Cerita Webinar Forum Kebebasan: Program Kartu Prakerja dan Ketenagakerjaan di Indonesia

800

Di masa wabah pandemik Covid-19 sekarang ini, pemerintah menghimbau agar masyarakat melakukan social distancing agar wabah penyakit dapat terkontrol dan dikendalikan. Namun, upaya ini tidak cukup berhasil. Bukannya membaik, wabah ini justru makin mengganas dan juga menyebabkan korban jiwa yang tidak sedikit.

Oleh sebab itu, pemerintah kemudian menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang menghimbau agar masyarakat tetap di rumah. Akibatnya bagi ekonomi sangat besar. Banyak perusahaan kehilangan omset dan terpaksa mem-PHK ribuan pekerja mereka.

Karena banyaknya pengangguran dan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan, Presiden Jokowi akhirnya berusaha merealisasikan janji politiknya sekaligus mengatasi permasalahan di tengah pandemi, yaitu meluncurkan Kartu Prakerja. Kartu Prakerja sendiri adalah bantuan bagi masyarakat yang belum bekerja berupa biaya pelatihan bagi masyarakat Indonesia yang ingin memiliki atau meningkatkan keterampilannya.

Pemerintah sudah membuka pendaftaran kartu Prakerja pada 11 April 2020. Semula, target penerima ini adalah orang-orang yang belum bekerja, khususnya anak-anak muda yang berusia 18 tahun (sebelum mereka memasuki dunia kerja). Namun, di masa pandemi saat ini, aturannya diubah. Kartu Prakerja juga ditujukan untuk orang-orang korban PHK (Detik.com, 2020).

Terlebih lagi, di saat pandemik Corona ini, akan semakin banyak lapangan kerja yang terancam hilang. Lantas, apakah Kartu Prakerja ini merupakan solusi yang efektif untuk mengatasi berbagai persoalan ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya di masa pandemik Corona seperti saat ini?

Untuk membahas hal tersebut, Suara Kebebasan mengadakan webinar Forum Kebebasan melalui Zoom, yang mengangkat topik “Program Kartu Prakerja dan Ketenagakerjaan di Indonesia.” Sebagai pembicara dalam diskusi tersebut, Suara Kebebasan mengundang Dr. Ninasapti Triaswati, Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Indonesia.

Ninasapti mempresentasikan bahwa Kartu Prakerja merupakan program politik Presiden Joko Widodo dalam masa kampanyenya. Melalui program tersebut, diharapkan dapat membantu para pemuda yang menganggur dan belum mendapatkan pekerjaan setelah lulus sekolah.

Pemerintah sendiri mengalokasikan anggaran untuk Kartu Prakerja sebesar Rp 20 triliun. Jumlah tersebut terbilang drastis jika dibanding dengan rencana awal yaitu Rp 10 triliun. Namun, karena banyak pihak yang kehilangan pekerjaan di tengah pandemik virus corona, maka Kartu Prakerja ditujukan juga kepada mereka yang kehilangan pekerjaan.

Kartu Prakerja menurut Ninasapti, tidak seperti yang dibayangkan oleh masyarakat, bahwa nanti masyarakat yang memegang kartu prakerja tersebut akan diberikan atau ditempatkan di suatu perusahaan untuk bekerja. Kartu Prakerja seyogyanya hanya program untuk memberi bagi orang-orang yang belum mendapat pekerjaan melalui bantuan uang dan juga pelatihan keterampilan untuk bekerja.

Pemilik Kartu Prakerja akan mendapat insentif 600 ribu dan juga pelatihan kerja. Dan pelatihan kerja ini bukan pelatihan di ruang kelas seperti sekolah atau di Balai Latihan Kerja (BLU), tetapi pelatihan via online di mana nanti generasi millenial bisa mengasah keterampilannya lewat ponsel selulernya. Pemerintah juga telah bekerjasama dengan beberapa platform, seperti Tokopedia, Ruang Guru, Mau Belajar Apa, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, dan Pijar Mahir.

