Cerita Webinar Forum Kebebasan tentang Mengatasi Eksternalitas Terhadap Lingkungan

474

Masalah lingkungan merupakan sebuah dilema bagi kita semua. Kita tidak menutup mata bahwa teknologi dan energi yang kita gunakan membawa dampak negatif bagi lingkungan. Katakan saja bahan bakar fosil yang saat ini kita gunakan.

Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim (yang secara tak langsung) karena perbuatan manusia telah membuat bangsa-bangsa yang diwakili oleh PBB berusaha untuk mencari solusi untuk menciptakan sebuah peradaban yang bersih dan sehat bagi bumi kita.

Hal itu terwujudkan dengan upaya pencarian energi terbarukan yang tidak merusak alam, seperti energi angin, panas bumi, sinar surya, dan air. Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana pengimplementasiannya? Sementara, masyarakat dunia saat ini masih terpaku pada energi konvensional yang dinilai tidak baik bagi lingkungan.

Pun yang menjadi masalah adalah di negeri kita ini, Indonesia. Indonesia hampir sebagian besar kebutuhan energinya masih memanfaatkan sumber energi konvensional seperti batu bara, gas, dan minyak bumi. Meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan berusaha untuk membuat Indonesia masuk ke transisi energi terbarukan, namun ketergantungan pada energi fosil masih sulit untuk dilepaskan.

Lingkungan yang semakin parah, banyaknya spesies yang terancam punah dan juga hutan rimba semakin gundul merupakan problem pembangunan di Indonesia. Jika hal ini dibiarkan, yang menjadi problem bukan hanya alam, flora dan fauna, tapi kelangsungan hidup manusia yang secara inheren sangat bergantung pada alam dan lingkungan.

Masalah inilah yang kemudian mendorong Suara Kebebasan menyelenggarakan diskusi webinar Forum Kebebasan (8/4) dengan tema “Mengatasi Eksternalitas Terhadap Lingkungan.” Forum Kebebasan ini dipandu oleh Editor Pelaksana Suara Kebebasan, Galang Taufani, dengan narasumber Direktur Program Koaksi Indonesia, Verena Puspawardani.

***

Mengamini persoalan di atas, Verena mengatakan bahwa permasalahan penggunaan energi fosil dan lambatnya masa transisi ke energi terbarukan memang menjadi dilema bagi masalah lingkungan kita. Pasalnya, pencemaran udara yang dihasilkan dari pembakaran energi fosil dan juga kekayaan bumi yang dikeruk oleh penambang memiliki konsekuensi lingkungan yang cukup besar.

Verena juga menjelaskan, meski Presiden Jokowi menyetujui proyek transisi dari energi fosil ke energi terbarukan, namun realitasnya di Indonesia masih jauh dari apa yang dicita-citakan.

Kondisi energi di Indonesia masih didominasi oleh energi fosil, di mana Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar fosil masih mendominasi produksi listrik di Indonesia. Dan ini mencapai 50,4% ketimbang pemanfaatan energi terbarukan yang masih minim (hanya sekitar 11.5%).

Dan yang menjadi problem, penggunaan batu bara atau energi fosil di Indonesia semakin naik seiring dengan kebutuhan energi masyarakat.  Sayangnya, hal ini tidak dibarengi dengan peningkatan energi terbarukan, sehingga hal ini berkonsekuensi bagi lingkungan.

Hal ini membuat Verena bertanya, apakah Indonesia akan memasuki masa transisi energi? Jika jawabannya iya, kenapa peningkatan kebutuhan energi masyarakat tidak didukung dengan peningkatan energi terbarukan?

Pemateri juga memberikan salah satu dampak buruk penggunaan energi fosil bagi masyarakat seperti di PLTU Pangkalan Susu Sumatera Utara, di mana penderita ISPA di daerah tersebut mencapai 1653 orang pada tahun 2019. Hal ini merupakan dampak buruk energi fosil bagi masyarakat Indonesia. Sedangkan dampak lainnya adalah suplai energi fosil diprediksi takkan mampu mengejar kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi di tahun 2030.

