Invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022 begitu mengejutkan warga dunia. Ketika sebelumnya kita meyakini bahwa perang tidak akan terjadi karena Rusia menarik mundur tentaranya di perbatasan, namun penarikan tersebut hanyalah taktik untuk mengulur waktu untuk penyerangan yang lebih besar.
Penyerbuan ke wilayah Donbas dan Khirkov telah membuat warga sipil menjadi korban. Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengatakan invasi ke Ukraina adalah dalam rangka penyelamatan warga sipil etnis Rusia yang mengalami genosida di Ukraina. Ucapan ini dibantah keras oleh Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, yang mengatakan tidak ada diskriminasi atau genosida terhadap etnis manapun di Ukraina.
Menyikapi hal ini, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dan Sekjen NATO, Jens Stoltenberg, berusaha untuk berhati-hati dalam menyikapi masalah ini, sebab mereka tidak ingin perang meluas hingga terjadi perang yang lebih besar hingga berdampak buruk bagi kehidupan manusia di masa depan.
Uni Eropa dan beberapa negara juga telah mengambil suara untuk melakukan sanksi ekonomi bagi Rusia. Pembatasan ekonomi tersebut diharapkan agar Rusia bisa mempertimbangkan kembali pilihannya dalam menyerang Ukraina. Bukan hanya pemimpin politik, para pengusaha dalam industri game juga melakukan hal serupa.
Perusahaan game senior seperti Xbox Microsoft, Sony PlayStation, Nintendo, Activision, Ubisoft dan Electronic Arts (EA), juga membatasi penjualan game ke Negeri Beruang Putih tersebut sebagai bentuk dorongan agar para gamer menyerukan penghentian perang.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah sanksi ekonomi ini akan efektif membuat Rusia menghentikan perang? Apakah Rusia akan menggunakan senjata nuklirnya? Apakah China dan Korea Utara yang merupakan sekutu Rusia akan membantu Rusia?
Masalah inilah yang kemudian mendorong Suara Kebebasan menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan (11/3) dengan tema “Menilik Konflik di Ukraina”. Forum Kebebasan ini dipandu oleh Editor Pelaksana Suara Kebebasan, Galang Taufani, dengan narasumber Peneliti Senior dan Ekonom Bursa Efek Indonesia, Poltak Hotradero.
***
Sebagaimana yang sudah mahfum diketahui, Rusia menyerang Ukraina dengan taktik perang kilat atau blitzkrieg untuk meguasai Kiev yang menjadi jantung Pemerintahan Ukraina. Namun, menurut Poltak Hotradero, rencana penyerangan kilat tersebut tampaknya gagal karena setelah lewat dua minggu dari operasi penyerangan, Ukraina masih tetap melakukan perlawanan terhadap Rusia.
Pemateri mengatakan bahwa perselisihan atau perang di Eropa sebenarnya bukan hal baru, karena sudah sejak ribuan tahun lalu bangsa-bangsa di Eropa selalu terlibat peperangan hingga puncaknya pada Perang Dunia II, yang membuat Eropa akhirnya berusaha untuk meredam konflik dengan membentuk Uni Eropa.
Di bawah Uni Eropa, bangsa-bangsa di Eropa saling terintegrasi dan saling bergantung satu sama lain. Penerapan sistem liberal dan pasar bebas membuat ekonomi, pendidikan, dan juga teknologi di Eropa berkembang pesat. Hal ini pula yang kemudian membuat Ukraina terdorong untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Dalam sejarah, Ukraina adalah salah satu bagian dari Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet, hingga pada akhir dekade 90an, ketika Uni Soviet membubarkan diri, Ukraina berpisah dengan negara induknya, Rusia, dan menyatakan kemerdekaan. Ketika merdeka, Ukraina tidak otomatis bebas sepenuhnya dari Rusia.
Dalam beberapa hal, Rusia masih berusaha mempertahankan hegemoninya di Ukraina. Mengapa? Karena di bawah kekuasaan Putin, Rusia mempertahankan politik konfrontasi dengan dunia Barat, khususnya kepada Amerika dan Uni Eropa.
Putin yang memiliki impian untuk membangkitkan Uni Soviet dalam artian mengembalikan kejayaan dan keadidayaan Rusia, memandang bahwa hegemoni Amerika dan Uni Eropa adalah halangan utama untuk mewujudkan mimpinya tersebut. Putin selalu memandang Amerika dan Uni Eropa sebagai sekutu yang tidak jujur, sehingga Putin memetakan politik internasional untuk mencari pengaruh Rusia dalam menghadapi dua kekuatan itu di masa depan.
Ukraina yang mengetahui niat Putin untuk membangkitkan Rusia Raya tersebut akhirnya beraliansi dengan Eropa dan mendesak negara-negara Eropa untuk menerimanya sebagai anggota Uni Eropa sekaligus anggota NATO. Upaya yang dilakukan oleh Ukraina ini diketahui oleh Rusia dan hal ini merupakan ancaman jika negara tetangganya ada yang secara terang-terangan bergabung dengan Uni Eropa dan NATO. Ini berarti eksistensi Rusia sangat berbahaya. Atas dasar inilah Rusia menyerang Ukraina, dengan rencana membentuk sebuah pemerintahan boneka untuk mengontrol negara tersebut. Namun, Rusia agak kesulitan karena hingga detik ini, rakyat Ukraina masih bertahan ditengah gempuran.
