Rasanya, media sosial saat ini sudah sangat melekat dengan kehidupan kita. Jika dahulu, setiap pagi kita akan menyeruput kopi sembari membaca koran yang tergeletak di halaman rumah, kini ketika membuka mata di pagi hari, yang kita lakukan adalah mengambil ponsel dan membuka media sosial. Kebutuhan pada internet sudah menjadi harga mati. Dan umumnya setiap hari kita memposting atau mengunggah foto tentang aktivitas kita di media sosial.
Karena kita merasakan bahwa media sosial adalah ruang kita, maka banyak orang menuangkan isi pikiran dan suasana hati dalam bentuk memposting tulisan, mengunggah foto, dan mengomentari tautan tertentu. Sayangnya, apa yang dituangkan di media sosial, banyak yang berisi makian dan juga ujaran kebencian pada sesuatu hal yang dirasa tidak sesuai, khususnya terhadap kebijakan pemerintah.
Karena banyaknya kasus ujaran kebencian yang tidak memberikan rasa nyaman, maka legislator bersama pemerintah kemudian mengeluarkan aturan yang dapat menindak tegas setiap komentar dan postingan yang bernada negatif, baik berisi berita hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi. Produk hukum tersebut adalah Undang-Undang Informasi Transaksi Eletronik (UU ITE).
Sayangnya, UU ITE bukan hanya menjerat oknum-oknum yang suka menyebar hoaks atau ujaran kebencian, tetapi juga orang yang kritis terhadap pemerintah. Salah satu kasus yang ramai saat ini adalah kasus penangkapan Ravio Patra, aktivis dan peneliti independen kebijakan publik. Ia ditangkap Polda Metro Jaya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu malam, 22 April 2020 atas tuduhan menyebarkan pesan berantai ajakan menjarah pada 30 April 2020 (Tirto, 2020).
Pelanggaran kebebasan berekspresi di internet merupakan salah satu permasalahan besar di Indonesia. Menurut Indeks Kebebasan Internet (Freedom on the Net) yang dikeluarkan oleh Freedom House tahun 2019, Indonesia menduduki peringkat 36 dari 65 negara yang disurvei.
Produk-produk hukum karet seperti UU ITE juga kerap digunakan oleh mereka yang berkuasa dan memiliki posisi politik untuk membungkam kritik dengan mengatasnamakan pencemaran nama baik. Selain itu, tidak sedikit pula orang-orang yang ditangkap dan harus mendekam di hotel prodeo karena membuat konten atau mengeluarkan opini yang dianggap menyinggung kelompok tertentu di dunia maya.
Lantas, bagaimana mendorong perlindungan dan perbaikan kebebasan berekspresi melalui internet di Indonesia? Dan, yang lebih fundamental lagi, mengapa kebebasan di internet merupakan sesuatu yang penting?
Untuk membahas topik tersebut, Suara Kebebasan mengundang Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Era Purnama Sari, sebagai pembicara di acara webinar Forum Kebebasan. Webinar tersebut mengangkat tema “Mengapa Kebebasan Berekspresi di Dunia Maya Penting Untuk Dilindungi?”, dan diadakan pada hari Jumat, 1 Mei 2020.
Era Purnama Sari selaku pemateri menjelaskan bahwa peran negara pada dasarnya adalah melindungi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Munculnya UU ITE tersebut sebenarnya adalah upaya hukum agar pemerintah dapat melindungi warganya. Namun, dalam realitanya, setelah sekian tahun berjalan banyak aktivis yang menganggap UU ini justru memberangus banyak gagasan, pikiran, dan kritik. Hal ini dibuktikan dengan adanya kasus Ravio yang merupakan salah satu kasus dari kasus pemberangusan kebebasan dengan mendasarkan pada UU ITE. Kasus ini pula yang dijadikan salah satu contoh yang dipaparkan Era lebih lanjut di Forum Kebebasan kali ini.
Pemateri menjelaskan bahwa Ravio ditangkap pada 22 April 2020 sekitar pukul 21.00 – 22.00 WIB. Sebelumnya Ravio sempat mengkritik salah satu anggota Staf Khusus Kepresiden yang diduga ikut dalam proyek-proyek pemerintah di Papua melalui akun Twitter-nya.
Sebelumnya, Ravio juga sempat mengkrtik pemerintah mengenai penanganan Covid-19. Kritik tersebut berkaitan dengan apa yang selama ini dikerjakan Ravio Patra, yaitu mendorong Indonesia untuk lebih transparan dan terbuka terutama karena tiga tahun terakhir Ravio aktif sebagai wakil Indonesia dalam Steering Committee Open Government Partnership (SC OGP).
Sebelum penangkapan, Ravio Patra mengaku bahwa kalau ada yang meretas WhatsApp miliknya. Ketika ia mencoba mengaktifkan WhatsApp-nya, muncul tulisan, “You’ve registered your number on another phone”. Setelah Ravio melakukan pengecekan inbox SMS, ternyata ada permintaan pengiriman One Time Password (OTP) yang biasanya dipakai untuk mengonfirmasi perubahan WhatsApp.
Ravio awalnya menganggap bahwa ini adalah perbuatan hacker yang biasa dilakukan oknum tertentu untuk mencari keuntungan finansial. Ravio kemudian berusaha menghubungi teman-temannya bahwa akun WhatsApp-nya tengah di-hack oleh oknum tertentu dan ia meminta agar seluruh teman-temannya mengeluarkan dirinya dari grup WhatsApp dan mengabaikan jika ada yang meminta macam-macam.
