegak hukum tetap harus memperhatikan sisi kemanusiaan dari si terdakwa.
Pun masalah kehidupan adalah salah satu asas final yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, termasuk oleh pemerintah atau penegak hukum. Hal ini disebabkan karena pencabutan nyawa seorang terdakwa merupakan pelanggaran hak atas diri orang lain dan telah menghilangkan kesempatan bagi terdakwa untuk memperbaiki dirinya.
*****

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com