Selain membahas mengenai konflik politik Rusia. Poltak Hotradero juga menyinggung mengenai perekonomian Rusia. Sejak bubarnya Uni Soviet, perekonomian Rusia berubah dengan mengadopsi sistem pasar (kapitalisme), khususnya kapitalisme negara. Jika dahulu Uni Soviet sebagai negara adidaya memproduksi berbagai macam hal, seperti teknologi chips, teknologi pertanian, industri baja besar, dan lain sebagainya, hal ini tidak terjadi pada Rusia modern.
Rusia saat ini mengandalkan produk bahan mentah seperti kayu, gandum, minyak, gas, kapas, dan lain sebagainya sebagai komoditas utama ekspornya. Karena itu, di masa sekarang, Rusia mengalami ketergantungan dengan Eropa dan Amerika yang memproduksi teknologi tinggi. Di sisi lain, Eropa, khususnya Jerman, juga bergantung pada produksi energi dan bahan baku industri ke Rusia.
Dalam beberapa kasus tertentu, Putin juga berusaha mengontrol kaum kelas atas dan menengah di Rusia. Sektor ekonomi Rusia kebanyakan dijalankan oleh kroni-kroni Putin. Berbagai macam proyek pembangunan, ekspor-impor semua diberikan oleh rezim Putin kepada orang-orang yang dipercaya olehnya, dan di mark-up sehingga kekayaan di Rusia terkontrol oleh Putin dalam sebuah oligarki besar.
Pada intinya, invasi Rusia ke Ukraina adalah perwujudan dari mimpi Putin untuk membangun kembali masa-masa kejayaan Uni Soviet sekaligus membendung hegemoni Amerika dan Uni Eropa di wilayah Timur. Invasi Rusia tersebut kemudian ditanggapi Uni Eropa dengan embargo dan sanksi ekonomi, yang diharapkan dapat membawa kelumpuhan ekonomi Rusia dan menahan Rusia untuk menyerang negara lain.
***
Dalam sesi tanya jawab, beberapa peserta mengajukan pertanyaan. Salah satunya, sejauh mana efektivitas embargo ekonomi terhadap Rusia?
Hal ini dijawab dengan analisis yang jitu oleh Poltak Hotradero. Ia mengatakan bahwa sanksi ekonomi adalah jalan yang tepat untuk mencegah perang, karena Rusia adalah negara besar yang bergantung pada teknologi berat. Dengan pemutusan impor teknologi dan mesin industri, tentu hal ini akan menganggu perekonomian Rusia.
Misalkan, tambang-tambang Rusia diolah dengan teknologi tinggi. Jika Eropa dan Amerika menyetop impor teknologi mereka, maka tambang tersebut takkan bekerja maksimal, ini termasuk dengan komputer, smartphone, suku cadang mobil, dan lain sebagainya.
Transaksi perdagangan elektronik juga mendapat imbasnya, serta mata uang Rubel akan jatuh karena tidak memiliki nilai tukar di beberapa negara. Kerusakan ekonomi akan membuat segala sumber daya Rusia terhambat. Industri pertahanan mereka juga mengalami kendala. Dalam jangka panjang, Rusia akan mengalami krisis, jika mereka tidak mencabut kebijakan kontroversinya terhadap Ukraina.
Pertanyaan peserta lainnya, apakah China akan turut membantu Rusia? Dan, apakah Rusia akan menggunakan nuklirnya jika terdesak?
Poltak Hotradero menjawab bahwa campur tangan China terhadap perang ini menurutnya akan kecil, sebab mitra ekspor produk China adalah Eropa dan Amerika. Hal ini yang membuat China berhati-hati dan menyatakan diri abstain mengenai persoalan Rusia dan Ukraina.
Pun mengenai nuklir, hal tersebut amat kecil terjadi, sebab Putin tahu bahwa dampak nuklir akan merusak negerinya pula, sebab ada beberapa negara lawan politik Putin yang memiliki nuklir dan bisa saja mereka membalas. Namun, hal ini nampaknya tidak akan terjadi.
Pertanyaan lainnya adalah apakah Rusia akan mengalihkan produk ekspornya ke negara-negara Asia setelah Eropa dan Amerika tak mau berdagang dengan mereka? Apakah Indonesia akan terkena dampak krisis gandum dengan adanya perang ini?
Pemateri menjawab bahwa Rusia bukanlah negara maritim yang memiliki pelabuhan besar. Sebagian wilayah Rusia yang luas tidak seluruhnya cocok untuk membangun pelabuhan besar. Hal ini berdampak pada impor dan ekspor. Karena itu sebelum perang, mereka melakukan ekspor dan impor melalui benua Eropa dan negara-negara mitranya, Rusia juga lebih mengutamakan membangun pipa gas dan minyak untuk ekspornya.
Namun, tidak mungkin bagi Rusia untuk membangun pipa ke Afrika, India atau negara Arab, selain karena jauh, ongkos pembangunan akan sangat mahal. Dengan adanya pembatasan tersebut, hal ini tentu saja sangat menyulitkan ekonomi Rusia, sebab arus barang masuk dan keluar akan terhambat.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Untuk masalah gandum, yang menjadi bahan utama pembuat mie dan roti, mungkin akan mengalami kenaikan harga sedikit, namun tidak akan langka, sebab Indonesia memiliki beberapa mitra pengekspor gandum selain Rusia dan Ukraina, yaitu Australia, Prancis dan Amerika. Indonesia juga dapat mengalihkan impor gandum ke China yang juga memiliki sumberdaya besar dalam bidang pangan.
Sebagai penutup, pemateri kembali menekankan bahwa libertarian menekankan pendekatan damai, seperti perdagangan bebas dan kerja sama yang sukarela dan saling menguntungkan, untuk menyelesaikan masalah, bukan lewat peperangan. Hal ini juga sudah lama dibuktikan oleh sejarah selama ini.
****

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com