Namun, ternyata peretasan akun Ravio bukan untuk tujuan finansial, tetapi bertujuan untuk menangkap dirinya yang terlalu vokal dalam mengkritik pemerintah. Pada pukul 19.00 WIB, WhatsApp milik Ravio akhirnya berhasil dipulihkan. Selama diretas, pelaku menyebarkan pesan palsu berisi sebaran provokasi sekitar pukul 14.35 WIB. Pesan yang dikirimkan ke sejumlah nomor tidak dikenal berbunyi, “KRISIS SUDAH SAATNYA MEMBAKAR! AYO KUMPUL DAN RAMAIKAN 30 APRIL AKSI PENJARAHAN NASIONAL SERENTAK, SEMUA TOKO YG ADA DIDEKAT KITA BEBAS DIJARAH”.
Dari sini Ravio sadar bahwa ia tengah menjai korban fitnah karena kevokalannya terhadap pemerintah. Ravio kemudian menghubungi Pengurus YLBHI untuk meminta perlindungan hukum dan juga menghubungi Komisioner Komnas HAM. Ravio sempat mengabarkan sedang bersiap mengevakuasi diri ke tempat sahabatnya yang aman, tetapi kepolisian bergerak lebih cepat dan menahan dirinya ketika dirinya tengah berusaha mengamankan diri.
Tentu saja, kasus Ravio ini memiliki keanehan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kejanggalan yang muncul. Pertama, ia tidak menyebarkan pesan provokatif. Kedua, akun WhatsApp-nya diretas oleh pihak-pihak tertentu setelah ia mengkritik pemerintah. Ketiga, pihak kepolisian dengan sigap menangkapnya. Dan menurut Era, tidak ada bukti surat penangkapan dan juga status Ravio kemudian menjadi tersangka tanpa bukti yang kuat.
Penangkapan Ravio adalah bukti bahwa jaminan keamanan di media sosial belum ada. Hal ini sekaligus juga membuktikan bahwa UU ITE bisa menjadi pedang bermata dua yang salah satu matanya ditujukan kepada para pengkritik pemerintah.
Pembahasan kemudian semakin menghangat ketika Haikal Kurniawan selaku Moderator membuka sesi diskusi. Banyak peserta yang tercengang dengan fakta yang ditampilkan oleh pemateri. Salah satu peserta berkomentar bahwa apa yang dilakukan oleh pihak aparat dalam menangani kasus Ravio sangat tidak memiliki etika hukum dan merupakan pelanggaran etika yang sangat berat.
Menjawab komentar salah satu peserta, pemateri membenarkan bahwa kepolisian dalam penangkapan Ravio ini melanggar prosedur. Pemateri juga menjelaskan bahwa proses reformasi hukum dan kepolisian kita masih jauh dari apa yang diharapkan.
Selain mebicarakan kasus Ravio, ada juga peserta yang berdiskusi mengenai Undang-Undang ITE No. 11 tahun 2008, lebih tepatnya Pasal 27 ayat (3), dimana pasal ini bisa menangkap orang-orang yang menulis kritikan atau cacian di Facebook atau Instagram pada produk barang atau perusahaan tertentu. Salah satunya adalah kasus yang pernah menimpa seorang perempuan beberapa tahun yang lalu karena komentar negatifnya terhadap salah satu rumah sakit di Jakarta.
Pemateri juga menyayangkan adanya kasus tersebut. Sebagai salah satu pegiat hukum di YLBHI, tentu undang-undang tersebut harus diperjelas bahkan dihapus, sebab pasal tersebut notabene hanya menyerang masyarakat kecil, khususnya membungkam kritik masyarakat yang menjadi konsumen produk atau pelayanan dari perusahaan tertentu. Bahkan, karena sifat lenturnya, kadang undang-undang tersebut dapat digunakan untuk menjebak lawan politik atau dimanfaatkan oleh kelompok tertentu.
Peserta diskusi selanjutnya juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain. Salah satunya adalah bagaimana dengan pembatasan internet dan media sosial, ketika situasi tengah kacau, seperti yang terjadi pada 21 Mei 2019 atau kerusuhan di Papua. Di satu sisi ini mengekang kebebasan, tetapi disisi lain ini dilakukan untuk menghambat informasi hoaks yang bernada provokatif.
Pemateri menjelaskan bahwa pada dasarnya sudah menjadi hak dasar manusia untuk bebas memiliki pendapat, bebas memiliki pilihan dan juga bebas untuk menentukan sikap, kebebasan ini adalah kebebasan asasi yang tidak bisa ditolak.
Namun, ketika kebebasan itu berubah menjadi pendapat yang bernada provokatif dan membahayakan, maka disini penegak hukum atau pemerintah bisa menghadangnya atau memblokirnya. Tentu, pembatasan dan pemblokiran tersebut harus melihat pada prinsip moral, kemaslahatan, dan juga demi keamanan umum, bukan untuk kepentingan satu pihak, seperti kepentingan pemerintah atau pihak lainnya.
Dari acara diskusi Forum Kebebasan ini, tersirat bahwa masih banyak sekali persoalan yang harus diselesaikan mengenai data pribadi dan juga jaminan hukum untuk berpendapat di media sosial. Kasus Ravio adalah contoh dari bagaimana peretasan menjadi celah untuk bagi aparat dan pemerintah untuk membungkam kebebasan dalam berpendapat. Di sini, UU ITE justru malah menjadi jerat yang digunakan untuk memperkarakan orang-orang yang vokal terhadap pemerintah di media sosial.
Referensi
https://tirto.id/dugaan-rekayasa-kasus-ravio-patra-cara-baru-kriminalisasi-aktivis-eRXB Diakses pada 06 Mei 2020, pukul 04:00 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com