Verena mengatakan bahwa suplai energi domestik hanya mampu memenuhi 75% permintaan energi nasional dan akan terus menurun setiap tahunnya disebabkan karena sumber daya yang terbatas. Hal ini akan berdampak bagi ekonomi Indonesia di kemudian hari.  Memang belakangan ini pemerintah tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Energi Baru dan Terbarukan. Namun dalam prosesnya, DPR memasukkan batu bara dan nuklir dalam undang-undang tersebut. Hal ini sangat kontras dengan semangat pembaruan energi dan menunjukkan inkonsistensi dalam proses kebijakan.

Yang paling menonjol dalam penjelasan pemateri adalah, dengan tumbuh kembangnya energi terbarukan di Indonesia, maka wajah energi kita akan demokratis. Maksudnya adalah tidak ada sentralisasi dari pemerintah untuk mengatur dan mengontrol produksi energi.

Jika energi air, panas bumi, surya, dan nabati dikembangkan, maka partisipasi masyarakat untuk mencari dan memproduksi energi yang murah dan efisien akan  semakin gencar. Seperti di beberapa daerah yang minim listrik, masyarakatnya bisa menciptakan panel surya secara sederhana dengan bantuan teknisi setempat. Atau air sungai yang deras dimanfaatkan untuk menghidupkan listrik satu kampung.

Dengan kata lain, penggunaan energi terbarukan akan mendorong anak bangsa untuk mencari sumber-sumber energi alternatif. Dan, pemerintah juga membutuhkan sektor swasta untuk mengelola kebutuhan energi masyarakat

***

Setelah menjabarkan materinya, beberapa peserta mulai mengajukan berbagai pernyataan. Salah satunya mengenai perkembangan energi terbarukan di Indonesia. Sebab, Vietnam sejak beberapa waktu lalu sudah berusaha untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan ini. Bagaimana cara konkret agar Indonesia bisa menyusul Vietnam?

Pemateri menjawab ada beberapa syarat agar perkembangan energi terbarukan bisa berkembang di Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan energi terbarukan, di mana pemerintah mengajak partisipasi setiap orang untuk berinovasi mencari sumber daya alternatif, serta mendukung tiap pengembangan dari energi terbarukan tersebut.

Kemudian, terkait dengan teknologi teknologi. Hubungan kerja sama Indonesia dengan negara lain yang sudah mulai mengembangkan energi terbarukan harus digencarkan, khususnya dalam transfer teknologi dan kerjasama di bidang teknik. Jepang misalnya, Indonesia bisa bekerja sama dengan negara ini untuk membantu mengembangkan energi yang ramah lingkungan dan mendidik SDM Indonesia agar bisa mengelola energi secara tepat dan efisien.

Penanya lainnya mengajukan pertanyaan mengenai perkembangan energi terbarukan di Indonesia? Menurut Verena, perkembangan energi terbarukan di Indonesia cukup unik dan menarik, sebab perkembangan energi terbarukan justru muncul di desa-desa yang akses pada listrik sangat kurang. Masyarakat dan pengusaha swasta sama-sama secara gotong royong memanfaatkan potensi desa untuk membangun pembangkit energi.

Dengan memanfaatkan aliran sungai, memanfaatkan pohon jarak atau sinar matahari, masyarakat desa bisa memenuhi kebutuhan energinya dari sana. Hal ini berbanding terbalik dengan relalitas di perkotaan yang cenderung terlalu bergantung pada energi fosil.

Verena kemudian memberikan sebuah gambaran yang cukup menarik, di mana perkembangan energi terbarukan di Indonesia bukan hanya tentang memberikan ketersediaan energi untuk kebutuhan masyarakat, tetapi juga untuk menciptakan produksi energi yang lebih demokratis.

Jika saat ini produksi energi seperti gas, listrik, minyak bumi sebagian besar masih dalam naungan negara, dengan adanya pengembangan energi terbarukan, kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi mencari energi alternatif akan semakin besar. Dan tentu saja kedepannya, energi bukan lagi masalah yang terdesentralisasi oleh pusat, namun dikelola besama dengan masyarakat.

 

*****