Namun, menurut Ninasapti, ada beberapa masalah dalam pelaksanaan Kartu Prakerja. Misalnya, Kartu Prakerja ini menyasar pada 6,88 juta warga yang menganggu atau sekitar 4,99%. Namun, dimasa pandemik ini, jumlah pengangguran bertambah 2 juta dan yang terburuk bisa mencapai 5 juta orang.

Menurut Ninasapti, pemerintah hanya terfokus pada “pengangguran terbuka”, bukan pada kelompok “pengangguran terselubung”. Pengangguran terselubung yang dimaksud adalah orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap atau serabutan, yang kadang bekerja kadang tidak pengangguran terselubung ini ada pada sektor informal.

Dengan demikian, walau di atas kertas jumlah pengangguran hanya 6,88 juta, namun hal ini perlu dikritisi lebih lanjut. Jika para pengangguran terselubung ini terdata, tentu jumlah pengangguran akan meningkat dan yang paling penting, para pengangguran terselubung inilah yang tidak tercover oleh Kartu Prakerja.

Di sisi lain, ketika pemerintah memutuskan pelatihan via online, maka otomatis orang-orang (pengangguran) yang tidak memiliki akses tehadap tekhnologi dan juga tidak memiliki smartphone tidak akan terseleksi dan tidak bisa mengikuti program ini.

Begitu juga dengan pemerintah yang memilih 8 platform tertentu tanpa kualifikasi terbuka. Berarti ada masalah yang jelas dalam pelaksanaan program Kartu Prakerja ini, yakni tidak terbuka dan praktik oligopolistik pihak-pihak tertentu.

Dan lebih parah lagi, Rp5,6 triliun akan mengalir ke kantong-kantong lembaga pelatihan. Mereka mayoritas adalah startup yang bekerja sama dengan pemerintah tersebut sekaligus menjadi penyedia pelatihan yang dilakukan secara online. (Kompas.com/2020)

*****

Setelah Ninasapti memaparkan materi, berikutnya dilanjutkan dengan dibukanya sesi diskusi. Peserta menanggapi, perlu studi lebih lanjut apakah program kartu prakerja baik dan cocok di saat sekarang, bukan hanya janji politik. Apakah efektif menyerahkan 10 triliun rupiah hanya untuk penyelenggaraan pelatihan online? Mengapa pemberian bantuan bagi pengangguran tidak diarahkan sebagai bansos (bantuan sosial saja) yang dikelola oleh dinas sosial atau kementrian terkait?

Ninasapti menjelaskan bahwa memang, masalah di implementasi dana alokasi pelatihan yang patut dipersoalkan. Apa iya hanya untuk pelatihan online perlu semahal itu, hingga mencapai Rp5,6 triliun, sedangkan di internet dan media online banyak sekali video dan modul pelatihan yang bisa diakses secara gratis.

Selain itu, apa pelatihan online pasti bisa diterapkan atau diaplikasikan secara nyata? Apakah pelatihan online mampu menjamin bahwa peserta mendapatkan wawasan secara utuh setelah mengikuti pelatihan?

Assessment terhadap pelatihannya pun sederhana, belum dijamin apakah pasca pelatihan pesera akan memiliki kompetensi, hanya setelah lulus, dapat sertifikat kegiatan saja. Desain pelatihannya belum jelas, hanya kehadiran saja. Ini beberapa persoalannya: ketidakjelasan target, efisiensi dana, dan implementasi.

Peserta lain juga bertanya, apakah setelah PSBB, akan ada reintegrasi, yaitu kembali awal rencana Kartu Prakerja, misalnya menjalin kerjasama dengan BLK yang ada sehingga bisa dilakukan pelatihan secara langsung (offline)? Ninasapti mengatakan hal itu belum bisa dijawab, sebab pasca PSBB, apa berarti virus Covid-19 sudah usai? Jika belum maka kita harus bersiap dalam keadaan new normal”, seperti tetap menjaga physical distancing.

Memang benar, banyak pelatihan yang sebenarnya tidak cukup jika hanya dilakukan secara online, seperti pelatihan bengkel mobil, motor atau instalasi listrik. Pelatihan tersebut membutuhkan praktik langsung di bengkel yang lengkap, seperti yang dimiliki oleh BLK. Namun, jika ini dilakukan sedangkan pandemi masih mewabah, pelatihan langsung di BLK ditakutkan akan kembali menularkan wabah kepada para peserta yang lain.

Peserta lainnya bertanya, apakah dalam program Kartu Prakerja ini ada bimbingan pasca pelatihan, misalnya ketika seseorang menggunakan kompetensinya pasca pelatihan dan ingin membuka suatu usaha, apakah ia akan mendapatkan bimbingan wirausaha atau konsultasi karir? Dan apakah Kartu Prakerja juga menyediakan hubungan dengan beberapa perusahaan, di mana setelah diadakan pelatihan, para peserta bisa ditempatkan untuk bekerja, khususnya para peserta pelatihan yang khusus di bidang industri, seperti mekatronika dan mesin bubut?

Ninasapti kemudian menjelaskan kembali bahwa dalam Kartu Prakerja yang ditekankan adalah pemerintah hanya memberikan pelatihan bagi orang-orang yang ingin menambah skill kerja. Pemerintah tidak menjamin Anda akan ditempatkan dalam suatu perusahaan atau memastikan lamaran Anda akan diterima. Pemerintah hanya menyediakan layanan pelatihan untuk melatih skill bagi mereka yang memenuhi syarat.

*****

Kartu Prakerja memang merupakan janji politik Jokowi. Saat itu, Presiden Jokowi menjelaskan bahwa Kartu Prakerja bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi pengangguran dan juga membantu mereka yang tidak bekerja. Apalagi, ketika ditengah pandemi ini banyak orang-orang menganggur dan tidak bekerja akibat PHK, rakyat berharap bahwa Kartu Prakerja (sedikitnya) bisa meringankan beban mereka.

Secara filosofis, manusia adalah makhluk pekerja. Dalam artian bahwa, dalam eksistensinya, ia melakukan suatu pekerjaan yang memberi nilai tambah dan keuntungan pribadi. Bekerja adalah salah satu bagian dari kepribadian manusia. Banyak orang yang depresi dan stress ketika mereka tidak bekerja dan memiliki kegiatan. Karena itu, diharapkan Kartu Prakerja bisa menjadi salah satu alternatif, memberi solusi agar para warga tuna kerja, bisa diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensinya.

Namun sayangnya, biaya yang terlalu besar, oligopoli, dan juga keistimewaan yang diberikan ke 8 platform tertentu, membuat kita kecewa. Bagi 8 perusahaan yang langsung ditunjuk pemerintah tersebut dapat memperoleh keuntungan oligopolistik bagi setidaknya dua jenis transaksi. Pertama, bagi perusahaan yg sekedar perantara: memperoleh “biaya perantara” untuk setiap transaksi pelatihan yang dipilih peserta. Kedua, bagi perusahaan yang menyelenggarakan pelatihan: memperoleh secara langsung “biaya pelatihan dalam skala permintaan yang besar” dari peserta yang memilih pelatihan di perusahaan tersebut.

Dengan tidak adanya keterbukaan, komunikasi publik yang kurang jelas dan intens, serta anggaran yang terlalu mahal, jangan sampai program ini dikorupsi dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraih keuntungan pribadi, serta membatasi kebebasan para peserta program untuk memilih beragam pelatihan dari beragam platform, sesuai dengan minat dan kebutuhannya.

 

Referensi

https://news.detik.com/kolom/d-4985239/kartu-pra-kerja-solusi-korban-phk-di-masa-corona Diakses pada 11 April 2020, pukul 09.19 WIB.

https://money.kompas.com/read/2020/04/20/073400926/kartu-prakerja-penyelamat-atau-sekadar-pemborosan-anggaran- Diakses pada 11 April 2020, pukul 19.59 WIB.